Sejumlah ilmuwan percaya mesin MRI generasi terbaru akan mengungkap misteri penyakit stroke. Butuh beberapa tahun lagi bagi para ilmuwan kesehatan untuk bisa memaksimalkan mesin ini.
Mesin MRI (Magnetic Resonance Imaging) ber-ultra tinggi terbaru, secara resmi untuk diuji coba oleh University of Melbourne dan Florey Institute of Neuroscience and Mental Health.
BACA JUGA: Gadis 13 Tahun Digigit Hiu di Australia
Harga mesin ini ditaksir mencapai 100 miliar rupiah. Menurut Profesor Geoffrey Donnan dari Florey Institute, mesin ini akan memiliki kekuatan ganda dibandingkan dengan mesin-mesin MRI lain yang saat digunakan.
"Ketika kami pertama kali memperkenalkan mesin MRI, sekitar 20 tahun yang lalu, mereka menggunakan 0.3T. Kemudian 1,5T, lalu 3T."
T, atau Tesla, adalah unit pengukur kekuatan magnetik.
BACA JUGA: Dikirim dari Pedalaman Australia, Kartu Pos Tiba 10 Tahun Kemudian
"Sekarang, kamera yang digunakan adalah 7T," jelasnya. "Seperti yang dibayangkan, mesin ini akan menghasilkan gambaran superior, yang lebih baik, dibandingkan 20 tahun lalu."
BACA JUGA: Fosil ini Ungkap Tautan Rahasia pada Evolusi Manusia
Profesor Donnan mengatakan perbedaan jelas bisa dilihat dengan menggunakan mata telanjang. Peneliti berharap untuk membuat "penemuan berwawasan" soal yang menyebabkan stroke, saat saluran darah ke otak terhalang, atau pecah.
Stroke adalah penyebab paling umum kedua kematian.
"Stroke adalah beban terbesar secara global. Stoke adalah penyebab kedua kematian. Banyak jenis perilaku manusia yang bisa dipetakan oleh otak dengan menggunakan mesin MRI terbaru, yang "sangat penting" untuk memahami bagaimana otak bekerja. "Dengan penelitian yang lebih canggih, kita bisa menentukan aspek-aspek dari fungsi otak, yang belum dilakukan sebelumnya, [seperti] pengambilan keputusan, [dan] keadaan emosi," kata Profesor Donnan.
Menurutnya penelitian ini bisa memakan waktu lima sampai 10 tahun, untuk memahami segala sesuatu soal potensi mesin MRI terbaru. Karenanya, kini mesin tersebut baru akan digunakan untuk tujuan penelitian.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Profesor Universitas Sydney Tersandung Kasus Surel Rasial