Nasib Kakak

Oleh: Dahlan Iskan

Minggu, 29 September 2024 – 07:16 WIB
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - "Kenapa setiap sosok narasumber Disway seperti wajib dikupas tuntas latar belakang pendidikanya? Bahkan sangat detail, hingga bisa separoh dari isi artikelnya".

Yang bertanya itu wanita Disway dari Indramayu. Setiap hari dia membagikan Disway ke ribuan orang. Lewat medsos miliknya. Sejak awal Disway terbit. Hingga sekarang.

BACA JUGA: Makan Tuan

Kadang lucu: "Hari ini saya membagikan Disway dengan tutup mata," ujarnya pada suatu ketika.

Tanpa bertanya saya pun tahu kenapa: isi tulisan saya bertentangan dengan emosi jiwanya.

BACA JUGA: Ambeien Bukan

Emosinya sangat tidak suka seseorang. Jauh sebelum banyak orang balik tidak suka orang itu belakangan ini. Sedang tulisan saya memuji orang itu.

"Saya jengkel baca Disway hari ini," protesnya beberapa kali.

BACA JUGA: Tenang Panas

"Tetapi tetap Anda posting di medsos Anda?” tanya saya balik.

"Dengan geram," jawabnya.

Terhadap pertanyaannya kali ini saya sulit menjawab, apalagi dia menyertakan argumen: "padahal malaikat pun takkan menanyakan sekolah di mana, lulusan apa, dan gelarnya apa saja".

Sebenarnya saya ingin menjelaskan teori deskripsi dalam jurnalisme. AKan tetapi terlalu berat.

Ingin juga saya kemukakan itulah ajaran kewartawanan yang saya wariskan sejak dulu, tetapi apa perlunya.

Maka justru saya ingin membuat gemes wanita Disway itu. Saya pun mengiriminya WA.

"Mengapa latar belakang pendidikan ditulis secara dentil? Mungkin karena yang menulis artikel ini hanya lulusan SMA! Iri? Cemburu?" jawab saya.

Saya tahu kebiasaan wanita Disway satu itu. Suka ngambek, apalagi kalau dia mendengar saya ke Cirebon tanpa memberi tahunya. Bisa 100 WA harus saya baca dengan perasaan merasa berdosa.

Kali ini, membaca jawaban itu, ternyata dia tidak gondok. Dia lebih tertarik mengomentari soal iri dan cemburu itu. Dia merasa punya teman yang juga hanya tamatan SMA.

"Saya bersyukur meski hanya rampung madrasah. Itu pun sambil ngasuh adikku yang no 2 dan 3. Saya diizinkan masuk sekolah sambil mengasuh adik karena guru-gurunya tetanggaku sendiri".

"Waktu itu kalau saya enggak boleh bawa adik masuk kelas, saya enggak mungkin bisa belajar. Adik-adikku pasti ngerengek nangis di luar kelas".

Akhirnya wanita Disway Indramayu itu tidak lanjut ke universitas, padahal sering mendapat nilai 100. Dia harus menghidupi dua adik dan ibunya.

Waktu itu pilihan tersulit baginya. Sekolah atau mencari nafkah.

Nilai akademiknya begitu baik, tetapi dia kakak tertua. Harus memberi makan dua adik dan ibunda.

Kerja pun tidak banyak pilihan. Tidak boleh jauh dari desanya: harus sambil merawat ibunda.

"Enggak apa-apa. Saya gak butuh gelar akademis. Saya lebih bangga jadi kakak yang baik. Bisa ngayomi adik-adik, meringankan beban orang tua.

Hingga kini saya tidak menyesali pilihan itu," tulisnya.

Orang seperti wanita Disway Indramayu inilah yang paling marah setiap kali membaca berita korupsi. Atau penyalahgunaan kekuasaan. Atau nepotisme.

Dia memang menolong adik tetapi dengan keringat dan air mata, bukan lewat kekuasaan.

Dan dia tidak sendiri.(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Agama GPT


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler