jpnn.com, JAKARTA - Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir mengungkapkan pengalamannya selama lima tahun memimpin kementerian baru yang menggabungkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada 20 Oktober 2014, Nasir diangkat menjadi Menristek Dikti oleh Presiden Joko Widodo. Padahal saat itu dia baru terpilih sebagai Rektor Universitas Diponegoro, atau tepatnya pada 9 September 2014. Nasir kemudian membuat target yang belum pernah dicapai baik oleh Kemenristek maupun Ditjen Dikti.
BACA JUGA: Menristek Dikti Dorong Kampus Berinovasi dalam Menerapkan SOP
"Bukan cita-cita saya sebagai menteri. Saat itu diangkat sebagai menteri. Itu pikiran saya menjadi rektor, tetapi saya diangkat jadi menteri. Kinerja yang saya lakukan selama lima tahun ini tidak pernah saya bayangkan kira-kira tercapai atau tidak," ulas Nasir saat Bedah Kinerja Capaian Lima Tahun Kemenristekdikti (2014-2019) di Auditorium Lantai 2 Gedung D Kemenristek Dikti, Jumat (18/10).
Nasir mengungkapkan ada dua hal utama yang dilakukannya saat memimpin Kemenristek Dikti, yaitu memperbaiki birokrasi, terutama akuntabilitas anggaran dan mengefisiensikan layanan pada masyarakat melalui sistem online.
BACA JUGA: Menristekdikti Berharap Mahasiswa Ciptakan Robot untuk Bantu Pertahanan Negara
"Kami lihat dari sistem birokrasi yang ada di Kemenristek Dikti, dulu kami di Kemenristek Dikti mengurusi birokrasi itu saya ditugasi untuk menggabungkan Kementerian Riset dan Teknologi dan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," katanya.
Pada saat Nasir awal menjabat, baik Kemenristek maupun Ditjen Dikti masih mendapatkan opini dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berupa Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Menteri Nasir menargetkan untuk menjadikan Kemenristek Dikti sebagai gabungan dari dua lembaga tersebut mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Alhamdulillah bekerja dalam satu tahun langsung bisa meningkatkan reputasi Kemenristek dan Dirjen Dikti dari WDP menjadi WTP (setelah keduanya bergabung menjadi Kemenristek Dikti), Wajar Tanpa Pengecualian sampai sekarang. Ternyata laporan dari BPK, penyelesaian masalah paling cepat ada di Kemenristek Dikti. Setelah menata birokrasi dulu, yang kedua menata sistem layanan," ungkap Nasir.
Setelah Kemenristek Dikti dapat memiliki opini WTP, Nasir kemudian berfokus pada memangkas waktu dan biaya tidak langsung (mencetak dokumen, membawa dokumen ke Jakarta, dan sebagainya) dari layanan terkait riset dan pendidikan tinggi, salah satunya pada layanan penyetaraan ijazah luar negeri bagi lulusan luar negeri yang ingin kembali ke Indonesia.
"Dalam hal untuk mengurus penyetaraan ijazah bagi teman atau saudara kita yang sudah studi lanjut di luar negeri, dulu pulang untuk penyetaraan ijazah, mereka harus datang ke Kemenristekdikti di Jakarta, habis uangnya. Tapi untuk hal ini saya minta lakukan online melalui PINTU, yaitu Pusat Informasi dan Pelayanan Terpadu. Ini sekarang bisa online dengan cepat," kata Nasir.
Menristek Dikti menjadikan PINTU sebagai satu tempat yang menyediakan seluruh layanan publik sekaligus menerima laporan terkait program Kemenristek Dikti. Dengan PINTU, layanan publik dan laporan masyarakat dapat diselesaikan lebih cepat.
"Setelah ada PINTU ini kami ada perubahan cukup besar, jadi inilah yang harus kita dorong supaya ada perubahan. Ada perbaikan cukup tinggi di dalam penyelesaikan masalah terkait layanan dan ini diapresiasi dari Kementerian PAN-RB terhadap capaian ini," tutupnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad