JAKARTA - Kecurangan proses Penerimaan Siswa Baru (PSB) dengan modus menjual kursi ke orang tuas calon siswa, sulit dihentikan. Selama hasil ujian tulis seleksi masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak pernah dibuka secara transparan, selama itu pula praktek jual kursi oleh pihak sekolah, masih akan terus terjadi.
Jadi, menurut Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Coruption Watch (ICW) Febri Hendri, kunci untuk menghentikan praktek busuk di tempat mendidik anak itu adalah pembenahan sistem.
"Satau-satunya cara, harus sistemnya yang dibenahi. Harus ada transparansi hasil ujian tertulisnya," ujar Febri kepada JPNN di Jakarta, kemarin (7/7). Jalur bina lingkungan yang melewati tes ujian tulis, paling empuk menjadi arena 'permainan'.
Hasil tes tertulis yang dirahasiakan, menjadi pemicu aksi tawar-menawar. Oknum dari pihak sekolah ataupun pejabat dinas terkait, dengan dalih bisa memasukkan siswa yang nilainya jeblok, minta sejumlah uang ke ortu siswa. Sementara, si ortu siswa tidak diberitahu berapa sebenarnya nilai hasil tes tertulis anaknya.
"Siswa dan orang tuanya tidak tahu, apa betul nilainya jelek sehingga tak lulus. Tapi tiba-tiba ada yang lulus meski selama ini calon siswa itu prestasi sekolahnya jelek. Selama hasil tes tak diumumkan, akan terjadi terus masalah ini," ujar Febri dengan nada pesimis.
Kemendiknas di Jakarta sendiri, menurut Febri, juga tak serius untuk melakukan pembenahan sistem. ICW, lanjutnya, sudah sejak 2004 memberikan rekomendasi ke kementerian yang kini dipimpin Mohammad Nuh itu, agar mengeluarkan regulasi untuk pembenahan sistem penerimaan siswa baru. "Tapi rekomendasi ICW hanya dijadikan bantal saja," cetusnya kesal.
Pihak kemdiknas berdalih bahwa urusan sekolah menjadi kewenangan pemda. Padahal, kata Febri, mestinya kemdiknas tetap bisa mengeluarkan kebijakan yang bisa menjadi acuan pemda.
Satu-satunya kebijakan yang dikeluarkan kemendiknas terkait masalah ini adalah terbitnya Permendiknas Nomor 60 Tahun 2011 tentang larangan pungutan biaya pendidikan pada Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). "Hanya sekolah dasar dan menengah saja. Itu pun ada rencana Permendiknas itu direvisi. Kemendiknas tak serius," kata Febri.
Lantas, apa yang bisa dilakukan ICW? Seperti yang sudah kerap diberitakan, ICW bersama Ombudsman RI membuka Posko Pengaduan di sejumlah tempat, yang tersebar di sejumlah daerah.
Dia mengimbau para orang tua calon siswa agar berani melapor jika diminta uang oleh oknum pihak sekolah, atau pejabat di daerah, yang mengaku bisa meluluskan anaknya. "Tak boleh takut untuk mengungkap kebenaran," imbaunya.
Apakah semua pengaduan akan ditindaklanjuti untuk dilaporkan ke aparat hukum? Dan apakah aparat hukum bakal menghukum si oknum nakal? Febri sendiri pesimis.
"Selagi kami bisa mengadvokasi, ya itu yang akan kami lakukan," ucapnya. Dia mengakui, sulit untuk menciptkan efek jera hingga aksi suap, pungli, atau pun jual kursi, tidak terulang lagi di masa-masa mendatang.
"Misalnya dari kasus tahun ini ada satu dua kepala sekolah yang dipenjara, itu pun tak akan bisa menciptakan efek jera yang meluas," ujarnya. "Karena jumlah sekolah ribuan," imbuhnya memberikan alasan. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... SNMPTN 2013, Jatah Jalur Undangan Ditambah
Redaktur : Tim Redaksi