Misteri Masjid Jin, Bergantung pada Mata Batin Sang Kiai

Minggu, 02 Juli 2017 – 00:05 WIB
Tampak para pengunjung kompleks Masjid Tiban/jin Bihaaru Bahri 'Asali Fadlaailir Rahmah di Desa Sananrejo, Turen Kab. Malang. Hingga kini di masjid tersebut masih terus berproses membangun. Foto: Doli Siregar/RADAR MALANG

jpnn.com - Barangkali inilah satu-satunya masjid unik di Indonesia. Pertama, sejak dibangun tahun 1978, hingga kini belum juga selesai. Bahkan, bisa jadi tidak akan pernah selesai.

Kedua, gedung 10 lantai yang berdiri di lahan seluas 6,5 hektare itu dibuat tanpa ada gambar rancangan atau desain. Semata-mata hanya mengandalkan mata batin dan salat Istikharah.

BACA JUGA: Kangen Koes Plus? Jangan Sampai Ketinggalan Acara Ini

Di Google maupun YouTube, bangunan yang berlokasi di RT 27/RW 06, Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, ini populer disebut ”Masjid Jin” atau ”Masjid Tiban”.

Bahkan, kepopuleran masjid ini hingga sampai ke luar negeri, terutama di Malaysia. Buktinya, hampir setiap hari, selalu ada pengunjung dari negeri jiran yang datang ke masjid tersebut.

BACA JUGA: Kalau Mudik ke Malang Ngadem di 10 Desa Wisata Ini Yuk...

Lantas, mengapa disebut ”Masjid Jin” atau ”Masjid Tiban”? Benarkah banyak misteri di dalamnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan sengaja dibiarkan berkecamuk liar di tengah-tengah masyarakat. Hinggap dari satu anggapan ke anggapan lainnya tanpa ada jawaban yang jelas. Dan, itu terjadi sampai sekarang.

BACA JUGA: Timnas U-19 Lumat DPFF Malang United 5-0

Di sisi lain, sebutan ”Masjid Jin” atau ”Masjid Tiban” makin populer saja. Bahkan, tempat itu sudah menjadi destinasi wisata internasional.

Sebab, tak sedikit turis asing yang mendarat di Bandara Abdulrachman Saleh, Malang, hanya untuk mengetahui dari dekat ”Masjid Jin” yang punya ratusan menara itu.

Untuk mengulik lebih jauh tentang isi ”Masjid Jin” tersebut, tim Jawa Pos Radar Malang berada di sana selama beberapa hari sejak 19 Juni lalu.

Jika melihat dari papan nama yang terpampang di pintu masuk ”Masjid Jin”, jelas tertulis: Pondok Pesantren Salafiah Bihaaru Bahri ’Asali Fadlaailir Rahmah.

Jadi, merujuk pada papan nama itu, bangunan utama sebenarnya bukanlah sebuah masjid. Melainkan, sebuah pondok pesantren (ponpes). Namun, di dalam ponpes itu terdapat bangunan masjid.

Bagi pengunjung yang ingin menjelajah di ”Masjid Jin” atau ke ponpes itu, sudah ada rutenya. Mereka tinggal mengikuti petunjuk arah yang sudah disediakan. Jadi, setiap pengunjung bisa menyaksikan setiap ruangan yang ada.

Sayangnya, tak semua ruangan bisa disaksikan pengunjung. Akan tetapi, wartawan Jawa Pos Radar Malang bisa menyaksikan hampir semua ruangan yang ada di bangunan 10 lantai tersebut.

Untuk menghitung jumlah ruangan di setiap lantai, wartawan media ini sempat kesulitan. Selama tiga jam lebih, beberapa anggota tim media ini disebar untuk secara khusus menghitung jumlah ruangan mulai dari lantai 1 hingga 10.

Hasilnya, ternyata hasil hitungan antara satu orang dengan orang lainnya tidak sama jumlahnya. Ada yang setelah menghitung, jumlah ruangannya dari lantai 1–10 adalah 173 ruangan.

Namun, ada pula yang mencatat 184 ruangan. Bahkan, ada salah seorang anggota tim yang sempat tersesat karena tidak tahu jalan keluar ketika sedang asyik-asyiknya menghitung ruangan di setiap lantai.

”Hitungan saya langsung ambyar (hilang) begitu saya sadar kalau sedang tersesat,” kata anggota tim yang tersesat itu.

Saat tim Jawa Pos Radar Malang menanyakan jumlah ruangan ini ke beberapa santri di ponpes itu, mereka kompak menjawab tidak tahu.

”Kami tidak pernah bisa menghitung jumlah ruangan secara pasti. Yang jelas, jumlahnya mencapai ratusan ruangan,” kata Purwanto, salah seorang santri senior yang menemani wartawan media ini mengelilingi bangunan ponpes.

Setelah menyaksikan satu per satu ruangan di ”Masjid Jin”, ada kesan kuat yang langsung tebersit. Yakni, konstruksi bangunannya terkesan tidak tertata dan sekilas agak serampangan. Tapi anehnya, tetap menyenangkan jika dipandang.

Salah satu sebabnya, di setiap ruangan kaya akan hiasan ornamen biru dan putih. Corak hiasannya pun seperti tidak lazim. Namun, lagi-lagi tetap menyenangkan jika dilihat.

Ruangan-ruangan di dalam ”Masjid Jin” itu tidak sama ukurannya. Ada yang berukuran besar, sekitar 20x100 meter. Ada pula yang terkecil, 1x2 meter.

Ruangan di lantai I kebanyakan masih berupa bangunan kuno. Di lantai ini, terdapat kamar yang dulu ditinggali oleh almarhum KH Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al Mahbub Rohmad Alam.

Dia adalah pendiri Ponpes Salafiah Bihaaru Bahri ’Asali Fadlaailir Rahmah (selanjutnya disebut Bihaaru).

KH Ahmad Bahru wafat pada 2010. Di lantai I, juga ada dapur, ruang keluarga, hingga musala yang biasanya digunakan untuk mengajar para santrinya.

”Ini ndalemnya (rumahnya) romo Kiai Ahmad (panggilan KH Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al Mahbub Rohmad Alam),” ujar Purwanto sambil menunjuk ruangan yang dindingnya terlihat sudah banyak yang lapuk.

Kini, bangunan di lantai I itu sudah tidak ditempati keluarga Kiai Ahmad sehingga menjadi tempat peristirahatan para santri. Wisatawan yang berkunjung juga diperbolehkan beristirahat di area tersebut.

Namun, karena lokasinya berada di tempat yang menyerupai lembah dan agak tersembunyi, tak banyak pengunjung yang mengetahuinya.

Usai mendampingi berkeliling ke seluruh ruangan di lantai I, dilanjutkan ke lantai II. Di tempat ini, sudah banyak bangunan baru. Beberapa pengunjung tampak berseliweran berada di ruangan ini.

Berdasarkan pengamatan Jawa Pos Radar Malang, hampir di semua ruangan, mulai lantai III, IV, V, VI hingga lantai X, tidak ada yang serasi. Mulai dari motif ornamennya hingga konstruksi bangunannya.

Dalam satu ruangan, ornamen yang dipasang lebih dari satu motif. Ada yang sampai dua, tiga, hingga empat motif ornamen dalam satu ruangan.

Media ini pun sudah mendatangi tempat di mana berbagai motif ornamen itu dibuat. Lokasinya berada di area ponpes.

Setelah dihitung, total ada 582 motif ornamen yang menempel di seluruh bangunan ”Masjid Jin” tersebut.

Namun, jika ditelisik lebih lanjut, mayoritas ornamen itu merupakan perpaduan antara gaya Tiongkok dan Timur Tengah.

Purwanto menyatakan, semua motif yang berjumlah ratusan itu merupakan hasil rancangan Kiai Ahmad.

Demikian pula dengan penataan ruangannya. Satu sisi dipasang ornamen bermotif khas Timur Tengah, sedangkan sisi lainnya dibiarkan kosong.

”Kalau melihat ruangan ini dari mata lahir, akan berkesimpulan bahwa gedung ini tidak teratur,” kata Purwanto. ”Romo Kiai Ahmad membangun ini menggunakan tolok ukur mata batin,” lanjutnya.

Purwanto lantas menceritakan proses pembangunan gedung tersebut. Pada 1968, Kiai Ahmad merencanakan pembangunan ponpes.

Akan tetapi, peletakan batu pertamanya baru dilakukan 10 tahun kemudian, tepatnya pada 1978. Kala itu, bangunannya masih kecil. Selanjutnya, secara bertahap, Kiai Ahmad melakukan perluasan bangunan.

Menariknya, keinginan untuk memperluas bangunan itu sangat terkait dengan masalah di masyarakat yang dijumpai Kiai Ahmad.

Jadi, begitu Kiai Ahmad menjumpai ada masalah di masyarakat, pada saat itu pula beliau membuat perluasan bangunan.

”Filosofinya, gedung ini dibangun untuk menyelesaikan masalah. Yakni, masalah umat Islam pada umumnya dan masalah para santri pada khususnya,” tambah pria yang nyantri sejak 2004 itu.

Dia pun mencontohkan pembangunan pagar bermotif anggur di lantai tujuh. Pada 2008, dia menyatakan, kebanyakan warga tidak berpuasa.

Akhirnya, Kiai Ahmad Istikharah untuk menemukan jawaban atas keengganan warga berpuasa. ”Lalu, dibangunlah pagar bermotif anggur tersebut,” kata Purwanto sambil menunjuk pagar bermotif anggur itu.

Mengapa motifnya anggur? Purwanto tidak mengetahui alasan tersebut. Berdasarkan informasi yang diperoleh Purwanto, para tukang bangunan hanya menjalankan perintah.

Mereka bukan tukang yang profesional, melainkan tukang dadakan. Mereka adalah para santri yang mengabdikan diri pada ponpes.

Untuk para santri yang menjadi tukang dadakan itu, disiapkan kamar untuk keluarganya dan kios untuk membuka usaha. Kamar yang disiapkan untuk para santri itu mencapai 64 unit.

Tugas mereka bervariasi sesuai hasil Istikharah Kiai Ahmad. Ada yang disuruh bersih-bersih, ngecor, mencetak ornamen, hingga membuat bangunan baru. ”Kiai Ahmad membagi pekerjaan sesuai batin mereka (pekerja),” katanya.

Proses pengerjaannya juga bergantung kondisi kebatinan para pekerja. Jika batin mereka tidak ikhlas, Purwanto meyampaikan, biasanya hasil pekerjaannya juga tidak bagus.

“Pernah Kiai Ahmad pernah membongkar bangunan karena yang menggarap tidak sesuai dengan batin,” kata pria asal Trenggalek itu.

Masa pengerjaannya pun tidak terpaku jam kerja. Kadang, ada santri yang menggarap di malam hari, kadang juga siang.

Mungkin karena banyak yang menggarap di malam hari sehingga pekerjaan mereka tak diketahui masyarakat. Masyarakat tahunya tiba-tiba bangunan sudah jadi begitu saja.

”Mungkin karena hal itu, masyarakat tidak mengetahui proses penggarapannya. Makanya, lantas berkembang isu bahwa tempat ini dibangun jin,” cerita Purwanto. Dengan begitu, dari sinilah muncul sebutan ”Masjid Jin” dan ”Masjid Tiban” (tiba-tiba ada).

Purwanto menambahkan, para santri itu akan berhenti bekerja jika diperintah Kiai Ahmad. Acuan Kiai Ahmad pada perasaan batinnya juga mengacu pada masalah yang ada di masyarakat.

”Kalau ada masalah di masyarakat, Kiai Ahmad menyuruh membangun. Kalau masalahnya dianggap selesai, maka beliau akan menyuruh berhenti,” lanjutnya.

”Meski baru membangun satu pilar, kalau Kiai Ahmad menyuruh berhenti, ya pembangunan harus dihentikan,” sambungnya.

Menurut Purwanto, dengan cara membangun seperti itu, yakni semua bergantung pada mata batin sang kiai, membuat gedung tersebut tidak mempunyai site plan.

Juga tidak ada gambar rancangan desainnya. Jika ditanya, kapan bangunan itu selesai, jawabannya bisa jadi tidak akan pernah selesai.

Lantaran, hingga tulisan ini dibuat, proses pembangunan ”Masjid Jin” itu masih terus berjalan. Selalu saja ada bagian gedung yang dibangun.

”Dua puluh tahun lagi belum tentu selesai. Mungkin selamanya (membangun),” timpal santri lain. Bisa jadi, selama ada masalah yang dianggap perlu dicarikan solusi, selama itu pula pembangunan ”Masjid Jin” berlanjut.

Bukankah Kiai Ahmad sudah wafat sejak 2010? Meski sudah tidak ada Romo Kiai, tapi ada istrinya, Nyai Hj Luluk Rifqah Al Mahbubah.

Kini, petunjuk mata batin untuk membangun, kendalinya ada pada Bu Nyai, dibantu putri-putrinya.

Demi perluasan bangunan, pihak ponpes sudah 40 kali melakukan pembebasan lahan. Mulanya, hanya sebidang tanah, lalu diperluas lagi dengan membeli lahan lain di sekitarnya.

Mayoritas lahan yang dibeli tersebut masih milik kerabat Kiai Ahmad. Hingga kini, lahan yang menjadi lokasi pembangunan ”Masjid Jin” itu sudah mencapai 6,5 hektare.

Hampir 4 hektare sudah diisi bangunan. Jadi, masih ada sekitar 2,5 hektare lagi.

Lantas, berapa kali lagi membebaskan lahan untuk mengembangkan ”Masjid Jin”? Mungkin hanya Allah dan Bu Nyai saja yang tahu.

Penyebab lainnya yang menguatkan isu sebagai ”Masjid Jin” adalah, biaya pembangunan yang fantatis. Seolah mustahil untuk seorang kiai tanpa mempunyai bisnis bisa membangun gedung semegah itu.

Pengasuh dan para santri tidak ada yang mengetahui berapa total dana yang dihabiskan untuk membangun ”Masjid Jin”.

Tapi, berdasarkan penghitungan Jawa Pos Radar Malang, gedung 10 lantai itu menghabiskan dana sekitar Rp 826 miliar.

Angka itu dihasilkan dari penghitungan harga lahan dan bangunan. Berdasarkan data di kepala Desa Sananrejo dan camat Turen, harga tanah di area ”Masjid Jin” berkisar Rp 400 ribu per meter persegi.

Karena lahan tersebut seluas 6,5 hektare, berarti uang yang dikeluarkan untuk pembebasan lahan mencapai Rp 26 miliar (400.000 x 65.000 meter persegi).

Sementara itu, untuk biaya pembangunannya, diasumsikan Rp 2 juta per meter persegi. Dari lahan 6,5 hektare tersebut, sekitar 4 hektare sudah terisi bangunan.

Dengan demikian, bangunan satu lantai menghabiskan dana Rp 80 miliar (2.000.000 x 40.000). Karena ada 10 lantai, berarti total dana yang dikeluarkan sekitar Rp 800 miliar (80 miliar x 10 ).

Pengasuh Ponpes Bihaaru Bahri ’Asali Fadlaailir Rahmah KH Ahmad Hasan menyatakan, pihaknya tidak pernah menghitung jumlah dana yang dikeluarkan untuk pembangunan gedung tersebut. ”Kalau dihitung, khawatir mengurangi keikhlasan,” katanya.

Jadi, dari mana dananya? Abah Hasan, panggilan akrab KH Ahmad Hasa, menjelaskan, ada beberapa sumber dana pembangunan. Selain uang pribadi Kiai Ahmad, juga ada sumbangan santri dan donator.

”Kami tidak pernah meminta sumbangan. Tapi, kalau ada yang menyumbang, ya tidak apa-apa,” kata Abah Hasan. (c3/dan)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sungguh Menyejukkan, Mereka Membagi Takjil di Depan Klenteng


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler