MLM Hati, Cara POTADS Menguatkan Orang Tua Anak Penyandang Down Syndrome

Tiap Hari Rutin Terima Curhat via Telepon

Senin, 29 Oktober 2012 – 08:08 WIB
Noni Fadhilah saat peringatan Hari Syndroma Down se-Dunia yang jatuh pada 21 Maret. Foto: Dokumen POTADS

POTADS rutin berkumpul setiap tiga bulan sekali, menyebarkan informasi via BBM Group, milis, media sosial, dan website. Tujuannya menyadarkan orang tua yang memiliki anak penyandang down syndrome agar bersikap terbuka atau si anak bakal semakin terbelakang.
 
  Naufal Widi A.R., Jakarta
 
PEREMPUAN itu dengan bangga bercerita tentang keponakannya yang spesial, Arengga Pinnata Azzahra. "Saya punya keponakan DS (down syndrome) yang berumur 7 tahun. Namanya Arrengga Pinnata Azzahra. Itu nama pemberian saya karena Zahra keponakan pertama saya. Zahra pintar sekali. Dia sangat tahu siapa yang benar-benar tulus menyayanginya," tulisnya di situs www.potads.com.

Tapi, si tante rupanya sedih karena keponakan tercinta belum bisa berjalan dan berbicara. Karena itu, dia meminta informasi tempat terapi untuk anak penyandang down syndrome yang buka setiap Minggu. "Jadi, kalau libur kerja, (saya) bisa anter Teteh Zahra terapi," katanya lebih lanjut dalam tulisan yang di-posting pada 24 Oktober silam tersebut.

Ada banyak posting-an lain dari berbagai kota dengan nada serupa: mencari informasi. Seorang ibu yang mengidentifikasi diri sebagai Mama Shilla, misalnya, bertanya apa yang sebaiknya dilakukan terhadap putrinya yang lahir Februari tahun silam yang juga menyandang down syndrome.

"Sekarang beratnya baru 4 kilogram. Apakah anak saya membutuhkan terapi serta kapan terapi itu perlu dilakukan?" tulisnya.

Dua belas tahun setelah kelahirannya, salah satu jasa besar organisasi pemilik situs tersebut, POTADS, adalah menjadi tempat bertanya sekaligus berbagi informasi di antara para orang tua yang memiliki anak penyandang kelainan kromosom yang kerap dianggap sebagai kutukan tersebut.

"Memang dokter bisa memberikan support secara medis, tapi juga penting untuk support orang tua yang setiap hari bertemu (mengurus) anak," terang Ketua POTADS Noni Fadhilah ketika ditemui di Jakarta belum lama ini.

Semua berawal dari ruang tunggu klinik khusus tumbuh kembang Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Syahdan, sembari menunggu giliran konsultasi dengan dokter, para orang tua anak penyandang down syndrome selalu terlibat dalam pembicaraan. Topiknya jelas tentang buah hati mereka yang menyandang kelainan kromosom yang pertama ditemukan ilmuwan Inggris John Langdon Down pada 1866 itu.

Segala curahan hati tertumpah di sana: mulai sedih, stres, perasaan bersalah, hingga sakit hati karena tidak dapat menerima kenyataan. Terlebih, memikirkan masa depan yang dihadapi bersama si anak kelak.

Obrolan itu tidak hanya terjadi satu kali, namun hampir tiap kali bertemu di klinik. Sharing pengalaman membuat mereka saling menguatkan satu sama lain. Akhirnya, tercetuslah ide untuk membuat perkumpulan yang kemudian diberi nama Persatuan Orang Tua Anak "dengan Down Syndrome (POTADS).

"Kami sering ngobrol, sharing tentang pengalaman masing-masing. Sampai kemudian merasa kok kayaknya perlu ada perkumpulan khusus," kenang Noni tentang pembentukan organisasi yang dia pimpin itu saat ditemui di kawasan Cinere, Jakarta Selatan, belum lama ini.

POTADS didirikan pada 2000 oleh tiga perempuan, yaitu (alm) Aryati Supriono (ketua), Noni Fadhilah (sekretaris), dan Ellya Goestiani (bendahara). Ketika Aryati Supriono meninggal dunia pada akhir 2007, Noni dipercaya untuk menjadi ketua perkumpulan yang disahkan menjadi yayasan pada 2003 itu.

Noni menceritakan, keputusan untuk membentuk perkumpulan tersebut merupakan bentuk parents support (dukungan orang tua). "Karena memang saat mendapatkan anak (dengan down syndrome) itu, perasaannya nggak keruan," tuturnya.

Secara umum, down syndrome atau juga disebut sindrom down merupakan bentuk kelainan kromosom yang berdampak pada keterlambatan pertumbuhan fisik dan mental anak. Kelainan itu bisa dideteksi saat bayi dilahirkan atau ketika masih dalam kandungan melalui prenatal screening.

Noni mengenang betapa kacau balaunya perasaannya saat melahirkan sang putri, Zeina Nabila, 18 November 1990, yang menyandang down syndrome. Beruntung, dia segera sadar bahwa kesedihan itu tak boleh dibiarkan berlarut.

"Waktu tiga minggu sampai satu bulan cukup ( untuk sedih, Red), setelah itu harus bangkit. Karena kalau tidak, anak akan semakin terbelakang," paparnya.

Sebab, menurut dia, anak yang menyandang down syndrome membutuhkan penanganan sejak dini. Setelah ikhlas menerima keadaan, orang tua harus segera mencari informasi, memeriksakan kromosom, dan mengikuti terapi-terapi, seperti fisioterapi, terapi wicara, terapi okupasi, dan memberi anak kesempatan belajar. Nah, peran itu ada pada orang tua yang selalu berinteraksi dengan si anak.

Mulailah POTADS menyelenggarakan pertemuan dengan para orang tua anak penyandang down syndrome dengan mengundang dokter, psikolog, atau terapis. Peringatan-peringatan hari down syndrome sedunia yang jatuh setiap 21 Maret pun mereka lakukan dalam skala yang cukup besar.

Awalnya, sharing diikuti 20 hingga 30 orang tua. Kemudian, jumlahnya berkembang hingga 100 orang. Jika awalnya memanfaatkan ruang aula rumah sakit, lambat laun pertemuan dipindah ke tempat yang lebih menimbulkan suasana kekeluargaan. Misalnya, restoran, kafe, atau rumah pengurus POTADS. "Kalau orang tuanya solid, anak juga akan solid," ujar Noni.

POTADS punya cara tersendiri dalam melakukan sosialisasi untuk bisa merangkul para orang tua yang memiliki anak dengan down syndrome. Mereka menitipkan brosur kepada dokter-dokter anak. Intinya, jika ada pasien yang membutuhkan tempat sharing, POTADS siap mewadahi. Ternyata, respons dokter positif dan banyak orang tua yang kemudian menghubungi POTADS.

"Karena para orang tua ini awalnya malu. Tidak terbuka. Padahal, kondisi semacam ini harus segera ditolong," tutur Noni.

Salah satu upaya yang diyakinkan adalah bahwa anak titipan Tuhan. Walhasil, hampir tiap hari Noni dan pengurus POTADS menerima curhat via telepon dari orang tua tentang sang anak yang menyandang down syndrome. Mulai cara menangani anak dengan down syndrome hingga mereka yang masih perlu mengatur perasaannya karena melahirkan anak "istimewa" itu. Bahkan, ada pula yang beranggapan anak tersebut sebagai kutukan.

"POTADS juga menginformasikan bahwa down syndrome bukanlah penyakit turunan ataupun kutukan yang ditakuti," terang ibu empat anak itu.

Nah, di situlah POTADS menerapkan MLM hati. "MLM ini tidak menjual sesuatu, tapi menolong ibu, sharing, menguatkan. Saling memberikan info mau ke mana nanti anak di masa depan," katanya.

MLM hati itu terbukti efektif. Sebab, dari seorang ibu, informasi kemudian bisa tertular kepada orang tua lain yang menghadapi persoalan serupa. "Ternyata, kemudian jadi merasa perlu untuk kumpul-kumpul," ujar Noni.

Jadilah kini POTADS mengadakan pertemuan rutin setiap tiga bulan yang dinamakan kopi darat"POTADS. Biasanya, kegiatan itu mendatangkan pakar kesehatan maupun terapis. Temanya disesuaikan dengan permintaan dari Sahabat POTADS, sebutan untuk anggota perkumpulan. Keanggotaan POTADS bersifat terbuka tanpa ada pungutan biaya.

Tidak hanya itu, POTADS juga sudah melakukan kampanye kecil-kecilan. Noni lantas menceritakan pengalaman seorang pengurus POTADS yang baru saja pindah rumah.

Di lingkungan yang baru itu, sang orang tua melakukan presentasi kepada tetangga-tetangganya untuk menjelaskan kondisi anaknya yang menyandang down syndrome. Dia menegaskan, anak itu tetap memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya. Mereka juga titipan Tuhan yang perlu dijaga. Respons para tetangga ternyata positif dan bisa menerima.

"Ada yang bilang, o berarti saudara saya itu ada yang down syndrome. Kemudian, jadi tanya dokternya di mana, bagaimana mendidik, dan sebagainya," urai lulusan Teknik Elektro Universitas Trisakti itu.
 
"Bahkan, pernah anak itu diantar pulang oleh teman-temannya. Katanya, kan dulu dibilang kalau titipan Allah, jadi dijagain. Alhamdulillah, jadi seperti kampanye kecil-kecilan dan berhasil," tutur Noni, lantas tersenyum.

Metode getok tular itu yang kini membuat jumlah Sahabat POTADS terus bertambah. Noni menyebut data tiga tahun lalu mencapai lebih dari 700 orang. POTADS juga sudah memiliki pusat informasi dan kegiatan (PIK) di sejumlah kota. Di antaranya, Jakarta, Medan, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, dan Bali. Noni berharap nanti PIK itu bisa ada di seluruh Indonesia.

Sebagai sarana komunikasi, lanjut Noni, POTADS memanfaatkan media elektronik. Misalnya, BlackBerry Messenger (BBM) Group, milis, media sosial, dan website. Cara itu lebih mengena untuk mewujudkan visi POTADS yang menjadi pusat informasi dan kegiatan terlengkap tentang down syndrome di Indonesia.

Bulan depan POTADS juga akan menerbitkan buku berseri. Buku itu merupakan salah satu program POTADS dalam meningkatkan informasi untuk masalah sindrom down. (*/c6/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingatan Pulih lewat Metode Keroncong, Waldjinah Ingin Kembali Bernyanyi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler