Menjadi Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ARNI) nyaris tak terbayangkan di benak Muhammad Asichin. Sempat dicibir saat memilih jadi pegawai ANRI karena dianggap tidak menjanjikan, ternyata Asichin banyak mendapat pengalaman dan dinamika di instansi yang membesarkannya sebagai abdi negara itu.
Antoni, Jakarta
"SAYA tak sengaja masuk ke Arsip Nasional ini," kata Asichin memulai pembicaraan saat ditemui di kantornya, baru-baru ini. Lulus dari jurusan Ilmu Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang tahun 1977, Asichin sebenarnya bisa menekuni profesi lain yang saat itu dianggap lebih menjanjikan. Bahkan ia juga diterima sebagai PNS di beberapa istansi pemerintah sekaligus, seperti di Pemda Jawa Tengah, Departemen Perindustrian, ataupun Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Namun suratan takdir menuntun Asichin ke Arsip Nasional. "Istri dan mertua saya dulu juga bertanya, apa tidak ada kerjaan lain selain di arsip?" kata Asichin mengenang. Maklum, menjadi PNS di Arsip Nasional saat itu sepertinya dianggap bukan hal yang menjanjikan dari sisi karier.
Bahkan dibanding lembaga pemerintah lainnya, keberadaan ANRI nyaris tak segegap-gempita instansi lainnya. Padahal, di ANRI pula beragam dokumen termasuk tentang sejarah penting tentang perjalanan bangsa disimpan. Ibaratnya, baru-baru ini saja publik tahu dan peduli dengan ANRI. "Kalau pun ada yang tanya ke ANRI, paling-paling nanyain Supersemar (Surat Perintah 11 Maret,red) yang asli sudah ditemukan atau belum," kata Asichin.
Menurutnya, ANRI memiliki tim tersendiri yang bertugas memburu naskah asli Supersemar. Namun sejauh ini naskah asli tentang perintah Presiden Soekarno kepada Soeharto itu masih belum juga ditemukan. "Yang pasti Supersemar itu ada. Pak Moerdiono pernah melihatnya. Hanya itu perburuan kita yang paling dekat dengan naskah asli Supersemar," urainya.
Sebagai pengawal dan penjaga kearsipan, Asichin terkadang berada pada posisi dilematis. Beberapa dokumen yang sifatnya sangat rahasia, memaksa ANRI harus benar-benar menjaganya agar tidak bocor. Sementara di sisi lain, kalangan peneliti dan akademisi ingin dokumen-dokumen yang dianggap rahasia itu bisa dibuka seluruhnya.
Sebut saja dokumen tentang G 30 S PKI. "Dephan minta ini tetap dirahasiakan. Sementara teman-teman peneliti inginnya dokumen itu dibuka semuanya. Saya harus bisa menjembataninya, berada di tengah-tengahnya," kata Asichin.
Tak hanya itu, demi arsip pula Asichin pernah mempertaruhkan nyawanya. Tahun 1986, Asichin mendapat tugas ke Timor Timur yang saat itu masih dalam suasana perang. Tugasnya menyelamatkan arsip dari sebuah gudang peninggalan pemerintah Portugis.
"Sepertinya sudah puluhan tahun gudangnya tidak dibuka. Pintunya sudah tak bisa dibuka, terpaksa masuk lewat jendela. Debunya pun luar biasa tebalnya. Ibaratnya masuk manusia, keluar jadi monyet. Tapi alkhamdulillah banyak sekali arsip-arsip penting yang sudah kita selamatkan," kenangnya.
Kini, koleksi dokumen dan arsip ANRI terus bertambah. Arsip itu berupa dokumen, remaman video hingga microfilm. Termasuk pula koleksi arsip yang bernilai sejarah tinggi. "Naskah asli Perjanjian Helsinki baru saja kita terima. Kita pro aktif agar itu disimpan di sini," katanya.
Sedangkan koleksi tertua Arsip Nasional berangka tahun 1602. "Arsip tentang asal-usul keturunan. Tinggalan VOC," urainya.
Tapi siapa nyana, orang yang diserahi tanggung jawab besar mengurus arsip-arsip termasuk yang berkategori kerahasiaan tinggi, dulunya adalah remaja yang badung. Asichin tak ragu-ragu mengaku bahwa dirinya tumbuh dan beranjak remaja di salah satu sudut kota Semarang yang dianggap sebagai daerah hitam. "Namanya daerah Pethek, dekat dengan pelabuhan," tutur pria kelahiran Semarang, 23 Maret 1953 itu.
Saat duduk di bangku SMA hingga kuliah di Semarang, Asichin juga sering terlibat masalah. "Ya namanya anak muda, Mas. Ibaratnya yang orang lain baru mau mulai, saya sudah nutup buku," kata alumnus SMA Sultan Agung Semarang itu sembari terkekeh. Jari-jari tangan kanan Asichin langsung menutupi wajahnya, seolah-olah malu menceritakan masa lalunya.
Anehnya, kata Asichin, justru teman-temannya yang saat sekolah dan kuliah dikenal sebagai anak-anak bengal justru banyak jadi pejabat tinggu. "Saya juga kadang berpikir, yang mbeler (nakal,red) banyak yang jadi eselon I. Tapi ada teman-teman saya yang pacaran saja ngak pernah, ternyata sampai pensiun cuma hanya jadi kabag, eselon III," kataya.
Tapi itulah kisah hidup Asichin. Keputusannya masuk menjadi PNS di ANRI yang dicibir di permulaan termasuk dari orang-orang dekatnya, ternyata terbayar. Kariernya pelan-pelan menanjak. Hingga saat reformasi bergulir, jabatan Asichin adalah Kanwil Kearsipan di Jawa Tengah.
Seiring bergulirnya Otonomi Daerah, Asichin sebenarnya hendak ditarik sebagai PNS di Jateng. Namun garis tangan berkata lain. Asichin ternyata ditarik ke Jakarta. Tuntutan demiliterisasi pada jabatan-jabatan sipil, membawa berkah tersendiri bagi Asichin. Pada 1988, Asichin terpilih sebagai Deputi Pembinaan ANRI menyingkirkan sejumlah pesaing dari kalangan TNI yang juga sudah lama ditempatkan di ANRI.
"Saat itu saya diberi kepercayaan oleh Pak Habibie menjadi Deputi Pembinaan. Saya pikir karier saya sudah mentok (habis,red) di Jawa Tengah sebagai Eselon Dua saja," ucapnya.
Jabatan demi jabatan di level Eselon I di ANRI pun dilakoninya. Pada 2001, Asichin menjadi Deputi Bidang Pembinaan Kearsipan. Jabatan selanjutnya adalah Deputi Bidang Konservasi Arsip, kemudian Sekretaris Utama (Sestama), hingga akhirnya pada Mei 2010 menjadi Kepala ANRI menggantikan Djoko Utomo.
"Jabatan ini tak pernah saya bayangkan sebelumnya, Tapi amanah ini saya jalani saja sebaik mungkin. Almarhum mertua dan istri saya pasti tersenyum jika melihat saya di posisi saat ini," katanya.
Tapi ada keinginan lain Asicin yang belum terwujud. "Saya ingin membuat dokumentasi tentang intelijen dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Banyak yang bilang saya nyari perkara. Tapi ini menanttang dan saya ingin membuat sesuatu yang berguna," pungkasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah 16 WNI Kru Kapal Sparta yang 13 Hari Terjebak di Antartika
Redaktur : Tim Redaksi