jpnn.com, JAKARTA - Saat momen pandemi COVID-19, ada gambaran jelas mengenai bagaimana sebuah bangsa bisa berkembang menjadi smart nation.
Muncul pendidikan tanpa sekolah, kesehatan tanpa rumah sakit, dan perbankan tanpa bank. Semua ini mulai menjadi bagian kehidupan new normal.
BACA JUGA: Buka Pintu untuk Pengungsi Rohingya, Indonesia Dipuji PBB
John Vong, Visiting Research Professor, Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) Indonesia menjelaskan smart nation membutuhkan smart people yang membutuhkan smart education.
Smart people adalah produk dari proses pendidikan dan pelatihan yang cakap.
BACA JUGA: Pemerintah Indonesia Dianggap Gunakan Pendekatan Militer untuk Tangani COVID-19
“Pelatihan tidak hanya mengacu pada pendidikan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan teknologi dan sains, namun juga mengacu pada ilmu-ilmu yang harus segera diaplikasikan,” kata John dalam keterangan persnya
John menambahkan harus ada pelatihan terhadap guru untuk memastikan bahwa mereka mengerti cara memberikan pelatihan yang tepat kepada murid.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: PDIP Murka, PPDB Jakarta Ruwet, Reaksi FPI
Kemudian murid-murid juga harus dilatih untuk bekerja dalam industri baru seperti telemedicine, transportasi online, atau teknologi finansial sehingga diharapkan hasilnya bisa membawa bangsa menjadi sebuah smart nation.
Teknologi dan sains juga harus diajarkan bersamaan dengan ilmu-ilmu sosial demi tercapainya sebuah pengembangan tenaga kerja secara holistik.
Sebagai contoh, sambungnya, menghadiri kelas pemantapan bahasa bisa membantu angkatan kerja muda untuk bekerja dalam lingkungan multikultural dan bisa memberikan mereka berbagai kesempatan baru.
Dalam sebuah smart nation, dibutuhkan pula smart health. Suatu bangsa tidak dapat disebut smart atau “pintar” jika warganya kerap terserang penyakit. Cuti maupun dispensasi akibat sakit akan mengurangi produktivitas.
“Produktivitas yang rendah tidak akan mampu merealisasikan konsep smart nation di suatu negara,” kata John.
Bangsa yang “pintar” juga harus memiliki smart mobility atau “mobilitas pintar” yang sejatinya meliputi jalan, rel, dan bandar udara. Melihat perkembangan pesat Grab, Uber, dan Gojek sebagai perusahaan-perusahaan terkait smart mobility, infrastruktur dasar menjadi teramat penting.
Kebangkitan smart technology atau “teknologi pintar”, smart education atau “pendidikan pintar”, dan smart transportation atau “transportasi pintar” pada akhirnya akan berinteraksi dengan pilar lainnya, yakni smart finance atau “keuangan pintar”.
Sebuah smart nation memerlukan orang-orang yang tahu cara memahami, menggunakan, dan mengaplikasikan perbankan pribadi.
Banyak universitas tidak memiliki mata kuliah terkait personal finance atau keuangan pribadi.
“Hal itu sangat disayangkan mengingat keuangan tidak hanya berkaitan dengan pekerjaan di perusahan finansial, namun juga berguna untuk pengaturan keuangan pribadi,” sambungnya.
Secara terpisah, Erakusari D. Ristanti, Postgraduate Researcher, UNAIR Indonesia menjelaskan dibutuhkan dukungan usaha yang sistematis dan terkoordinasi secara komprehensif dalam mengatur pilar-pilar dasar suatu bangsa.
Yaitu pendidikan, kesehatan, transportasi, keuangan, industri, investasi, dan IPTEK. Agen pemerintahan dan entitas swasta juga harus menyusun ulang prioritas pengembangan institusi mereka.
“Peraturan, birokrasi, dan prosedur administratif harus bekerja secara berkesinambungan. Ketika hal-hal tersebut berjalan secara paralel, maka konsep smart nation berpeluang lebih besar untuk terealisasi,” pungkasnya. (flo/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Natalia