Mesir .

Jumat, 19 Juli 2013 – 13:33 WIB
MENJATUHKAN kekuasaan pemerintahan yang sah adalah kudeta – entah dengan bagaimanapun caranya. Bagi orang Indonesia, menjadi demokratis sama artinya dengan menerima apapun baik yang baik dan buruk.

Penggulingan Presiden Morsi di Mesir dan tindakan penyerangan atas Muslim Brotherhood hanya akan berujung pada tragedi yang tragis. Pimpinan kaum liberal mungkin bisa berbahagia atas pencapaian ini, namun juga menyesali tindakan mereka menggulingkan Morsi. Karena saat ini kepercayaan publik dan perundang-undangan menjadi korban pertaruhan atas situasi di Kairo.

Mereka yang mengira bahwa “politik islam” menjadi hambatan – baik dalam artian apapun secara legal atau ilegal – adalah sama sekali tidak benar. Karena sekali kita menyetujui berdemokrasi dengan salah satu contohnya pemilihan umum, maka kita tidak bisa menolak begitu saja hasilnya. Politik jalan pintas dan ‘solusi’ sementara hanya akan membawa kepada ketidakadilan yang lebih besar. Hal ini terjadi di Aljazira tahun 1990 ketika golongan angkatan bersenjatanya menolak kemenangan pemilihan umum mereka dengan memenjarakan dan membunuh ribuan orang. Kejadian tersebut adalah peringatan yang nyata untuk Mesir.

Pada saat yang sama, banyak partai Islam yang muncul di seluruh dunia – yang mewarisi konsep Ikhwanul Muslimin – akan merasakan bahwa demokrasi (satu orang, satu suara) tidaklah berarti bagi mereka, meski mereka kerap mendapat ‘suara’ terbanyak untuk memenangi pemilihan umum.

Malah, partai-partai islam ini menjadi yakin bahwa bayang-bayang jaringan Amerika, Eropa, kelompok liberal, penyuntik dana dan ‘jaringan global Yahudi’ akan turut campur dalam merampas kekuasaan. Singkatnya, apapun yang partai-partai Islam lakukan, mereka akan terus menjadi sasaran dari konspirasi untuk meniadakan perannya di dunia. Ini berarti mereka tidak perlu mengkhawatirkan kejatuhan mereka untuk alasan-alasan korupsi, ketidakcakapan pemerintahan dan sikap eksklusivitas.

Pemerintahan Morsi yang gagal adalah sebuah pertanyaan. Banyak orang berharap kepadanya ketika ia mengambil alih kekuasaan di bulan Juni 2012. Ia diharapkan bisa membawa Mesir lebih moderat  setelah bertahun-tahun di bawah pemerintahn Hosni Mubarak yang otoriter.

Sayangnya, hal itu tidak menjadi kenyataan. Morsi ceroboh dan gagal: ekonomi Mesir stagnan dan volume perdagangan di pasar jatuh hingga 31,2% di lima bulan pertama tahun 2013. Budget negara defisit mencapai USD 29,2 juta, dan sumber statistik resmi menyebutkan angka pengangguran sebesar 12,5%.

Pada saat yang sama, Morsi meminggirkan kelompok sekuler dan liberal. Kelompok moderat dan Kristen Koptik cukup kecewa dan mulai memboikot konstitusi pada Desember 2012 – yang mengkritik akan kurangnya perlindungan akan kebebasan beragama dan hak-hak untuk wanita – diakibatkan kegagalan Morsi bernegosiasi.

Politik Islam sedang mengalami kemunduran, bahkan di Asia Tenggara. Di Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sedang dilanda berbagai krisis akan sangkaan skandal yang bertubi-tubi dan merusak reputasi anti-korupsi yang disandang oleh mereka.

Di Malaysia sendiri, Partai Islam Malaysia (PAS) perlu merenung dan berintrospeksi setelah kinerja dan performanya di pemilihan umum 2013 menurun – PAS kehilangan suara besarnya di Kedah.

Kudeta di Mesir (meski pahit untuk dikatakan) akan memperkuat kecurigaan di antara pihak-pihak yang bersinggungan bahwa demokrasi harus diwaspadai. Ini adalah kesimpulan logis sementara yang belum bisa dibenarkan sepenuhnya, karena hampir semua kegagalan mereka tidak ada sangkut pautnya dengan demokrasi. Sebaliknya, kegagalan mereka disebabkan lemahnya pemerintahan, korupsi dan pengakuan betapa pentingnya keseimbangan dan inklusivitas.

Malangnya, kejatuhan Morsi membuat isu konspirasi merebak.

Konsultasi dan konsensi, secara khusus adalah aspek penting untuk tata pemerintahan yang baik. Terlebih mengindahkan hak-hak minoritas, apakah ras, agama atau ideologi merupakan solusi atas semua permasalahan.

Tak lupa, ada lagi ikon dari politik islam – Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan (yang juga menghadapi protes di negaranya) pernah menyangkal pendapat bahwa demokrasi diibaratkan sebuah bus yang akan ditinggalkan ketika sudah tiba di tujuan. 

Mungkin bus yang Erdogan maksud adalah bus yang akan melukai semua penumpang di dalamnya, dari kalangan liberal hingga militer dan para islamis yang saling menuduh dan menggugat satu sama lain.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jakarta: Kota yang Menyenangkan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler