Miris, Kisah Mantan TKW di Perantauan (1)

Jumat, 01 April 2016 – 10:38 WIB

jpnn.com - MATARAM – Cerita miris Tenaga Kerja Wanita (TKW) memang tidak pernah habisnya. Banyak TKW yang mengalami perlakuan tidak manusiawi di negara rantau. Namun begitu minat perempuan menjadi TKW tetap tinggi.

Kondisi ekonomi yang pas-pas dan keinginan untuk memperbaiki ekonomi keluarga masih menjadi alasan utama para perempuan di NTB memilih menjadi TKW ke luar negeri. Tetapi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan, membuat TKW kerap menjadi bahan eksploitasi.

BACA JUGA: Tingkat Perceraian PNS Meningkat, Ini Datanya

Mereka menjadi korban perdagangan orang (trafficking). Banyak TKW yang menjadi korban penyiksaan yang menyebabkan cacat fisik seumur hidup. Bahkan sampai ada yang pulang tinggal nama alias meninggal dunia.

Muliati korban trafficking asal Gegutu Kelurahan Rembiga, Kota Mataram ini mengaku, dirinya memilih menjadi TKW karena tidak ingin melihat keluarganya terlilit hutang setiap  hari didatangi oleh penagih. Diam-diam tanpa sepengetahuan  orang tuanya, ia berangkat ke Arab Saudi tahun 2010 lalu melalui jasa tekong (calo) sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja di Jakarta.

BACA JUGA: Tarif Bebas, Rela Lepas Keperawanan Demi HP

“KTP dan berkas saya urus di daerah lain,” tuturnya di acara diskusi kelompok antar kampung yang digagas Solidaritas Perempuan (SP) Mataram, Kamis kemarin (31/3) seperti dilansirr Radar Lombok (Grup JPNN).

Diskusi ini digelar di kampung yang menjadi kantong TKW di Pulau Lombok. Dalam diskusi tersebut SP mencari tahu dan mendata korban trafficking ini.

BACA JUGA: Bupati: Kami Terus Berjuang Hanya Satu Tujuan

Dibantu oleh tekong, Muliati membuat memalsukan data dirinya. Dokumen dan seperti KTP dan KK dibuat di daerah lain yakni Desa Duman Lombok Barat. Menurut tekong tadi, dokumen ini dipalsukan agar  keberangkatan Muliati tidak diketahui keluarganya.

Setelah berkas  lengkap, oleh tekong ia diberikan pinjaman uang sebesar Rp 3 juta. Uang ini untuk biaya selama Muliati di penampungan milik PJTKI yang akan memberangkatkannya ini di Jakarta. Karena ditampung cukup lama, uang 3 juta itupun habis.

Untuk bertahan hidup di Jakarta ia harus kerja menjadi buruh di tempat penampungan dengan gaji Rp 10 ribu perhari. “Saya kerja menjadi tukang cuci piring supaya bisa makan,'' akunya.(radar lombok/fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sensasi Esek-esek dari Sebuah Warung Jagung Rebus


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler