Bangunan cantik, fasilitas oke, sajian pengetahuannya lengkap, gratis pula. Sayang, tak mudah menjangkau Museum Kars Indonesia di Wonogiri. Tak ada kendaraan umum yang melayani rute ke sana.
ANGGIT SATRIYO NUGROHO, Wonogiri
PRASETYONINGSIH menyambut seorang tamunya siang itu dengan ramah. Sembari menjelaskan asal muasal pegunungan kapur di wilayahnya tinggal, dua tangannya menekan tombol. Tak lama kemudian lampu-lampu LED menyala di sebuah diorama yang menggambarkan Pulau Jawa.
"Ini kars Pegunungan Sewu yang terletak di wilayah kami, Wonogiri," kata Prasetyoningsih lantas tersenyum.
Mengutip Wikipedia, kars adalah sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping.
Prasetyorini menerangkan, kars Pegunungan Sewu di wilayah selatan Jawa tersebut membentang antara kawasan Pantai Parang Tritis di Jogjakarta hingga ke wilayah Pacitan. Jawa Timur. Khusus Wonogiri, kars terletak di sejumlah kecamatan, yakni Pracimantoro, Eromoko, Parang Gupito, Giri Tontro dan Giri Woyo.
"Kars di wilayah Wonogiri sudah diusulkan menjadi warisan dunia kepada UNESCO. Tapi, hasilnya seperti apa kami belum tahu," katanya. "Yang pasti dalam waktu dekat ini ada survei lagi dari UNESCO. Ini membanggakan daerah kami," lanjut perempuan asli Kecamatan Parang Gupito, Wonogiri itu.
Demikianlah pemandangan sehari-hari yang bisa disaksikan di Museum Kars Indonesia di Desa Gebang Harjo, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, kabupaten di pojok selatan Jawa Tengah. Di Indonesia saat ini total ada tiga museum kars.
Tapi, museum di Wonogiri inilah yang terbesar dan terlengkap "bahkan untuk level Asia Tenggara" dalam menggambarkan kondisi kawasan kars di tanah air. Dua museum lain hanya menggambarkan kars lokal.
Prasetyoningsih lantas memamerkan diorama lain yang tersedia di museum. Kali ini soal terbentuknya kars. Menurut dia, kars terbentuk dari batuan karbonat yang berproses dengan air yang bersifat asam dan terjadi dalam jutaan tahun.
Wilayah kars ditandai dengan banyaknya gua dan bukit-bukit kecil. Wonogiri, misalnya, tercatat memiliki puluhan gua yang tersebar di sejumlah kawasan pegunungan. Kars di Wonogiri lebih dikenal sebagai kars Gunung Sewu.
Prasetyoningsih lantas menceritakan proses terjadinya kars tersebut dengan sejumlah rumus kimia. Padahal, latar belakang pendidikannya adalah sarjana kepariwisataan.
Toh tak ada pertanyaan dari sang tamu. Entah karena benar-benar mengerti atau justru tak tahu apa yang harus ditanyakan. Yang jelas, dengan bersemangat si tamu mengikuti sang pemandu berkeliling menyaksikan ratusan diorama lainnya.
Prasetyoningsih adalah satu di antara enam pemandu yang bertugas mendampingi dan memberikan penjelasan kepada para tamu. Mereka juga merangkap tugas sebagai resepsionis di pintu depan museum. Namun, Sabtu siang (24/11) saat Jawa Pos berkunjung, tak banyak yang diterima Prasetyoningsih dan kawan-kawan. Maklum, museum tengah sepi pengunjung.
Meski diresmikan pada 2009, baru dua tahun terakhirlah museum tersebut dibuka untuk umum. Kabarnya, pembangunan museum itu menelan anggaran miliaran rupiah.
Ide mendirikan museum tersebut bermula dari Lokakarya Nasional Pengelolaan Kars di wilayah Wonogiri delapan tahun silam yang diprakarsai Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Menteri ESDM (ketika itu) Purnomo Yusgiantoro meletakkan batu pertama penanda dimulainya pembangunan museum. Para pegawainya, seperti Prasetyoningsih, juga tercatat sebagai karyawan Museum Geologi Bandung, sebuah lembaga yang dikelola Kementerian ESDM.
Gedung museum tersebut bisa dibilang sedap dipandang. Atapnya berbentuk limas berukuran jumbo dengan arsitektur modern. Bila dibandingkan dengan gedung-gedung di Kota Wonogiri, bangunannya bisa dibilang paling cantik. Sebab, bangunan di Wonogiri umumnya berbentuk joglo.
Museum Kars Indonesia dibangun tiga lantai. Lantai-lantai tersebut menjelaskan pembabakan kars. Lantai pertama adalah kars untuk kehidupan. Sejumlah patung menggambarkan bagaimana manusia zaman prasejarah hidup di gua-gua.
Sejumlah diorama juga menjelaskan karakter kars di Pegunungan Sewu yang berbukit-bukit. Kars tersebut berbeda dengan kars lain di Indonesia. Di Maros, Sulawesi Selatan, juga terdapat deretan kars, namun lebih berbentuk menara. Lain pula halnya dengan deretan kars di Papua yang berbentuk kerucut.
Lantai selanjutnya adalah kars untuk pengetahuan. Bermacam-macam informasi disajikan. Misalnya pembentukan stalaktit dan stalagmit. Yakni, batuan yang tumbuh menjulang ke atas dan menjuntai ke bawah di dalam gua.
Yang tak kalah penting, di museum tersebut bisa ditemukan sejarah Sungai Bengawan Solo purba. Dulu, air dari Pegunungan Sewu yang menjadi sumber mata air Bengawan Solo ternyata bermuara di laut selatan atau Samudera Indonesia.
Namun, sejak empat juta tahun lalu aliran air Bengawan Solo berubah total dan bermuara ke Laut Jawa. Ini terjadi karena lempeng Australia menghunjam ke Pulau Jawa sehingga permukaan Jawa terangkat. Karena arus tak mampu melawan, jadilah Bengawan Solo pun mengalir ke utara.
"Tapi, jejak Bengawan Solo purba itu masih bisa dilihat. Sekarang tinggal gunung kapur," katanya. Bahkan, terang dia, ada sejarawan yang menjelaskan bahwa aliran Bengawan Solo purba juga melintasi area museum kars tersebut.
Sebagai sebuah destinasi wisata edukatif, Museum Kars Indonesia jelas menawarkan pengetahuan yang lengkap. Tak heran, Prasetyorini mengklaim, rata-rata museum tersebut dikunjungi 500 orang per hari."
Jumlah tamu, lanjut Prasetyorini, melonjak terutama pada Sabtu dan Minggu atau hari-hari libur. Apalagi, masuk ke museum tersebut sama sekali tak ditarik biaya.
Tapi, yang ditemukan Jawa Pos dalam kunjungan Sabtu lalu berkata lain. Hanya tampak beberapa pengunjung. Bahkan, saking sepinya, sejumlah tukang batu yang menuntaskan area museum leluasa masuk dan menikmati ilmu tentang terjadinya batuan dan gua itu.
Kondisi sepi pengunjung itu sejatinya bisa dimaklumi. Sebab, untuk mencapai museum tersebut bukan perkara mudah. Tak ada akses kendaraan umum ke sana.
Memang ada bus umum rute Solo-Pracimantoro. Namun, sampai di kota kecamatan tersebut, sama sekali tak ada angkutan umum menuju ke museum. Perjalanan dari Solo ke Pracimantoro sendiri memakan waktu sekitar 3,5 jam, di antaranya melintasi jalan aspal sempit dan berkelok.
Dian Puspita, pemandu lain, mengungkapkan, Pemkab Wonogiri sebenarnya sudah berupaya agar museum itu dikenal. Minimal oleh penduduk setempat.
Untuk itu, semua sekolah di Wonogiri di semua jenjang diwajibkan berkunjung ke museum tersebut. Setidaknya setahun sekali. "Kalau anak sekolah masih ada saja yang kemari," katanya. (*/c2/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sempat Goda Chairuman, Ingat Kisah Gaet Syamsul Arifin
Redaktur : Tim Redaksi