TOHNY Joesoef, pelukis potret diri Chaerul Saleh, mengalami trauma. Meski lukisan tokoh yang dekat dengan Presiden Soekarno dan pimpinan PKI D.N. Aidit itu sempat menarik perhatian para kolektor pada masa Orde Baru, tidak ada seorang pun yang berani memajangnya di rumah. Setelah 47 tahun disimpan di gudang, lukisan itu dipamerkan untuk umum.
-------------
Laporan Diar Candra, Jakarta
-------------
LUKISAN Chaerul Saleh memang menjadi daya tarik tersendiri dalam pameran yang menampilkan karya-karya Tohny Joesoef dan empat anaknya itu. Maklum, setelah disimpan puluhan tahun, baru kali kedua ini lukisan tersebut bisa dikonsumsi masyarakat umum. Lukisan itu kali pertama dipamerkan pada 2011 saat pameran karya maestro lukisan S. Soejojono di Bandung.
Tak pelak, pameran di Ruang B Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 30 April–12 Mei, tersebut menyedot ratusan pengunjung setiap hari. Misalnya, yang terlihat Senin siang (11/5). Belasan anak muda memenuhi ruang pamer berukuran 12,3 x 3,5 meter itu. Selain ingin tahu lukisan Chaerul Saleh yang sedang menjadi buah bibir, mereka memanfaatkan pameran bertajuk Pada Cermin/On Mirror tersebut sebagai objek ber-selfie ria.
BACA JUGA: Kisah Memilukan Korban Human Trafficking yang Berhasil Melarikan Diri
’’Saya gemes sama anak-anak ini. Berkali-kali sudah saya ingetin untuk tidak memegang lukisan, masih saja ada yang nekat. Malah kemarin ada yang berani nurunin mandolin Papap (panggilan untuk almarhum Tohny Joesoef, Red) dari tempatnya,’’ ucap Syarief Hidayat, putra keempat Tohny Joesoef. Selain Syarief, tiga anak Tohny yang lain adalah Hassan Pratama, Arya Pandjalu, dan Arya Sukapura.
Kang Syarief, sapaan Syarief Hidayat, yang ditunjuk keluarga menggelar pameran itu menyatakan, meski jengkel terhadap ulah pengunjung yang kurang menghargai karya seni tersebut, dirinya senang melihat animo pengunjung. Dalam sehari, lebih dari 150 orang mengisi buku pengunjung.
BACA JUGA: Detik-detik saat GKR Pembayun Gemetaran Duduk di Atas Watu Gilang
Di antara sekitar 60 lukisan karya keluarga Tohny yang dipamerkan, lukisan potret diri Chaerul Saleh memang paling mendapat perhatian. Dilukis dengan cat minyak di kanvas berukuran 94 x 74 cm, kondisi lukisan yang diselesaikan pada 1964 itu mulai aus di sana-sini. Maklum, lukisan tersebut kini sudah berusia 51 tahun. Dan selama ini hanya disimpan di gudang rumah keluarga Tohny.
Di sisi kanan lukisan cokelat tua itu, Tohny menulis pesan: Kenangan buat seorang pahlawan, Bapak Dr Chaerul Saleh. Tiada hati membara tanpa api revolusi bangsa dan tanah air.
BACA JUGA: Dinny Jusuf, Penyelamat Tenun Toraja yang Hampir Punah Jadi Produk Kelas Dunia
’’Dulu lukisan ini selalu digulung dan dimasukkan dalam tabung silinder. Enam bulan sekali dikeluarkan dan dibersihkan Papap. Permukaannya digosok memakai roti tawar untuk mengangkat debu-debu,’’ jelas Syarief.
Dia kali pertama mendapat cerita tentang ’’misteri’’ lukisan Chaerul Saleh itu dari ayahnya pada awal 70-an. Setiap bercerita soal lukisan potret wakil perdana menteri III era Presiden Soekarno tersebut, kata Syarief, bapaknya sangat berhati-hati. Sebab, pada era Orde Baru, apa-apa yang berbau ideologi ’’kiri’’ bisa berdampak kurang baik. Bahkan bisa dicap subversif.
Nama Chaerul Saleh memang tidak sepopuler proklamator Soekarno-Hatta. Tetapi, pria kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, tersebut merupakan tokoh yang kala itu ikut mendesak agar dua bapak bangsa tersebut segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
Pasca kemerdekaan, Chaerul menduduki sejumlah pos penting dalam pemerintahan Soekarno. Dia pernah menjadi menteri negara urusan veteran pada Kabinet Djuanda (1957), menteri muda perindustrian dasar dan pertambangan pada Kabinet Kerja I (1959–1960), menteri perindustrian dasar dan pertambangan pada Kabinet Kerja II dan III (1960–1963), serta ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara/MPRS (1960–1965).
Ketika terjadi peristiwa pembantaian para jenderal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal dengan Gerakan 30 September (1965), Chaerul sempat terseret pusaran politik saat itu. Dia pun dianggap masuk dalam barisan pendukung PKI. Padahal, Chaerul tidak pernah terlibat dalam usaha penggulingan kekuasaan paling berdarah dalam sejarah republik ini tersebut.
Chaerul mengalami nasib tragis setelah ditemukan meninggal di Rumah Tahanan Militer (RTM) Jakarta, 8 Februari 1967. Sampai saat ini, penyebab kematiannya masih misterius.
Panglima TNI-AD (kala itu) Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi presiden kedua dalam ucapan belasungkawanya kepada keluarga Chaerul menyebutkan, ’’Yang dapat saya beri tahukan, Bung Chaerul tidak terlibat G 30 S/PKI.’’
Kontroversi sosok Chaerul Saleh itulah yang membuat lukisan potret dirinya ikut menjadi kontroversi. Bahkan, ketika lukisan tersebut diberikan Tohny Joesoef kepada keluarga Chaerul pada 1969, mereka tidak berani menerima. Tentu saja, Tohny ikut bingung dan takut. Sebab, setelah peristiwa G 30 S, rezim Orde Baru melakukan sweeping dan ’’pembersihan’’ terhadap orang-orang yang diduga terkait dengan PKI.
’’Apalagi sudah banyak teman Papap yang hilang atau dibunuh di berbagai kota. Kondisi zaman saat itu sangat sensitif. Bahkan, yang pernah menerima bantuan berupa kanvas dan cat minyak dari pemerintah Rusia bisa masuk penjara,’’ kenang Syarief.
Karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Tohny sempat mengungsi dari satu rumah keluarganya ke keluarganya yang lain dengan membawa lukisan Chaerul Saleh. Dia pernah tinggal di rumah temannya di Senen, lalu pindah lagi ke Jatinegara. Dari Jatinegara, dia pindah lagi ke rumah familinya yang lain di Menteng. Baru setelah kondisi aman dan memungkinkan, pada 1970-an, Tohny berani menyimpan lukisan itu di rumahnya di Bandung.
’’Papap cerita kepada saya, setiap memindahkan lukisan itu dari rumah ke rumah, dia selalu berjalan kaki. Berjalan kakinya pun cepat dan menunduk. Kadang-kadang melihat-lihat dulu apakah ada yang membuntuti atau tidak. Pokoknya, Papap sampai paranoid,’’ jelas Syarief.
Selama puluhan tahun lukisan Chaerul disimpan di dalam gudang rumah Tohny. Tidak sembarang orang bisa melihat langsung lukisan tersebut. Pada 1980-an, keluarga Wakil Presiden Adam Malik sempat berminat untuk membeli lukisan Chaerul itu. Adam Malik memang sahabat dekat Chaerul. Dia ingin menjadikan lukisan tersebut sebagai koleksi pribadi.
’’Tetapi, tidak tercapai kesepakatan. Kebetulan, saya yang ditugasi Papap menemui keluarga Adam Malik. Saat itu, saya hanya membawa foto lukisannya. Terlalu riskan membawa lukisan dengan tabungnya ke luar rumah. Lukisan ini baru keluar gudang dan diperlihatkan untuk umum pada 2011 saat ada pameran mengenang S. Sudjojono di Bandung,’’ ujar Syarief.
Selain keluarga Adam Malik, ada beberapa kolektor yang ingin membeli lukisan Chaerul. Saat itu, lukisan tersebut dihargai Rp 50 juta. Tetapi, tidak ada yang cocok dengan harga tersebut. Sekarang harganya jadi berlipat-lipat. Namun, lagi-lagi belum ada yang cocok.
’’Lukisan ini punya histori sehingga wajar kalau memberikan nilai lebih pada harganya,’’ tandas Syarief. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenangan Terakhir Umi Salamah, Mahasiswi Asal Demak dengan Istri Dubes RI di Pakistan Ny Listyawati Burhan
Redaktur : Tim Redaksi