Minyak Sawit Menjadi Solusi Stunting dan Kekurangan Gizi

Rabu, 06 Maret 2019 – 23:39 WIB
Diskusi Sawit Menjawab Kebutuhan Gizi dan Persoalan Kesehatan. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Minyak sawit mempunyai kandungan vitamin dan nutrisi tinggi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyakarat. Tingginya kandungan vitamin A dan E sangat dibutuhkan mengatasi persoalan gizi buruk dan stunting yang terjadi di Indonesia sekarang ini.

Hal ini menjadi pembahasan Dialog Majalah Sawit Indonesia bertemakan "Sawit Menjawab Kebutuhan Gizi dan Persoalan Kesehatan", di Jakarta, Rabu (6/3).

BACA JUGA: Jokowi Minta Pemda Segera Selesaikan Masalah Stunting

Kegiatan ini mendapatkan dukungan penuh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit sebagai lembaga pengelola dana pungutan sawit yang fokus kepada program replanting, biodiesel, promosi, dan riset.

Pembicara yang hadir antara lain Ir. Doddy Izwardy, MA, (Direktur Gizi Kementerian Kesehatan RI), Prof.Nuri Andarwulan (Direktur SEAFAST IPB), Dr.Darmono Taniwiryono (Ketua Umum MAKSI), dan Sahat Sinaga (Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia).

BACA JUGA: Jokowi: Kejar, Selesaikan!

Doddy Izwardy mengatakan perbaikan gizi merupakan investasi ekonomi di mana kecukupan gizi makro dan mikro merupakan prasyarat membangun kualitas sumber daya manusia. Termasuk kualitas fisik dan intelektual serta produktivitas tinggi.

Masalah stunting di Indonesia berdampak kepada tiga aspek yaitu gagal tumbuh, gangguan kognitif dan gangguan metabolisme. Jika masalah stunting tidak diatasi, maka Indonesia mengalami kerugian dari aspek ekonomi.

BACA JUGA: 3 Provinsi Ini Belum Lepas dari Gizi Buruk dan Stunting

“Untuk itu, kami berharap kelapa sawit dapat menjadi solusi dalam mengatasi stunting. Karena masalah yang dihadapi pola konsumsi,” jelasnya.

Kementerian Kesehatan berharap ada produk olahan kelapa sawit yang kaya akan vitamin A, melalui hasil penelitian.

Kalangan peneliti dari Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) menawarkan solusi pemakaian minyak sawit merah alami untuk mengatasi kekurangan gizi masyarakat Indonesia.

Sementara itu, Darmono Taniwiryono menceritakan pengalamannya sewaktu di Afrika yang menunjukkan tradisi makanan olahan minyak sawit merah telah dimulai semenjak 5.000 tahun lalu dengan teknik ekstraksi sederhana.

Namun, saat ini minyak sawit merah alami yang kaya nutrisi belum termanfaatkan secara maksimal di Indonesia.

Darmono menjelaskan, di sinilah peluang mengatasi kekurangan gizi dan kesehatan masyarakat sangat tinggi termasuk untuk mengatasi permasalahan stunting.

"Di Indonesia, minyak sawit merah alami bisa dipakai sebagai campuran minyak makan pada berbagai tingkat persentase. Saat ini, telah ada minyak sawit merah yang dapat dikonsumsi untuk makanan olahan dan pakan ternak," ujar Darmono yang juga menjabat Direktur Utama PT Nutri Palma Nabati.

Di kesempatan yang sama Prof.Nuri Andarwulan menuturkan minyak sawit sangatlah cocok digunakan sebagai bahan baku minyak goreng karena mengandung hampir 50 persen asam lemak jenuh dan hampir 50 persen lemak tidak jenuh.

Selain itu, terdapat pula kandungan omega 9 yang berfungsi untuk membangun dinding sel dan membran sel tubuh.

Nuri mengatakan susu formula mengandung campuran spesifik lemak nabati yang berasal dari minyak sawit untuk meniru kandungan asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tak jenuh rantai tunggal (MFA), dan asam lemak tak jenuh rantai jamak (PUFA) pada ASI3.

"Banyak orang tidak tahu kandungan di susu formula berasal dari minyak sawit. Itu sebabnya negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat menekan komoditas sawit," ujarnya.

Di antara minyak nabati lain, sawit juga mengandung kandungan karoten (Vitamin A), tokoferol dan tokotrienol (Vitamin E) yang sangat tinggi sehingga mengandung zat antioksidan.

Dibandingkan minyak kedelai, kandungan tokotrienol minyak sawit dua kali lebih banyak

Sahat Sinaga sepakat bahwa asupan vitamin A di dalam minyak sawit dapat menanggulangi masalah stunting di Indonesia. Salah satunya memanfaatkan minyak sawit merah yang alami.

Yang harus diperhatikan, pemerintah wajib berkomitmen untuk mengubah pemakaian minyak goreng dari curah menjadi kemasan.

"Pemerintah jangan lagi mundur dari kewajiban minyak goreng kemasan pada 1 Januari 2020. Sebaiknya diberikan insentif kepada pelaku industri," ujar Sahat.

Di sisi lain, kata Sahat, minyak jelantah harus dilarang peredarannya karena berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

Sahat meminta Kementerian Perdagangan untuk mengawasi peredaran minyak jelantah. Meskipun diakuinya, rencana fortifikasi minyak goreng belum bisa terealisasi, karena masih mengalami banyak perdebatan dari berbagai pihak.

“Untuk itu, program ini butuh dukungan semua pihak termasuk di dalamnya industri dan para pemangku kepentingan,” pungkasnya. (flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Duh, Stunting di 11 Kabupaten di Jawa Timur Masih Tinggi


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler