jpnn.com, JAKARTA - Kurang lebih satu setengah bulan bekerja, Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menemukan adanya sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan komisi antikorupsi. Sejumlah dugaan pelanggaran itu nantinya akan diklarifikasi kepada KPK.
Anggota Pansus Hak Angket KPK Mukhamad Misbakhun mengatakan dari aspek kelembagaan, KPK bergerak menjadikan dirinya sebaga lembaga superbody yang tidak siap dan tidak bersedia dikritik dan diawasi. “KPK juga menggunakan opini media untuk menekan para pengkritiknya,” kata Misbakhun dalam jumpa pers di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (21/8).
Hadir dalam jumpa pers itu antara lain Ketua Pansus Agun Gunandjar Sudarsa, Wakil Ketua Pansus Masinton Pasaribu, dan anggota Pansus Arteria Dahlan.
BACA JUGA: Pengguna Narkoba Cukup Dihukum Percobaan atau Wajib Lapor
Menurut Misbakhun, kelembagaan KPK dengan argumen independennya mengarah kepada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. “Hal ini sangat mengganggu dan berpotensi terjadinya abuse of power dalam sebuah negara hukum dan negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945,” paparnya.
Menurut Misbakhun, KPK dibentuk bukan atas mandat konstitusi, tetapi UU Nomor 30 tahun 2002 sebagai tindak lanjut perintah pasal 43 UU 31 tahun 1999 sebagai pengganti UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor. Karena itu, komisi tersebut sudah sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya di DPR secara terbuka dan terukur.
Pansus juga menilai KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan sebagaimana diatur UU 30/2002, belum bersesuaian atau patuh atas asas. Meliputi asas kepastian hukum, keterbukaan akuntabilitas kepentingan umum dan proporsionalitas sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU KPK.
BACA JUGA: DPR: Penerimaan Hakim Harus Transparan
Dalam menjalankan fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan eksistensi, jati diri, kehormatan dan kepercayaan publik atas lembaga-lembaga negara maupun penegak hukum.
“KPK lebih mengedepankan praktik penindakan melalui pemberitaan opini daripada politik pencegahan,” tegasnya.
Dalam hal fungsi supervisi, KPK lebih cenderung menangani sendiri tanpa koordinasi dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan mengarahkan kembali instansi Polri dan kejaksaan Kepolisian dan Kejaksaan.
Menurut Misbakhun, KPK cenderung ingin menjadi lembaga yang tidak hanya di pusat tapi mengembangkan jaringan sampai ke daerah.
BACA JUGA: DPR: Presiden Tak Optimal Memajukan Koperasi dan UKM
“Yang sesungguhnya KPK dibentuk lebih pada fungsi koordinasi dan supervisi. Adapun penyelidikan, penyidikan dan penuntutan lebih pada fungsi berikutnya (trigger mechanism),” paparnya.
Misbakhun menambahkan, dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan.
Didapatkan bebagai praktik tekanan, ancaman, bujukan dan janji-janji bahkan kegiatan yang membahayakan fisik dan nyawa. Bahkan, kata Misbakhun, adanya pencabutan BAP di persidangan hingga kesaksian palsu yang direkayasa. “Hal-hal itu terjadi dan kami dapatkan. Ke depan, tentunya hal-hal itu perlu ada langkah-langkah perbaikan,” katanya.
Lebih lanjut, Misbakhun mengatakan, dengan argumen independennya KPK merumuskan dan menata SDM-nya yang berbeda dengan unsur aparatur pada lembaga negara pada umumnya yang patuh dan taat UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Aparatur Negara lainnya seperti UU Kepolisian, UU Kejaksaan.
KPK dengan argumen independen tidak tepat dan tidak memiliki landasan hukum yang cukup hanya dengan peraturan pemerintah. Apalagi, PP nomor 103 tahun 2012 tentang SDM KPK sebagaimana diubah dari PP nomor 63 tahun 2005 mendasarkannya kepada UU KPK yang mengatur tentang pemberantasan tipikor bukan tentang SDM Aparatur.
Walaupun ada putusan Mahkamah Koinstitusi nomor 109 tahun 2015 atas hal tersebut, ke depan harus dikembalikan dan diperbaiki secara hukum yang benar agar tidak menimbulkan dualisme pengaturan di bidang aparatur negara di intermal KPK. “Seperti adanya organisasi wadah pegawai, penyidik independen yang bisa berbeda kebijakan dengan atau bagi aparatur KPK lainnya,” ujarnya.
Terkait dengan penggunaan anggaran berdasarkan hasil audit BPK, banyak hal yang belum dapat dipertanggunjawabkan dan ditindaklanjuti. Dibutuhkan audit lanjutan BPK untuk tujuan tertentu. Dari audit tersebut dapat diketahui secara pasti pencapaian sasarannya utamanya yang terkait dengan kinerja KPK.
Ke depan BPK juga perlu mengaudit atas sejumlah sitaan dan barang-barang rampasan dari kasus-kasus yang ditangani KPK atas temuan-temuan pansus di lima kantor Rupbasan pada wilayah hukum Jakarta dan Tangerang yang tidak didapatkan data-data barang sitaan dan barang rampasan dalam bentuk uang, rumah, tanah dan bangunan.
Terhadap sejumlah kasus yang sedang ditangani oleh KPK, Pansus memberikan dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi HAM.
“Komisi Ill DPR wajib melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan terhadap instansi kepolisian dan kejaksaan melalui rapat-rapat kerja, rapat dengar pendapat dan kunjungan lapangan atau kunjungan spesifik,” tegasnya.
Sejumlah kasus terkait unsur pimpinan, mantan pimpinan, penyidik, penuntut umum KPK yang menjadi pemberitaan di publik seperti laporan Niko Panji Tirtayasa di Bareskrim Polri, penyiraman penyidik Novel Baswedan, kematian Johannes Marliem, rekaman kesaksian Miryam S Haryani, pertemuan Komisi III DPR dengan penyidik KPK kiranya Komisi III DPR dapat segera mengundang pihak KPK dan Polri dalam melaksanakan fungsi pengawasan.
“Agar tidak terjadi polemik yang tidak berkesudahan,” tuntas anggota Komisi XI DPR itu.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ruang Kerja Tak Layak, Pembangunan Gedung Baru DPR Adalah Kebutuhan
Redaktur & Reporter : Boy