MK Batasi Kader Parpol sebagai Penyelengara Pemilu

Harus Sudah 5 Tahun Mundur dari Parpol

Rabu, 04 Januari 2012 – 21:01 WIB

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa anggota KPU periode 2012-2017 tidak boleh aktif di partai politik (parpol) selama lima tahun ke belakang. Hal itu merupakan putusan MK terkait permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
 
Pasal yang digugat mengatur keberadaan mantan anggota parpol di KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta unsur parpol di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

“Menyatakan Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU No 15/ 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sepanjang frasa, 'mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon' bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon',” kata Ketua Majelis MK Moh.Mahfud MD saat mengucapkan putusan di ruang pleno MK, Jakarta, Rabu (4/1).

Menurut Mahkamah, tenggang waktu pengunduran diri dari parpol patut dan layak jika ditentukan sekurang-kurangnya lima tahun sebelum yang bersangkutan mengajukan diri sebagai calon anggota KPU. Lima tahun dinilai patut dan layak oleh Mahkamah karena bertepatan dengan periodisasi tahapan pemilu.

MK juga menilai keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada peserta Pemilu akan mengakibatkan ketidakpercayaan, serta menimbulkan proses dan hasil yang dipastikan tidak fair. “Tidak sejalan dengan logika dan keadilan jika Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang terdiri atau beranggotakan para peserta Pemilu itu sendiri,” ujar Hakim Konstitusi Akil Mochtar.

Menurut Akil, adanya keterlibatan partai politik sebagai penyelenggara Pemilu akan membuka peluang keberpihakan (conflict of interest) penyelenggara pemilihan umum kepada salah satu kontestan. “Karena peserta pemilihan umum adalah partai politik, maka UU harus membatasi atau melepaskan hak partai politik peserta pemilu untuk sekaligus bertindak sebagai penyelenggara pemilihan umum,” terang Akil.

Terkait dengan keberadaan DKPP, Mahkamah berpendapat, jika keanggotaannya diisi oleh peserta pemilu maka hal ituberpotensi menyandera atau mengancam kemandirian penyelenggara pemilu. Pihak yang seharusnya diawasi (yaitu parpol peserta pemilu) dapat berganti peran menjadi pihak yang mengawasi penyelenggara pemilu (yaitu KPU dan Bawaslu). “Tentunya menimbulkan ketidakleluasaan bagi penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya,” ucap Akil.
 
Selain itu, unsur pemerintah dalam keanggotaan DKPP seharusnya ditiadakan mengingat keberadaan pemerintah (eksekutif) dalam sistem politik Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan parpol pemenang pemilu.
 
Dengan dianulirnya unsur pemerintah dari keanggotaan DKPP, Mahkamah meyakini hal tersebut lebih menjamin kemandirian DKPP sebagai lembaga yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu. “Pasal 109 ayat (4) selengkapnya dibaca, DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari satu orang unsur KPU, satu orang unsur Bawaslu, dan lima orang tokoh masyarakat,” tekan Akil.
 
Seperti diketahui, gugatan ini diajukan Aliansi Masyarakat Amankan Pemilu yang merupakan gabungan dari 24 lembaga yang terdiri dari, IPC, ICW, Perludem, SSS, Cetro, JPPR, Elpagar Pontianak, Legal Watch Commite Sulawesi, SKRUM Makasar, Yayasan Manikaya Kauci, Lembaga Studi Kebijakan Publik, Cosdec, LP2, AJMI, MaTa, TUCC, Gerak Aceh, The Aceh Institute, ACSTF, LSM Aceh, Mispi Aceh, Forkolapan, dan Walhi Aceh. (kyd/jpnn)
 
BACA ARTIKEL LAINNYA... PKS Pesimis Penegakan Hukum Maksimal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler