Muhibah Anies

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 15 November 2021 – 14:50 WIB
Anies Baswedan. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Anies Baswedan mengadakan muhibah ke Jawa Timur akhir pekan lalu.

Ia sowan ke beberapa tokoh dan mengunjungi beberapa tempat bersejarah. Kunjungan ini sebenarnya kunjungan biasa, tetapi mendapat reaksi dan komentar luar biasa karena serta merta dikaitkan dengan persiapan Pilpres 2024.

BACA JUGA: Inul Daratista Ucap Terima Kasih kepada Anies Baswedan dan Presiden Jokowi

Anies sowan kepada Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Marzuki Mustamar. Dalam pertemuan santai itu Anies mengobrol mengenai banyak hal, berdiskusi mengenai kitab kuning, sambil menikmati durian.

Anies juga mengunjungi makam Sunan Ampel di kompleks Masjid Ampel, Surabaya, dan juga mengunjungi makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.

BACA JUGA: Iri Sama Warga DKI, Tokoh NTT Pengin Anies Baswedan jadi Presiden

Jika politik adalah simbol dan gestur, maka kunjungan Anies ini adalah simbol dan gestur politik paling kuat kepada lawan politiknya di Pilpres 2024.

Jawa Timur dikenal sebagai kandang banteng atau basis kekuatan politik nasionalis. Pada Pilpres 2019 Jatim menjadi salah satu kunci sukses pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin mengalahkan Prabowo-Sandi.

BACA JUGA: Terima Gelar Kehormatan dari Tokoh Betawi, Begini Reaksi Anies Baswedan

Anies cukup berhati-hati untuk tidak menyinggung ego politik kalangan nasionalis yang bisa saja merasa diinvasi tanpa izin. Anies membungkus road-show ini sebagai muhibah kultural dan bukan manuver politik.

Anies sowan ke kiai NU dan melakukan ziarah kubur sebagai gestur pendekatan kepada kalangan nahdiyin. Latar belakang Anies sebagai muslim modernis membuatnya dianggap berjarak dari kalangan muslim tradisional. Kunjungan ke Jawa Timur adalah muhibah kultural untuk menutup political gap itu.

Muhibah Anies makin membuat ramai persaingan politik 2024. Tiga besar teratas dalam setiap survei masih didominasi Prabowo, Ganjar, dan Anies. Namun, Anies tetap menjadi kandidat yang paling diwaspadai oleh kekuatan oligarki yang menginginkan status quo.

Berbagai serangan terhadap Anies sudah gencar dilakukan. Salah satu yang paling gencar adalah tudingan bahwa Anies mengusung politik identitas.

Pegiat medsos Denny Siregar dan kawan-kawan terang-terangan membela Ganjar dengan alasan hanya Ganjar yang bisa melawan kekuatan politik identitas. Pengusaha konsultasi politik Burhanuddin Muhtadi juga kerap mengusung isu politik identitas, dan menyebut kemenangan Anies pada Pilgub DKI 2019 sebagai kemenangan politik identitas.

Politik identitas mendapat labeli negatif dengan semena-mena, seolah politik identitas adalah barang haram yang tidak mempunyai tempat dalam konstelasi politik sebuah bangsa.

Fenomena politik identitas menjadi fenomena umum yang terjadi di banyak negara. Fenomena ini tidak muncul tanpa sebab. Ia muncul sebagai reaksi terhadap berbagai ketimpangan sosial yang terjadi di sebuah komunitas sosial.

Ilmuwan politik Amerika Serikat, Francis Fukuyama mengupas politik identitas dalam bukunya ‘’Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment’’ (2018). Menurut Fukuyama, politik identitas lahir sebagai tuntutan untuk memperoleh pengakuan terhadap martabat.

Fukuyama mengutip kisah mengenai pedagang sayur di Tunis bernama Mohamed Bouaazizi. Pada Desember 2010 Bouazizi terkena razia satpol PP. Gerobak sayur dan alat penimbang elektronik sederhana miliknya disita Satpol PP perempuan bernama Faida Hamdi. Ketika Bouazizi memprotes ia dimaki-maki di depan umum dan mukanya diludahi.

Pedagang sayur itu merasa sangat terhina. Apalagi yang meludahi adalah seorang wanita. Dalam masyarakat patrimonial Timur Tengah dipermalukan seorang wanita adalah penghancuran harga diri yang tak tertanggungkan.

Keesokan harinya Bouazizi mendatangi kantor gubernur untuk meminta kembali gerobak dan alat timbangnya. Dia tidak dilayani dengan baik dan bahkan diusir keluar. Di depan pintu kantor gubernur Bouazizi sudah menyiapkan bensin. Ia menguyur tubuhnya dan membakar diri.

"Anda ingin saya mencari nafkah dengan cara bagaimana?" teriak Bouazizi ketika api sudah melalap seluruh tubuhnya. Gambar Bouazizi yang terbakar menyebar ke seluruh negeri dan memicu demonstrasi dan kerusuhan luas. Tidak sampai sebulan Zein Al Abidine bin Ali, pemimpin otoriter Tunisia, mengundurkan diri.

Aksi Bouazizi kemudian memicu gerakan luas di banyak negara Timur Tengah, dan melahirkan gerakan ‘’The Arab Spring’’ atau Musim Semi Arab yang menjatuhkan banyak pemerintahan diktatorial di Mesir, Libia, dan Syria.

Tindakan nekat Bouazizi dilakukan untuk menegaskan martabat dan identitasnya. Fukuyama menyebut sumber identitas sebagai ‘’thymos’’, yaitu bagian dari jiwa yang membutuhkan pengakuan dan martabat.

Thymos mempunyai dua bentuk, yaitu "isothymia", tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain, dan megalothymia, keinginan untuk diakui sebagai golongan yang lebih unggul.

Dua keinginan yang terkesan berlawanan ini menurut Fukuyama dapat saja berjalan seiring. Misalnya, seorang pemimpin yang ingin tampil di depan dan diakui kekuasaannya secara mutlak (megalothymia), menggerakkan pengikutnya dengan memainkan sentimen berdasarkan kebencian dan perasaan tidak dihargai dari kelompok tersebut (isothymia).

Perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok tertentu akan memicu tuntutan terhadap pemenuhan martabat atau isothomya. Sebaliknya, sikap sok kuasa dan adigang adigung adiguna adalah sikap megalothymia yang akan memicu munculnya tuntutan akan martabat.

Bagi pendukung Habib Rizieq perlakuan tidak adil adalah kesewenang-wenangan yang bersikap megalothymia. Menghadapi kesewenang-wenangan itu mereka menunjukkan identitas untuk memperkuat martabat dan muruah.

Bagi orang lain sikap bermartabat dan bermuruah itu secara serampangan disebut sebagai bentuk politik identitas.

Diskursus mengenai politik pengakuan dan martabat terus berkembang sampai di persimpangan antara pengakuan universal atas hak-hak individu, dan cabang lainnya mengarah pada peryataan identitas kolektif yang dimanifestasikan dalam bentuk nasionalisme dan agama yang dipolitisasi.

Dalam hal agama yang dipolitisasi, Fukuyama juga menyebut islamisme di awal abad 20 sebagai tuntutan atas pengakuan status khusus untuk Islam sebagai dasar komunitas politik.

Ia melihat fenomena nasionalisme maupun islamisme muncul sebagai ekspresi identitas kelompok yang merespons modernisasi dan perubahan sosial serbacepat yang merusak bentuk-bentuk komunitas yang mapan.

Fukuyama menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari politik identitas, sebab ia merupakan respons alami dan tak terhindarkan dari ketidakadilan yang terjadi.

Namun, ia berubah menjadi masalah saat identitas ditafsirkan atau ditegaskan dengan cara tertentu, misalnya tindakan kekerasan seperti terorisme, atau tindakan memisahkan diri seperti separatisme, atau mengganti dasar negara menjadi negara agama.

Di Amerika Serikat politik identas menguat karena terjadi ketidakadilan ekonomi dan keterancaman kultural. Masyarakat konservatif Amerika merasa bahwa liberalisme ekonomi mengancam kepentingan nasional, antara lain, karena mengalirnya imigran ke Amerika.

Liberalisme juga menjadi ancaman kultural karena maraknya LGBT (lesbian, gay, bisksual, dan transgender) yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama.

Menghadapi ketimpangan ekonomi dan kultural ini masyarakat konservatif Amerika mendapatkan perlindungan dalam identitas keagamaan. Orang-orang konservatif memilih Partai Republik dan orang-orang liberal memilih Partai Demokrat.

Masyarakat Amerika terbelah menjadi dua, baik ketika Donald Trump berkuasa, maupun sekarang di bawah Joe Biden.

Solusi dari menguatnya politik identitas ini, menurut Fukuyama, bukanlah meninggalkan gagasan identitas, tetapi mendefinisikan sebuah identitas nasional yang lebih besar dan lebih integratif serta memperhitungkan keragaman yang ada.

Diperlukan kebijakan yang lebih inklusif yang lebih merangkul untuk bisa mengendalikan politik identitas yang negatif. Kebijakan yang memecah belah justru memperburuk politik identitas.

Kebijakan terbaru seperti peraturan menteri pendidikan soal kekerasan seksual di kampus adalah kebijakan yang potensial memperkuat politik identitas. Kebijakan itu merupakan kebijakan khas liberal yang tidak sensitif terhadap nilai-nilai konservatif agama.

Politik identitas sering disebut juga sebagai politik aliran yang membagi masyarakat Indonesia menjadi dua varian liberal dan konservatif. Clifford Geertz membagi aliran menjadi tiga, yaitu santri, abangan, dan priyayi.

Dalam perkembangannya, priyayi dan abangan menyatu dalam aliran liberal, dan santri menjadi aliran konservatif.

Pilpres 2024 masih beberapa tahun lagi. Namun, bau persaingan antara politik aliran dan non-aliran sudah mulai menyengat. Seperti kata Fukuyama, tidak ada yang salah dengan politik identitas atau politik aliran.

Yang justru sangat berbahaya dan harus diwaspadai pada Pilpres 2024 adalah politik aliran uang. Politik aliran agama ditakuti, tetapi politik aliran uang pada doyan. (*)

 

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler