jpnn.com, JAKARTA - Desainer kondang Merdi Sihombing menyikapi isu tentang limbah tekstil dengan melakukan berbagai aksi nyata untuk melakukan re-thinking fashion.
Sepanjang 2018, Merdi melakukan community development di Alor, Rote Ndao, Banyuwangi, dan Lombok untuk mengajarkan berbagai teknik yang menerapkan konsep sustainable fashion.
BACA JUGA: Dunia Mode Berduka, Karl Lagerfeld Meninggal Dunia
Misalnya, penggunaan pewarna alam, benang organik, maupun pengelolaan limbah tekstil.
Merdi juga menggagas Eco-Fashion Week Indonesia 2018 yang digelar di Gedung STOVIA, Jakarta.
BACA JUGA: Peluang Ekspor Industri Fashion Lokal
Dia pun menjadi pembicara di berbagai event yang mengusung prinsip sustainable lifestyle.
Pada Februari 2019, Merdi diundang untuk membawakan karya sustainable fashionnya di London yang diprakarsai oleh Independent London Fashion Week Designer's Association (ILFWDA).
BACA JUGA: Ashanty Lirik Bisnis Fashion
Sebanyak 15 koleksi AW 2019 terbarunya dipamerkan bersama karya-karya Jeff Garner dan tujuh desainer sustainable fashion independen dari mancanegara.
Jeff Garner adalah desainer dari Amerika Serikat yang memenangi penghargaan Eluxe Award 2018.
Merdi mengatakan, keikutsertaannya di ILFWDA merupakan rekomendasi dari Jeff Garner yang karya-karya sustainable fashionnya sudah dikenal dunia melalui brand prophetik.
"Koleksi saya kali ini juga mendapatkan dukungan dari Lenzing Indonesia, PT South Pacific Viscose, produsen benang ramah lingkungan, yakni Lyocell A 100 yang kemudian diberi pewarna alam sebelum ditenun menjadi kain-kain indah oleh perempuan-perempuan penenun di berbagai pelosok terpencil di Indonesia,” kata Merdi pekan lalu.
Tema Sirat diangkat Merdi sebagai sajian utamanya. Sirat adalah produk anyaman benang yang dikerjakan dengan teknik table weaving.
Helai demi helai sirat yang berbentuk seperti pita itu dijahit menjadi satu hingga membentuk gaun panjang, jumpsuit maupun long coat yang diberi aksentuasi manik metal spike.
Merdi mengatakan, sirat biasanya digunakan sebagai hiasan kepala saat ritual adat. Bentuknya menyerupai pita sepanjang satu meter dengan lebar 5-7 sentimeter.
“Sirat biasanya terdiri atas tiga warna yang melambangkan dunia dengan komposisi warna putih di atas, merah di tengah dan hitam di bawah. Motif ini disebut dengan istilah sacred geometry,” kata Merdi.
Merdi juga menyuguhkan koleksi klasik tenun ikat hitam putih dan sejumlah koleksi dari kain yang diproduksi di Umapura Alor.
“Tahun lalu saya melakukan community development di pulau yang hanya punya satu sumber mata air bersih itu. Hutan-hutan di sana masih dijaga ketat oleh masyarakat. Sebab, dari hutan itulah mereka mendapatkan perwarna alam,” imbuh Merdi.
Dia menjelaskan, tanaman kolam susu menghasilkan warna hijau, indigo untuk warna biru, atau akar mengkudu untuk warna merah.
“Saya juga menggunakan limbah limbah rebusan cumi-cumi dan teripang sebagai alternatif perwarna alam dalam koleksi ini,” kata Merdi.
Selang seminggu dari London, karya-karya Merdi kembali ditampilkan di TRESemmé Bangladesh Fashion Week.
Sekitar 300 penonton yang memadati venue tidak hanya disuguhi 17 koleksi terbaru, tetatpi juga kebagian bonus mendengarkan lagu Apa Salah dan Dosaku yang langsung dilantunkan oleh Merdi.
Tembang lawas ciptaan Bartje van Houten itu melahirkan suasana enerjik melalui irama jazz disco dan sentuhan musik gondang khas Batak, tanah kelahiran Merdi.
“Maheen Khan, presiden dari Fashion Design Council of Bangladesh mengundang saya mewakili Indonesia karena menilai Indonesia dan Bangladesh memiliki kesamaan dalam menanggapi isu sustainable fashion,” kata Merdi.
Sambutan hangat untuk karya Merdi Sihombing ini mendapatkan apresiasi yang tinggi dari Duta Besar Indonesia untuk Bangladesh dan Nepal Rina P. Soemarno.
“Masyarakat Bangladesh sangat mengapresiasi kerajinan asli buatan tangan sehingga tenun dan batik berpeluang besar untuk disukai masyarakat Bangladesh,” kata Rina. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ashanty Terjun ke Dunia Fashion
Redaktur & Reporter : Ragil