jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) meminta Ketua MPR Amien Rais, mantan Ketum PP Muhammadiyah Sirajuddin Syamsuddin alias Din Syamsuddin dan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono, memperbaiki gugatan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Covid-19.
Sejauh ini, MK melihat materi gugatan masih belum sempurna sehingga perlu para pemohon memperkaya wawasan aturan penanganan Covid-19 dari negara lain.
BACA JUGA: Din Syamsuddin Minta Jokowi Fokus Tangani Corona Ketimbang Kartu Prakerja
Hakim Konstitusi Wahidudin Adams, menyarankan pemohon mengomparasi aturan hukum penanganan virus menular ini dari negara-negara lain. Sebab, pandemi Covid-19 bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan secara global.
"Kan banyak, Amerika, Italia, Tiongkok, Taiwan, Vietnam dan lainnya," kata Wahidudin menanggapi permohonan pendahuluan uji materi Perppu 1/2020 di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/4).
BACA JUGA: Baca Baik-baik Pernyataan Din Syamsuddin soal Jenazah Corona
Meski demikian, Wahidudin menyarankan para pemohon untuk menyertakan wawasan itu dengan kerangka ilmiah.
Menurut Wahidudin, penting didasari analisis akademik untuk memperkaya wawasan dan menguatkan gugatan uji materi terkait Perppu 1/2020.
BACA JUGA: Perppu Nomor 1 tahun 2020 Sama Bahayanya dengan Corona, Layak Ditolak DPR
"Saya yakin bisa hal ini diperkaya dan sejauh mana mengenai postur keuangan negara mereka dalam hal ketatanegaraan yang boleh dikatakan abnormal ini," jelas Wahidudin.
Dalam permohonan gugatannya, Amien Rais Cs menilai Pasal 2 Perppu 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23 Ayat 1 UUD 1945. Kebijakan tersebut mengatur tentang pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk dapat menentukan batas defisit anggaran di atas tiga persen terhadap UU APBN sampai dengan tahun 2022.
Tim kuasa hukum pemohon Ahmad Yani menyebut dalam Pasal 2 ayat 1 huruf a angka 1, 2 dan 3 Perppu 1 Tahun 2020 tidak menentukan batas minimal persentase produk domestik bruto (PDB) sehingga membuka peluang bagi pemerintah menentukan persentase PDB terhadap defisit anggaran tanpa batasan.
"Hal ini dapat berimplikasi pada membengkaknya pos pembiayaan APBN," ujar Yani.
Yani menyebut, penggunaan APBN tanpa batas maksimal dalam penanganan pencegahan Covid-19 berlaku sampai 2022. Dia memandang, ketentuan ini mengikat tiga UU APBN sekaligus, yakni UU APBN TA 2020, UU APBN TA 2021, UU APBN TA 2022.
"Hal ini secara nyata bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945 yang menentukan bahwa APBN ditentukan setiap tahun. Karena persentase defisit terhadap PDB akan menentukan nilai pos pembiayaan dalam APBN," sesal Yani.
Menurutnya UU APBN 2021 dan UU APBN 2022 belum ada produk hukumnya. Sehingga penetapan APBN setiap tahun menjadi tidak bermakna manakala selisih antara pendapatan dan belanja dibuka tanpa batas maksimal. Hal ini menyangkal dua UU APBN yang bahkan belum ada produk hukumnya.
Hal ini, kata Yani, patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan agar pemerintah dapat melegitimasi hukum dalam menyusun anggaran negara dalam tiga tahun ke depan. Khususnya pinjaman luar negeri yang dianggap jalan paling rasional dalam pemulihan ekomoni pascaCovid-19.
Oleh karena itu, Yani mengungkapkan UU APBN seharusnya tidak masuk ke dalam kebijakan Perppu 1/2020 untuk penanggulangan Covid-19. Dia menilai, merupakan suatu yang mengharamkan jika UU APBN masuk ke dalam Perppu.
"Seharusnya direvisi melalui APBNP. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum juga tidak terpenuhi. Alasan mendesak Perppu ini juga tidak terpenuhi sebab DPR masih bersidang," tegas Yani. (tan/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga