jpnn.com, JAKARTA - Diversifikasi pangan menjadi isu penting di Indonesia seiring dengan terus meningkatnya populasi penduduk dan menyempitnya lahan persawahan.
Salah satu komoditas potensial yang bisa dikembangkan sebagai pangan alternatif pengganti nasi adalah singkong.
BACA JUGA: Berondong Peluru ke Arah Petugas, Otak Pelaku Tahanan Kabur Ditembak Mati, Dooor!
Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Arifin Lambaga mengatakan, selama ini singkong kurang dilirik karena citranya sebagai makanan kelas bawah dan juga dinilai kurang menguntungkan bagi petani.
"Visi misi kami bagaimana mengubah persepsi masyarakat yang memandang singkong ini makanan orang pinggiran atau orang miskin, menjadi makanan kita semua. Supaya lebih naik kelas lah singkong ini," ujar Arifin, Rabu (23/12/2020).
BACA JUGA: Pernyataan Tegas Gus Yaqut setelah Ditunjuk Presiden Jokowi Jadi Menag
Dia mengakui saat ini daya tarik masyarakat untuk menanam singkong masih terkendala oleh dua hal. Pertama, offtaker dari hasil budidaya singkong yang belum begitu banyak. Kedua, persoalan harga yang belum ada patokannya sehingga terkadang fluktuatif.
"Soal harga singkong ini variatif. Kalau musim panen kadang cuma Rp500-600 per Kg di tingkat petani. Kalau segitu harganya dengan produktivitas hanya 21-22 ton per hektar itu sangat minim pendapatan bagi petani. Idealnya harga berkisar Rp1.000-1.200 per Kg," ungkapnya.
BACA JUGA: AKBP Edya Kurnia Mulai Disidang, Kasusnya Lumayan Gede
Untuk mendongkrak harga, lanjut Arifin, MSI berupaya meningkatkan permintaan (demand) singkong di Tanah Air sehingga produksi singkong petani dapat terserap maksimal dan harganya bisa meningkat.
Upaya lain yang dilakukan MSI adalah meningkatkan produktivitas dengan membantu petani memperbaiki good agricultural practises. Tujuannya agar aspek pengolahan dan budidayanya lebih bagus sehingga produktivitas meningkat.
"Kita juga ingin mendukung program pemerintah untuk korporasi petani. Caranya, MSI membantu mengembangkan korporasi di wilayah desa, 2-3 desa kita bikin satu korporasi semacam Badan Usaha Milik Petani (BUMP)," ungkapnya.
Arifin menambahkan, saat ini kapasitas produksi singkong baru sekitar 20 juta ton per tahun. Menurutnya, angka ini masih bisa ditingkatkan hingga 30 juta ton per tahun. Tentunya hal ini hanya bisa tercapai melalui kerja sama yang baik dengan seluruh pemangku kepentingan.
"Ruang pengembangannya masih luas dan demand pun masih bisa terus ditingkatkan. Apalagi kita kan masih impor tapioka juga, belum lagi kalau kita kembangkan produk hilirnya," tuturnya.
Lebih lanjut Arifin menjelaskan, singkong sebagai sumber karbohidrat dan protein punya banyak keunggulan. Komoditas pangan yang dikenal merakyat ini bisa dimanfaatkan oleh industri skala rumah tangga hingga industri besar.
Singkong bisa diolah menjadi beragam produk seperti tepung atau chips sebagai bahan baku makanan sehari-hari, bahan baku bioetanol, hingga kantong plastik ramah lingkungan. Baru-baru ini, MSI bekerja sama dengan Perum Bulog juga meluncurkan produk beras singkong sebagai alternatif pengganti beras padi.
BACA JUGA: Dua Sejoli Ini Lolos dari Hukuman Mati
"Melalui kerja sama ini diharapkan anggota MSI terpacu untuk memproduksi beras singkong, karena produk yang mereka hasilkan nanti sudah ada yang menampung yaitu Bulog. Nanti Bulog yang menjualkan ke konsumen dengan harga sekitar Rp15.000 per Kg," pungkasnya.(dkk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Muhammad Amjad