Moeldoko Cinta Pers, Alex Genjot Sumsel

Kamis, 28 Agustus 2014 – 07:25 WIB

JAKARTA - Hari kedua pelaksaan Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos National Network (Forum Pemred JPNN) semakin inspiratif. Sejumlah tokoh nasional hadir memberi pencerahan dan inspiratif atas usaha-usaha dan kerja keras mereka yang konsisten dalam bidangnya masing-masing.
    
Tokoh yang hadir kemarin adalah Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Gubernur Sumsel Alex Noerdin, Dirut Bank BNI Gatot Soewondo dan politisi PDIP Achmad Basarah.
    
Jenderal Moeldoko yang mengawali perbincangan pada sesi pertama di hadapan puluhan pemimpin redaksi se-Jawa Pos Group bercerita pengalaman masa kecilnya yang susah. Lahir dari sebuah kampung di pelosok Kediri hingga bisa menjabat sebagai Panglima TNI.

”Nama desa kelahiran saya namanya Desa Pesing. Saya juga bingung, anak yang berasal dari desa yang jauh dan jelek itu, kok bisa jadi Panglima TNI. Tapi itulah perjalanan kehidupan,” kata Moeldoko di JCC, Senayan, Jakarta, kemarin (27/8).

BACA JUGA: Kepiawaian Politik Jokowi Diuji

Jenderal Moeldoko mengaku, sepanjang karirnya di TNI, dia tidak pernah mengoreksi media. Tidak pernah menyebut berita media tendensius atau tidak berimbang. ”Sebab sejak menjabat Komandan Distrik Militer (Dandim) Jakarta Pusat, saya sudah banyak bergaul dengan media,” kata peraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) ini.

Ketika menjadi pimpinan tertinggi di institusinya, Moeldoko memanfaatkan kesempatan itu untuk mengubah paradigma prajurit dalam menangani komunikasi publik. ”Saya sosialisasikan paradigma baru bersosialisasi,” kata jenderal bintang empat ini.

BACA JUGA: Pimred Kompas.com Tutup Usia

Dia bercerita, dulu TNI dalam membangun komunikasi itu sering satu arah. Mau mengendalikan informasi. Tidak senang wartawan, diusir. Jengkel kepada wartawan, kamera diambil, dirusak.

Menurutnya, sekarang tidak bisa lagi seperti itu. ”Bukan dengan cara itu kendalikan informasi. Tapi dengan memberikan informasi sejujur-jujurnya, dengan batas tertentu,” kata Moeldoko.

BACA JUGA: Pelanggar HAM Tak Bisa Jadi Menteri

Meski demikian, Panglima TNI mengakui prajurit di tingkat bawah masih ada yang menjalankan praktek-praktek lama dalam menghadapi wartawan. Misalnya mengintimidasi atau mengancam. Beberapa pemred grup Jawa Pos pun bercerita masih ada kasus wartawannya ditekan atau bahkan dianiaya oleh oknum tentara.

”Memang tidak mudah mendistribusikan keinginan ke bawah. Pasti ada saja kesenjangan. Saya minta bantuan kalangan media untuk melakukan pendekatan dan diskusi dengan komandan-komandan di daerah,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Panglima TNI menyinggung soal panasnya suhu politik pada ajang Pemilu Presiden beberapa waktu lalu. Situasi yang panas itu semakin tinggi tensinya dengan keterlibatan banyak purnawirawan jenderal di arena politik.

Seperti diketahui, calon presiden Prabowo Subianto adalah pensiunan jenderal bintang tiga yang juga mantan Komandan Jenderal Kopassus. Pabowo diusung oleh koalisi merah putih yang dikomandoi Partai Gerindra. Di pihaknya, banyak mantan jenderal bergabung.

Tapi di pihak Joko Widodo juga tak sedikit pensiunan jenderal sebagai penyokong. Salah satunya adalah mantan Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto. Perseteruan diantara pensiunan jenderal itu sangat sengit di panggung politik, hingga mengkhawatirkan akan berdampak pula pada institusi TNI.

”Munculnya kelompok purnawirawan itu adalah kondisi alamiah di dunia demokrasi. Mereka bukan lagi prajurit, jadi bebas berpolitik,” kata Moeldoko dengan nada santai.

Dia menegaskan, apa pun yang dilakukan purnawirawan itu, tidak akan mempengaruhi institusi TNI. Dan TNI ini juga tidak tidak mau dipengaruhi oleh para mantan jenderal itu. TNI tetap netral dan profesional.

”Alhamdulillah , semua itu sudah dapat kami lewati dengan baik,” ujar Panglima. Supaya TNI tetap profesional, dia melanjutkan, jangan coba-coba menarik masuk TNI ke arena politik. Kalau TNI sudah masuk politik, demokrasi akan rusak.

Tampil sebagai pembicara kedua adalah Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin. Seperti diketahui, nama Alex Noerdin mencuat ke kancah nasional setelah sukses menggelar berbagai even nasional hingga internasional. Mulai PON, Sea Games, hingga Asian Games yang akan digelar 2018 mendatang.

Alex Noordin memaparkan kesuksesannya dengan bercerita kilas balik tentang kejayaan Sriwijaya sebagai sejarah Sumsel. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya, merupakan kerjaan maritim terbesar. Sejak 1.300 tahun lalu Sriwijaya menguasai Selat Malaka. Sriwijaya, menguasai perdagangan dengan  Tiongkok dan India.

"Begitu besar pengaruhnya, hingga raja-raja di Tiongkok menghadiahkan amoy cantik untuk dijadikan salah satu istri Raja Sriwijaya. Makanya Orang Palembang putih-putih,” selorohnya.

Wilayah kekuasaan Sriwijaya melebihi Indonesia. Yakni membentang dari Filipina hingga Madagaskar, Afrika. Makanya sekarang ada nama Sriwijaya sebagai salah satu desa di Afrika Selatan.
 
Menurutnya Sumsel memiliki jarak geograif paling  strategis di antara negara-negara Asean.Potensi sumber daya alam melimpah dengan menghasilkan sebagian besar batu bara nasional.

"Komuditas gasnya menerangi Singapura. Kantor-kantor Jawa Pos Group bisa terang karena bahan bakarnya datang dari Sumsel," ucapnya, yang disambut tepuk tangan hadirin.

Sumsel memiliki potensi 75 persen geothermal di Indonesia. Ataun setara 28 persen geothermal dunia. Karena 40 persen gethermal dunia ada di Indonesia. "Sumsel surplus beras 24 ton. Ketika pemerintah butuh 10 juta ton stok beras nasional, 1,3 ton dari Sumsel," ucapnya. Sumsel surplus listrik 5m800 mega watt, hingga disuplai ke Jambi, Lampung, hingga Bengkulu.
    
Alex berseloroh bahwa dia sebenarnya bukan Gubernur Sumsel tetapi CEO South Sumatera Incorporation.  ”Kalau kepala daerah bekerja dengan mengandalkan APBD, kalau saya menarik dana-dana dari luar masuk ke Sumsel,” katanya.

Salah satu sukses lain adalah ketika Sumsel hanya diberi waktu 11 bulan untuk menggelar Sea Games yang gagal dilaksanakan di Riau.

Ditanya apa penyelenggaraan even-even olahraga itu menguntungkan? Atau sebaliknya, nombok? Alex menyebut, Jakabaring Sport City menghabiskan  Rp 2,1 triliun. Dana itu dari pihaknya  APBD Rp 200 miliar,  APBN Rp 300 miliar, dan sisanya ditutup oleh pihak ketiga dan swasta. "Dihitung rugi, bangunan itu (Jakabaring Sport City) kini jadi milik kami," paparnya.

Yang paling penting, menurut Alex, justru nilai tambahnya. Yakni mendapat kepercayaan internasional. Dampaknya adalah percepatan  investsasi di Sumsel. Karena itu memacu semangat percepatan pembagunan daerah. "Bukan karena gamesnya," paparnya.

Karena even itu mensyaratkan pembangunan  infrastruktur. "Dengan begitu Sumsel bisa membangun dua jembatan Ampera  baru, monorail pertama, tol pertama di Sumatta, Rumah Sakit Dareah baru paling canggih dan gratis, fly over underpass, dan lain-lain," ungkapnya.

Pengalaman yang disampaikan Dirut Bank BNI Gatot Soewondo juga tak kalah menariknya. Memegang tampuk pimpinan BNI sejak 2008, dia harus bekerja keras membenahi moral dan etos kerja sekitar 25 ribu pegawainya.

Tidak hanya masalah intern, dia juga harus berjuang membesarkan BNI hingga menjadi bank terbesar di tanah air dengan berbagai tantangan berat.

“Salah satunya banyaknya UU yang melingkupi Bank BUMN, termasuk BNI. Mau ada 10 UU-pun tidak masalah, asal semua UU itu seirama. Lha ini, satu UU kadang bertentangan dengan UU lain. Makanya, pinter-pinternya kita mengakalinya,” tegasnya. (dri/dni)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kubu Jokowi-JK Kembali Terjegal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler