jpnn.com - Mudik menjadi ritual tahunan paling khas di Indonesia.
Tahun ini diperkirakan 85 juta orang mudik dari kota-kota besar ke berbagai daerah.
BACA JUGA: Merak Makin Padat, Menhub Aktifkan 2 Pelabuhan Tambahan untuk Pemudik
Setelah dua tahun tertahan tidak bisa mudik, kali ini para pekerja urban di perkotaan beramai-ramai pulang kampung.
Fenomena ini oleh Reuters disebut sebagai migrasi terbesar di dunia.
BACA JUGA: Kapolri Tinjau Pelabuhan Merak, Lihat Jenderal yang Mendampingi
Media internasional seperti BBC melihat mudik di Indonesia sebagai fenomena sosial paling unik dan sekaligus paling masif di dunia.
Pemandangan kemacetan sepanjang 20 kilometer selama 8 jam di Pelabuhan Merak disebut sebagai rekor kemacetan terpanjang dan terlama di dunia.
BACA JUGA: Niat Doa Zakat Fitrah Lengkap, Baik Untuk Diri Sendiri, Pasangan, Keluarga dan Anak
Media lain seperti Bloomberg menyoroti perputaran uang dari para pemudik yang membawa dan mengirim uang dari kota ke desa.
Transfer of wealth, perpindahan kesejahteraan, ala mudik ini menjadi mesin ekonomi yang kuartal ini diprediksi akan menaikkan pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen.
Para pengamat ekonomi nasional juga menyebut mudik lebaran mendorong perputaran uang di daerah.
Sebuah perkiraan menyebut adanya perputaran uang sampai Rp 40 triliun sepanjang periode mudik lebaran.
Ini menjadi rezeki nomplok yang tidak terduga.
Ketika ekonomi tengah lesu karena ancaman perang Rusia vs Ukraina dan krisis minyak goreng yang berujung pada penghentian ekspor sawit, munculnya fenomena mudik lebaran menjadi katup pengaman yang sangat penting.
Dengan putaran uang sebesar itu target pertumbuhan ekonomi nasional 7 persen tahun ini akan menjadi realistis.
Sebuah video viral secara internasional menyebutkan bahwa selama Ramadan dan Idulfitri, akumulasi uang melalui zakat mal seluruh dunia mencapai USD 500 juta atau Rp 7.000 triliun.
Jumlah ini sangat fantastis, karena para filantropis dunia yang paling dermawan seperti Bill Gates dan Warren Buffet ‘’hanya’’ menyumbang USD 30 juta dan USD 26 juta.
Di Indonesia, Badan Amil dan Zakat Nasional (Baznas) menyebutkan target perputaran uang dari zakat, infak, dan sedekah tahun ini Rp 26 triliun yang akan didistribusikan kepada lebih dari 50 juta penerima manfaat.
Indonesia memang belum mempunyai filantropis seperti Bill Gates atau Sulaiman Al-Rajhi dari Arab Saudi.
Akan tetapi, dalam hal kedermawanan, orang Indonesia sudah diakui oleh dunia internasional sebagai yang paling dermawan di seluruh dunia.
Meski dalam kondisi pandemi, tahun ini Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia.
Predikat tersebut disematkan oleh Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021.
Prestasi ini diraih Indonesia tahun sebelumnya.
Ini berarti Indonesia konsisten dalam prestasi kedermawanan.
Hal ini bisa dibuktikan dari berbagai data yang ada di Indonesia. Donasi online yang digalang oleh beberapa lembaga menunjukkan hasil yang sangat besar.
Sepanjang 2021 tercatat ada 3 juta donatur yang berdonasi melalui aplikasi digital yang membantu 36.000 organisasi penggalang dana sosial.
Hasil donasi ini didistribusikan ke berbagai inisiatif, di antaranya lebih dari 840.000 warga mendapatkan bantuan kebutuhan pokok, lebih dari 9.100 warga yang sakit terbantu biaya pengobatannya, serta lebih dari 3.400 pelajar dan mahasiswa mendapatkan bantuan biaya pendidikan.
Tak hanya itu, merespons berbagai bencana alam di tahun ini, ratusan ribu orang melakukan patungan untuk membantu ribuan korban.
Di tengah pandemi yang tidak terduga jiwa kedermawanan manusia Indonesia ternyata tetap bertahan.
Ini menunjukkan kuatnya solidaritas sosial dan semangat gotong royong di Indonesia.
Selain menolong sesama manusia para donatur juga ringan tangan membantu proyek donasi yang ditujukan untuk penyelamatan hewan seperti kucing, burung, dan anjing.
Selama 2021 ribuan inisiatif penyelamatan hewan membuka aplikasi donasi digital dan mendapatkan respons yang bagus.
Dalam hal kedermawanan ini Indonesia bisa disandingkan sejajar dengan negara makmur seperti Amerika Serikat.
Di Indonesia para pendonor umumnya mempunyai motovasi agama dalam memberikan donasinya, sementara di Amerika lebih didorong oleh humanisme atau kemanusiaan.
Indonesia adalah negara religius dan Amerika adalah negara sekular-liberal.
Meski demikian, dalam hal peran agama di kehidupan publik kedua negara mempunyai banyak kesamaan.
Banyak yang mengira orang Amerika itu sekular dan tak mengenal Tuhan.
Padahal, kondisi sesungguhnya berbalik 180 derajat.
Statistik menunjukkan bahwa orang Amerika termasuk yang paling religius di dunia.
Jauh lebih religius dibanding masyarakat Eropa Barat dan Jepang.
Bangsa Indonesia sangat religius.
Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan hal itu.
Islam menjadi agama mayoritas.
Dengan lebih dari 87 persen muslim dari total 270 juta penduduk, maka jumlah muslim di Indonesia adalah 240 juta.
Jumlah ini menjadi dominan dalam hal pemberian donasi religius seperti zakat, infak, dan sedekah.
Satu di antara tiga orang Amerika mengaku religius, dan separoh dari mereka yakin Alkitab adalah firman Tuhan, dan Isa adalah Tuhan.
Akan tetapi, orang Amerika sekaligus termasuk yang paling materialistis, paling kemaruk harta, di dunia ini.
Semangat untuk melakukan akumulasi uang dan modal sebanyak-banyaknya adalah ciri khas kapitalisme-liberalisme Amerika yang sering disebut sebagai ‘’The American Dream’’ atau mimpi Amerika.
Orang Amerika mengejar kekayaan sebanyak-banyaknya, tetapi bersamaan dengan itu mereka memamerkan religiusitasnya dengan terang-terangan.
Hal itu terlihat dari lembar dolar Amerika.
Di situ tertulis “In God We Trust”. Anda boleh beriman kepada Tuhan, tetapi, pada saat yang sama Anda boleh menjadi tajir melintir.
Mayoritas orang Kristen Amerika mengaku sebagai terlahir kembali, atau sejenis fenomena hijrah di Indonesia.
Mayoritas mereka percaya bahwa Isa akan bangkit dan turun kembali ke bumi.
Perdefinisi ini disebut sebagai fundamentalisme.
Kelompok fundamentalis ini umumnya pendukung Partai Republik.
Mereka konservatif dalam beragama, anti-gay dan lesbian, dan menolak pengguguran kandungan atau sering disebut sebagai pro-life.
Itu adalah ciri fundamental mereka.
Sangat percaya kepada nilai-nilai keluarga dan menjaga keutuhan keluarga.
Lihatlah Donald Trump, mantan presiden dari Partai Republik yang selalu dengan pede berbicara mengenai nilai-nilai keluarga, padahal pada saat yang sama dia kawin cerai.
Pemilihnya dari kalangan Kristen konservatif tidak peduli mengenai hal itu.
Orang-orang Kristen fundamentalis membuat Koalisi Kristen yang sangat kuat dan berpengaruh dipimpin oleh Pendeta Pat Robertson yang berpengaruh sekaligus kaya-raya.
Di Amerika agama menjadi ‘’civil religion’’ atau agama sosial yang lebih peduli kepada pemecahan masalah sosial sehari-hari.
Sebaliknya, agama yang hanya dipahami sebagai agama formal saja, dengan fokus pada ibadah formal akan sulit menjadi kekuatan sosial untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan yang aktual.
Pada situasi tertentu kewajiban sosial bisa bernilai seribu kali lebih baik dibanding kewajiban personal kepada Tuhan.
Agama yang bisa memberi inspirasi untuk mendorong kebajikan sosial akan menjadi kekuatan transformatif yang mengubah tatanan sosial menjadi lebih baik.
Agama Kristen yang dipeluk mayoritas orang Amerika dan Eropa dianggap berjasa menumbuhkan Etika Protestan yang menjadi pondasi kapitalisme-liberalisme, yang terbukti bisa membawa kemajuan dan kejayaan masyarakat.
Shintoisme bisa membawa kemajuan dan kesejahteraan untuk Jepang, demikian pula Taoisme yang membawa kemajuan dan kesejahteraan di Korea, serta Konfusianisme yang membawa kehebatan China dan Singapura.
Islam seharusnya bisa menjadi kekuatan sosial yang memberi kontribusi kepada etos nasional seperti halnya yang dilakukan Kristen terhadap masyarakat Eropa. Mudik lebaran dan kedermawanan selama Ramadan akan menjadi kekuatan transformasi yang besar jika dikelola secara benar dan profesional. (*)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror