Andi Suhandi menerapkan sistem pengajaran berjenjang untuk ratusan anak asuhnya di Sanggar Matahari. Untuk mengatasi minder, mereka diikutkan lomba di berbagai bidang. Hasilnya, sederet prestasi membanggakan diraih.
SEKARING RATRI A., Bekasi
SETELAH sekian lama pontang-panting mencari dana, pasangan suami-istri Andi Suhandi-Nadiah Abidin pun sampai pada suatu titik bahwa mereka benar-benar putus asa tentang cara mengatasi kesulitan keuangan Sanggar Matahari. Ketika itu, akhir 2010, keduanya pun sempat berniat menghentikan eksistensi sanggar yang didirikan Andi pada 2006 itu.
"Tapi, keesokan harinya ada anak (asuh) yang bilang, kakak saya kepilih jadi ketua OSIS. Mendengar itu, deg, saya sama Nadiah langsung mengurungkan niat untuk berhenti berjuang," kenang Andi ketika ditemui di kediaman pribadinya di Kawasan Kaliabang Tengah, Bekasi, Kamis malam lalu (11/10).
Keputusan itu bermuara pada hasil yang mengagumkan sehingga Andi akhirnya terpilih sebagai penerima Kick Andy Young Hero 2011, sebuah penghargaan dari salah satu talk show terkenal di televisi. Selain rumah yang ditempati sanggar yang semula kontrakan menjadi hak milik, yang terpenting lagi, ratusan anak jalanan yang diasuh di sanggar tersebut juga terentas kehidupannya.
Mereka tak cuma bisa mengenyam pendidikan formal maupun nonformal, tapi juga melahirkan sederat prestasi lewat beragam kegiatan positif di sanggar. Ada yang juara lomba menulis puisi, lomba membaca puisi, bahkan fashion show.
Kelompok teater dan nasyid yang beranggota anak-anak sanggar tersebut juga kerap diundang tampil di berbagai event, baik di Bekasi maupun kota lain. Sebuah workshop juga tengah dibangun di lantai dua bangunan yang menjadi markas sanggar.
Sanggar Matahari kini juga sudah membuka "cabang" di Sukabumi. "Sekarang mereka bisa mengurus sanggar sendiri. Jadi, sudah ada pengurus tetapnya," jelas Andi yang kini menjabat manajer umum di Rumah Sakit Zainuttaqwa, Bekasi, itu.
Sekitar 200 anak meriung di Sanggar Matahari, Bekasi, setiap hari, tapi tak semuanya menetap. Tak semuanya anak jalanan (anjal). Ada yang dari keluarga dhuafa, atau pedalaman dan tak punya tempat tinggal.
Andi dan sang istri mendisiplinkan mereka, mengajari mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri dan anak-anak lain lewat metode yang unik: MLM (multilevel marketing) kebaikan. Intinya adalah sistem pengajaran berjenjang.
"Jadi, kami mengajarkan bahwa satu anak yang berprestasi mengajari anak-anak yang lain. Yang besar juga belajar menjaga adik-adiknya," jelas Andi.
Semua capaian itu tentu tak terbayangkan ketika Andi pertama merantau ke Bekasi selepas SMA pada 2006. Maklum, kehidupan pria yang kini berusia 25 tahun tersebut juga begitu susah.
Jangankan mendirikan sanggar, kedatangannya ke Bekasi saat itu juga untuk menyambung hidup dengan membantu sang kakak "dipanggilnya dengan sebutan Kang Ujang" berjualan agar-agar. Dia memang dari keluarga miskin.
Jadi, sejak kecil pria kelahiran 19 Agustus itu terbiasa bekerja keras. Saat duduk di bangku sekolah dasar (SD), Andi melakoni beberapa pekerjaan kasar untuk membantu perekonomian keluarga. "Mulai nyabit rumput, menggembala kambing, jadi kuli bangunan, tukang antar batu, tukang antar genting, mencari kayu bakar, dan menjual semangka," kenang Andi.
Menginjak bangku SMP, kehidupan Andi belum lepas dari kemiskinan. Dia membantu orang tuanya dengan berjualan pakaian dalam wanita. Setelah lulus dari SMPN 1 Cibadak, Andi ingin melanjutkan ke jenjang SMA.
Namun, keinginannya menemui banyak kendala. Salah satunya, di lingkungan keluarga, tidak ada yang melanjutkan sekolah hingga SMA. Bahkan, di kampungnya, sudah menjadi tradisi bahwa setelah lulus SMP, yang pria menjadi kuli bangunan atau sejenisnya.
Adapun yang perempuan memilih menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Andi ingin mendobrak tradisi tersebut. Karena itu, meski belum mendapat izin dari orang tuanya, dia nekat mendaftar di SMAN 1 Cibadak.
Awal di Bekasi setelah lulus SMA, Andi hanya membantu membuat agar-agar. Namun, penghasilan dari menjual agar-agar tidak cukup untuk biaya masuk kuliah. Andi pun memutuskan ikut mengamen sekaligus nyambi sebagai penjaga parkir.
Bergelut di jalanan itu membuat mata Andi terbuka menyaksikan kerasnya kehidupan anak-anak jalanan. Tidak jarang mereka mengamen hingga dini hari. Sebab, tidak sedikit orang tua yang menuntut anak-anaknya menyerahkan setoran yang nilainya tidak sedikit.
"Sehari mereka harus setor Rp 20 ribu, bahkan ada yang Rp 30 ribu. Kalau nggak dapat segitu, reaksi orang tuanya macam-macam. Ada yang dipukul, ada yang dimarahi. Ada juga yang sampai disundut rokok," ungkapnya.
Karena itu, kebanyakan anak-anak jalanan tersebut memilih tidak pulang ke rumah. Mereka lantas tidur di emper toko. Menyaksikan kenyataan itu, Andi merasa miris.
Andi pun tergerak untuk lebih mendalami kehidupan anak-anak jalanan tersebut. Dia bertekad mengajak mereka kembali bersekolah. Kebetulan, Kang Ujang adalah "penguasa" kawasan para pengamen tersebut berkumpul sehingga memudahkan Andi masuk ke lingkungan mereka.
Andi mengajak mereka belajar mengaji. Maklum, Andi adalah guru mengaji andal di kampungnya. Sembari mendampingi anak-anak jalanan tersebut, Andi tetap tidak melupakan keinginannya untuk kuliah.
Setelah merasa punya uang cukup untuk mendaftar kuliah, dia memutuskan masuk ke Unisma (Universitas Islam 45) Bekasi.
"Tapi, sempat nggak boleh masuk sama satpam. Katanya pengamen nggak boleh masuk kampus," ujarnya lantas terbahak.
Walau sudah kuliah, dia tidak melupakan anak-anak jalanan asuhannya. Andi memang tidak lagi tinggal di emper toko, melainkan di area cleaning service di kampusnya. Namun, dia terus mendampingi anak-anak asuhannya karena dia juga masih menghidupi diri dengan mengamen dan menjaga parkir.
Lama-kelamaan mulai terpikir untuk mencarikan sebuah rumah singgah bagi anak-anak jalanan tersebut. Seorang ustad yang dikenalnya bersedia menyewakan rumah kontrakan bagi anak-anak itu.
Akhirnya pada pertengahan 2007, Andi beserta anak-anak asuhannya pindah ke rumah yang berlokasi di kawasan Kampung Mede, Bekasi. Ternyata, upaya Andi mengentaskan anak-anak tersebut dari jalanan mendapat perhatian seorang relawan bernama Nadiah Abidin yang belakangan akhirnya menjadi istrinya.
Kala itu, Nadiah yang juga penulis, penerjemah, dan penyiar radio itu membantu Andi mencari biaya untuk menghidupi anak-anak tersebut. "Saya berusaha lewat media sosial dan jejaring sosial untuk mencari donasi buat anak-anak," ujar perempuan berkacamata itu.
Namun, keberadaan anak-anak di Kampung Mede kurang diterima masyarakat sekitar. "Akhirnya kami pindah. Kami mencari lokasi yang pas dan akhirnya ketemu di kawasan Pintu Air pada Oktober 2008. Di sana kami yakin tidak ada yang protes karena kebanyakan yang tinggal juga kalangan yang tidak mampu," jelas Nadiah.
Di tempat baru itu, Andi dan Nadia mulai menyekolahkan anak-anak asuh mereka. Awalnya ke sekolah kejar paket. Namun, mereka mengeluh karena gurunya sering tidak hadir. Tanpa berpikir panjang Andi dan Nadiah memindahkan mereka ke sekolah formal. Anak-anak tersebut memilih sekolah sendiri.
Soal biaya, Andi dan Nadiah bahu-membahu. Padahal, mereka tak cuma membiayai sekolah, tapi juga uang jajan hingga biaya hidup.
Rata-rata sebulan mereka menghabiskan biaya lebih dari Rp 5 juta. Untuk mencukupi kebutuhan para anjal itu Andi harus bekerja lebih keras. Selain mengamen dan menjaga parkir, dia akhirnya juga menjadi distributor baut. Sementara Nadiah getol mencari bantuan dana lewat internet.
Beruntung, menginjak semester 4, Andi mulai mendapat tawaran bekerja paro waktu dari dosen-dosen di kampusnya. Dia menjadi asisten fotografer. Andi pun kerap diajak ke luar kota oleh dosennya. Dia pernah membikin proyek di Bali dan Jogjakata. Pengalaman itu dijadikan pancingan motivasi bagi anak-anak jalanan asuhannya.
"Mereka kan tanya, kok bisa ke Bali sama ke Jogja, Kak. Saya bilang, kalau kalian mau seperti saya, kalian harus sekolah dan kuliah," ujar Andi.
Berkat pekerjaan tersebut, Andi tidak perlu mengamen lagi. Dia fokus menjadi asisten dosennya dan tetap menjadi distributor baut. Kebutuhan ekonomi sanggar pun mulai terpenuhi meski kadang masih kekurangan.
Kendala lain, kali pertama masuk di sekolah formal, anak-anak Sanggar Matahari ternyata minder. Andi dan Nadiah lantas sering mengikutkan mereka dalam sejumlah perlombaan untuk meningkatkan kepercayaan diri. Hasilnya, tidak sedikit yang berhasil menjadi juara.
"Ada yang juara 1 lomba menulis puisi dan membaca puisi se-Kota Bekasi. Kami juga pernah ikut lomba teater di kampusnya Mas Andi. Ada juga yang ikut lomba fashion show dan juara dua. Kemenangan-kemenangan itu membuat mereka jadi percaya diri," jelasnya.
Kini, selain sama-sama kembali berkuliah, Andi dan Nadiah yang sudah dikaruniai satu putri itu punya cita-cita mulia lainnya. "Kami berniat membangun SMP dan pesantren di Cibadak, Sukabumi. Sebab, di sana kan belum ada SMP," kata Nadiah. (*/c2/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KRI Dewaruci dalam Perjalanan Pulang dari Ekspedisi Keliling Dunia
Redaktur : Tim Redaksi