Wae Rebo, desa mini di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), meraih penghargaan tertinggi dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Itu salah satu prestasi terbesar yang pernah diraih Indonesia. Wartawan Jawa Pos DOAN WIDHIANDONO menginap di desa itu pekan lalu.
= = = = = = = =
BERITA gembira itu sejatinya dipublikasikan pada 27 Agustus lalu. Kala itu, UNESCO, organisasi milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), merilis daftar pemenang penghargaan UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation alias penghargaan untuk konservasi warisan budaya.
Mengejutkan plus menggembirakan, penghargaan tertinggi (Award of Excellence) itu jatuh kepada Wae Rebo. Desa superkecil itu dianggap sukses melestarikan mbaru niang atau rumah tradisional mereka. Mbaru niang yang dalam bahasa Manggarai berarti rumah kerucut itu menyisihkan "kompetitor" lain yang tak kalah berkualitas.
Penerima Awards of Distinction, ranking berikutnya, misalnya, jatuh kepada kompleks bangunan Sethna di Mumbai, India. Bangunan itu juga dinilai berhasil mempertahankan ciri khas perumahan abad ke-20. Lalu, ada Hampi, sistem pengairan bersejarah di Karnataka, India, yang juga meraih Awards of Distinction.
Lalu, Awards of Merit, semacam medali perunggu, diraih oleh kompleks Kuil Zhizhusi di Beijing, Tiongkok, lantaran restorasinya yang sukses. Kuil Chandramauleshwat di Hampi, India; dan Masjid Khilingrong di Shigar, Pakistan, juga meraih penghargaan yang sama.
Sedangkan, Two Honourable Mentions alias "juara harapan" adalah kawasan William Street di Perth, Australia; dan Benteng Jaisalmer di Rajasthan, India.
Dalam rilisnya, UNESCO menyatakan bahwa renovasi dan restorasi mbaru niang yang dipandegani kalangan swasta dan LSM telah meningkatkan semangat dan kebanggaan sebuah komunitas lokal ke tingkat dunia. Renovasi itu tak hanya sukses melestarikan bentuk rumah adat, tetapi juga berhasil mengabadikan pengetahuan tradisional soal arsitektur dan tata cara adat pembangunan rumah.
Ya. Mbaru niang memang istimewa. Rumah-rumah kerucut itu tak bakal dijumpai di mana pun di seluruh kolong jagat ini. Mbaru niang hanya ada tujuh unit di Wae Rebo, sebuah desa mini di tengah-tengah gunung nun jauh di pelosok Pulau Flores, NTT.
Memang, masyarakat Manggarai punya mbaru gendang alias rumah gendang. Tapi, mbaru gendang sama sekali berbeda dengan mbaru niang. Mbaru gendang serupa tong atau drum yang diberi topi kerucut. Sedangkan mbaru niang ya serupa kerucut itu. Seperti tumpeng superbesar yang diletakkan di tanah.
Maka, kabar gembira dari UNESCO itu pun langsung menyebar bak tawon yang dipukul rumahnya. Kabar itu membanjiri internet. Milis-milis pemerhati budaya dan arsitektur berisi kabar kemenangan mbaru niang. SMS dan layanan pesan singkat lainnya pun mengabarkan berita sejenis: mbaru niang Wae Rebo mendapat penghargaan kelas dunia!
Tapi, secanggih apa pun internet, kabar itu tak langsung sampai di telinga warga Wae Rebo. "Saya diberi tahu orang beberapa hari lalu. Katanya, Wae Rebo juara I. Katanya, itu ada di internet. Walau kami tak tahu bentuk internet, kami ikut senang saja," ungkap Marten Forma, warga Wae Rebo yang dijumpai Jawa Pos di Kampung Denge, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai.
Wajar. Mencapai Denge, kampung terakhir sebelum orang mendaki menuju Wae Rebo, tak semudah mengeklik berita di dunia maya....
***
Kota terdekat untuk menuju Wae Rebo adalah Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat. Bisa dicapai lewat darat atau udara. Dari bagian timur Indonesia, orang bisa terbang ke Ruteng dari Kupang. Jika dari kawasan barat, penerbangan yang paling gampang ialah menuju Labuan Bajo.
Pesawat menuju Labuan Bajo, kota di ujung barat Pulau Flores itu, cukup banyak. Dari Denpasar, Bali, saja ada enam penerbangan setiap hari. Ya, Labuan Bajo memang sedang menggeliat. Kota itu begitu ramai wisatawan yang ingin berkunjung ke Pulau Komodo.
Labuan Bajo berjarak sekitar 130 kilometer dari Ruteng. Mencapai Ruteng bisa menggunakan mobil yang oleh warga setempat disebut oto. Bisa oto umum, bisa juga oto travel.
Perjalanan menuju Ruteng sudah cukup menguras tenaga. Jalan Trans Flores menuju Ruteng memang beraspal. Sebagian besar cukup mulus meski terasa sempit. Tapi, jalannya berkelak-kelok. Sedikit sekali penggal jalan lurus yang panjangnya lebih dari 200 meter. Yang ada hanya belokan. Kiri, kanan, kiri, kanan. Itu pun kadang masih ada "bonus" berupa tanjakan tajam, lengkap dengan turunannya.
Kamis pekan lalu (6/9) Jawa Pos mengunjungi Wae Rebo. Perjalanan darat Labuan Bajo"Ruteng memakan waktu "hanya" 4 jam. Mobil hanya bisa berjalan dengan kecepatan rata-rata 30 kilometer per jam. Persis sepeda motor di jalanan kampung.
Ruteng adalah kota sejuk berketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut di kaki Gunung Ranaka. Ruteng bisa menjadi tempat mengambil napas sejenak sebelum perjalanan sesungguhnya menuju Wae Rebo.
Dari Ruteng saya harus menempuh perjalanan lagi menuju Kampung Denge, jalan beraspal terakhir sebelum naik ke Wae Rebo. Jalan ke Denge bisa ditempuh sekitar 5 jam bermobil atau sekitar 3 jam memakai ojek. Saya memilih angkutan yang terakhir: ngojek.
Perjalanan menuju Denge tak cuma lama. Jalannya naik-turun-tikung kiri-tikung kanan-tekuk kiri-patah kanan. Menurut ungkapan Jawa, jalan itu tak cuma ngirung Petruk (berkelok-kelok bak hidung tokoh punakawan Petruk di pewayangan), tapi sudah nguntu graji alias zigzag patah-patah kiri-kanan bak gigi gergaji.
Ada beberapa ruas jalan yang masih berupa jalanan berbatu sehingga penumpang motor harus turun. Ada juga tanjakan curam berpasir dengan jejak motor-motor tergelincir.
Tapi, berkendara menuju Denge menawarkan pemandangan yang lengkap bak restoran all you can eat. Komplet. Kira-kira seperempat perjalanan awal, begitu keluar dari Ruteng, medannya adalah tanjakan dan turunan -tentu lengkap dengan kelokan dan patahan- melewati area pegunungan. Jalannya sempit. Di kanan dan kiri terdapat tebing atau sesekali jurang. Aroma tanah basah mengambang sepanjang perjalanan.
Tumbuh-tumbuhan paku menjadi dekorasi yang tampaknya tak pernah habis. Di kawasan itu sesekali kabut menyapa dengan dinginnya yang bikin menggigil.
Setelah itu habis, pemandangan berganti dengan suasana pedesaan yang penuh hamparan padi. Satu"dua sapi melintas di jalan. Babi-babi terlihat meringkuk di halaman rumah papan milik warga. Di situ jalan cukup landai. Angin juga masih sejuk.
Lepas dari desa itu berganti pemandangan laut yang menyambut. Selat Sumba di selatan Ruteng cukup menyegarkan sepertiga perjalanan terakhir. Lautnya biru dan nyaris tanpa ombak. Pantainya dipenuhi batu-batu bulat berwarna hitam. Dari jauh tampak Pulau Mules mencuri perhatian.
Sehabis pantai, jalan berganti menanjak kembali ke utara. Menanjak terus hingga sampai Denge, ujung aspal sebelum Wae Rebo.
***
Adalah Blasius Monta yang menyambut saya di Denge, Jumat pagi (7/9). Blasius asli Wae Rebo. Dia lahir di salah satu di antara tujuh mbaru niang Wae Rebo pada 27 September 1966. Rumahnya di Kampung Denge cukup besar. Sebagian dari tembok, sebagian lagi bangunan papan panggung.
Blasius memang cukup beken di kalangan pengunjung Wae Rebo. Sebab, dia adalah perintis yang membuat Wae Rebo menjadi lebih terkenal. "Saya yang pertama tangani tamu sejak 2002," ujar Blasius, guru SD Denge yang jarak sekolahnya hanya sekitar 200 meter dari rumahnya.
Tapi, sebelum itu Wae Rebo bukannya tak pernah dikunjungi orang luar. Blasius ingat pada 1989 ada orang asing yang naik ke Wae Rebo. Dia ingat betul tahun itu lantaran kunjungan tersebut terjadi saat Blasius baru lulus sekolah pendidikan guru (SPG) pada 1988. "Saya masih tinggal di Wae Rebo sebagai petani," ujar Blasius yang menjadi guru sejak 1993.
Yang dia ingat, nama dua orang asing itu adalah Michael dari Amerika Selatan dan Simon dari Selandia Baru. Blasius, generasi ke-18 Wae Rebo, pun mulai berpikir. Kampungnya, Wae Rebo, cukup layak dikunjungi wisatawan. Setiap tahun satu"dua orang memang naik ke Wae Rebo.
Lagi-lagi, sebagian besar adalah orang asing. Kepada mereka, Blasius minta foto-foto Wae Rebo. Foto-foto itu lantas dikirimkan ke agen-agen wisata atau para guide di Ruteng.
Perlahan-lahan cara itu cespleng. "Sebelum peristiwa bom Bali 2002, sudah banyak yang berkunjung (ke Wae Rebo)," katanya.
Oleh Blasius, kunjungan demi kunjungan itu dicatat. Berdasar catatannya, sepanjang 2002-2009 terdapat 480 wisatawan yang datang di Wae Rebo. Di antara jumlah itu, hanya 15 orang Indonesia. Sedikit banget.
Tapi, Blasius tak pernah menyerah. Rumahnya dia rombak menjadi home stay bagi para tamu yang membutuhkan bermalam sebelum mengunjungi Wae Rebo. Sekarang dia punya sebelas kamar berdinding papan yang cukup nyaman untuk istirahat. Tarif bermalam di rumah Blasius hanya Rp 200 ribu. Bila tamu berombongan yang terdiri atas 2"5 orang dikenai tarif Rp 175 ribu per kepala. Sedangkan rombongan lebih dari enam orang lebih murah, Rp 150 ribu per orang.
Dibantu warga asli Wae Rebo yang tinggal di Denge atau Kombo, salah satu kampung di sekitar wilayah itu, Blasius juga menyediakan jasa guide atau porter untuk wisatawan. Biayanya Rp 150 ribu"Rp 250 ribu.
Siang itu, setelah menemukan pemandu untuk Jawa Pos, Blasius memberikan brifing singkat. Cukup membangkitkan semangat. "Jarak dari Denge ke Wae Rebo sekitar 9 kilometer. Jalan kaki sekitar 3 jam atau 4 jam," katanya.
Sulit dan curamkah jalan menuju Wae Rebo" "Aih, tidak!" ungkap Blasius. "Hanya zigzag begini saja," tambahnya sembari mengangkat tangannya sedikit landai. Bagian telapak tangannya meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Seperti ular.
Tapi, perjalanan aslinya tak segampang liukan tangan Blasius itu.... (bersambung/c4/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keliling Milan, Liput Balap Formula 1 dan Kunjungi Artis Sepeda (2)
Redaktur : Tim Redaksi