Mufida: Angka Kematian Ibu dan Perceraian di Indonesia Memprihatinkan

Minggu, 22 Desember 2019 – 22:41 WIB
Hamil. Foto: Health

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati mengatakan angka kematian ibu (AKI) Indonesia masih tinggi dibanding negara-negara ASEAN. 

Mufida prihatin karena AKI di Indonesia saat melahirkan nomor dua tertinggi di ASEAN.

BACA JUGA: Hamil di Luar Nikah, Janda Kalap Bunuh Bayi Sendiri dengan Cara Sadis

“Masih memprihatinkan, di level ASEAN saja rata-rata AKI 197 per 100 ribu kelahiran, sedangkan di Indonesia 305 per 100.000 kelahiran hidup. Tidak lebih baik dari Filipina, bahkanmenempati posisi kedua dengan AKI tertinggi,” papar Mufida dalam siaran persnya, Minggu (22/12).

Menurutnya, kesadaran diri sejak dini perlu dilakukan secara menyeluruh. Dia mengatakan untuk pemahaman di kota-kota mungkin sudah cukup bagus, tetapi di desa-desa masih memprihatinkan. 

BACA JUGA: Diisukan Gugat Cerai, Aura Kasih Bilang Begini

"Penyebab kematian ibu ini kan banyak variasinya, ada karena hipertensi, perencanaan kelahiran yang kurang baik misalnua di usia rawan atau di usia yang terlalu dini, dan lain-lain,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Mufida menambahkan para ibu yang menjadi pekerja migran juga menghadapi ancaman meningkatnya angka perceraian setiap tahun.

Mufida memaparkan berdasar dokumen dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong  yang disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian Pencataan Perkawinan WNI di Luar Negeri, pengajuan gugat cerai pada 2014 tercatat 2971 kasus.

Meningkat menjadi 3280 kasus di 2015. Meningkat lagi pada 2016 menjadi 3579 kasus. “Setiap tahun, ada peningkatan tiga ratusan kasus perceraian menimpa perempuan pekerja migran. Pada 2019 diperkirakan ada sekitar 4600 kasus,” ungkap Mufida.

Menurutnya, banyak perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) terbebani masalah keluarga sebelum memutuskan menjadi PMI. Perempuan PMI banyak yang tidak siap secara skill yang menjadi tuntutan pekerjaan dan juga dari sisi bahasa.

“Sementara kepercayaan diri mereka juga rendah, sehingga cenderung tidak percaya diri jika ada yg mengintimidasi dan tidak mau repot memperpanjang dengan urusan hukum atau melapor ke kepolisian setempat, padahal pada posisi yang benar,” papar Mufida.

Masalah semakin berat karena banyak dari perempuan PMI hadir di negara penempatan dengan sejuta rindu kepada anak, orang tua, suami, teman-temannya.

Akibatnya, prestasi kerjanya cenderung kurang. Mufida menambahkan, sementara di tanah air perginya para ibu bekerja di luar negeri juga menjadi beban bagi anaknya.

"Karena peran pendidikan yang seharusnya dijalankan para ibu menjadi tidak dapat berjalan. Belum lagi dengan angka perceraian yang sangat tinggi, berakibat ketidakjelasan hak asuh dan anak lagi-lagi menjadi korban,” pungkas Mufida. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler