jpnn.com - SEJARAH tak bisa diulang, tetapi bisa terus diingat. Sayangnya anak muda dan bangsa Indonesia cepat lupa terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di negeri ini.
Namun sekumpulan anak muda Bogor ini justru punya pandangan berbeda. Mereka memang tidak mengalami masa-masa reformasi 1997-1998, meskipun ada yang sudah lahir baru berusia balita.
BACA JUGA: 5.000 Aktivis 98 Urungkan Niat Menginap di Gedung KPU
Namun, mereka berusaha menolak lupa dengan apa yang pernah terjadi pada era tersebut. Bahwa ada sejumlah orang yang hilang atau dihilangkan paksa di tengah gelombang reformasi yang sedang di perjuangkan demi adanya perubahan di negeri ini.
BACA JUGA : Ikut Aksi Kamisan, Glenn Cs Tuntut Penuntasan Kasus HAM
BACA JUGA: Ribuan Aktivis 98 Siap Pasang Badan untuk KPU
Penculikan aktivis pada 1997-1998 meninggalkan luka mendalam. 21 tahun sudah berlalu, penuntasan kasus penculikan aktivis belum juga menemukan titik terang.
Komnas HAM mencatat ada 23 aktivis pro demokrasi yang menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa pada 1997-1998.
BACA JUGA: 5.000 Aktivis 98 Minta Izin Menginap di Markas KPU
Sembilan orang dilepaskan oleh penculik setelah mengalami penyiksaan. Sementara 13 orang lainnya hingga saat ini masih hilang.
Terinspirasi fakta sejarah tersebut, sekumpulan anak muda Bogor memproduksi sebuah film pendek berjudul Nawal berasal dari kata yang dibaca terbalik, Lawan.
Nawal berkisah tentang seorang mahasiswa bernama Mahatma atau biasa disapa Maha, yang mendapat kabar bahwa banyak rekannya sesama aktivis pro demokrasi hilang dan diduga diculik penguasa.
BACA JUGA : Jokowi Terima Aksi Kamisan, Wiranto Cabut dari Istana
Ibunda Maha yang mengetahui hal tersebut melarang putera kesayangannya itu untuk kembali ke Jakarta. Namun Maha tetap bersikeras kembali ke Jakarta untuk mengetahui keadaan teman-temannya. Akhirnya dia juga ikut diculik.
Ibu dan adiknya, Drupadi, menunggu kepulangan Maha. Pada akhirnya mereka tahu bahwa Maha dihilangkan secara paksa. Namun mereka selalu berharap Maha akan kembali di pagi hari dan memakan sarapan kesukaannya bersama mereka.
Menurut sang sutradara, Bayu Adityo Prabowo, film Nawal adalah sebuah pesan tentang rasa kemanusiaan yang mungkin luput dari perhatian kita semua.
"Sudah 21 tahun berlalu, mereka lenyap, keluarga mereka tetap menanti hingga hari ini. Semangat perjuangan mereka tetap hidup dan tidak akan pernah mati," ujar sutradara jebolan Institut Kesenian Jakarta ini.
Sementara menurut para pemainnya, yang terdiri dari tiga generasi, yakni kelahiran tahun 1970-an, 1990- an, dan 2000-an, sepakat bahwa film ini merupakan salah satu upaya agar tragedi kemanusiaan pada masa reformasi tetap menjadi bahan renungan bagi generasi Indonesia di masa-masa mendatang.
Noviya Setiyawaty, pemeran Ibu, yang saat mahasiswa mengalami langsung bagaimana hiruk pikuk aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, bahkan hingga terjebak dan saat massa mengepung kampusnya ketika kerusuhan Mei 1998, merasa film ini seperti membawanya ke masa-masa mencekam
saat itu.
"Nawal membawa saya kembali bercermin ke masa tragedi reformasi 1998, bercermin kembali pada kejadian tragis yang menjadikan Indonesia berada di titik sekarang ini. Namun, film ini mampu membawa saya menyelami satu sisi yang sempat luput dari perhatian saya, yaitu sisi derita dan arti sebuah kehilangan dari seorang ibu, dalam sebuah keluarga," ujar ibu empat anak yang sehari-harinya berprofesi
sebagai pendidik dan pemain teater ini.
Hal senada diungkapkan Julfikar Mahaputra, pemeran tokoh Maha. Menurutnya, film Nawal mengingatkan kita semua, bahwa kemewahan yang didapat kita sebagai bangsa Indonesia hari ini adalah hasil perjuangan yang tidak mudah.
"Yang kita nikmati hari ini adalah hasil perjuangan yang sertai tetesan darah dan airmata para pejuang reformasi. Sampai detik ini, keadilan adalah hal yang dirasa tak pernah dicicipi oleh keluarga korban oleh sebab itu satu kata yang tak boleh lepas dari sekedar menolak lupa, LAWAN," tandas Julfikar.
Film NAWAL pertama kalinya diputar untuk umum bertempat di Gedung Kemuning Gading, Komplek Balaikota Bogor. Sekitar 300 orang menjadi penonton perdana film berdurasi 18 menit ini secara gratis. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Peringati Tragedi Trisakti: Cukup Darah Itu Tumpah 21 Tahun Lalu
Redaktur & Reporter : Natalia