jpnn.com, JAKARTA - Kepala Ekonomi PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI Ryan Kiryanto mengatakan, dalam tahapan normal baru di sektor perbankan, ada dua direktur yang paling menghadapi kesulitan.
Yaitu direktur kredit karena harus cepat membereskan restrukturisasi kredit bermasalahnya. Kemudian direktur IT yang harus menata ulang, mendesain kembali platform IT menjadi serba-digital saat memasuki new normal yang sebenarnya.
BACA JUGA: Memasuki New Normal,  BNI Menyiapkan Strategi Baru untuk Nasabah
"Karena tuntutan keadaan membuat customer dan perbankan mengubah kebiasaan lama ke kebiasaan baru yang nantinya akan menjadi kebiasaan kita bersama," kata Ryan dalam Webinar Bisnis Talk dengan tema Memulai Kembali Usaha di Era New Normal besutan BNI bersama JPNN.com dan Genpi.co, Jumat (13/6).
Ryan mengatakan, jauh sebelum COVID-19 sudah ada rancangan besar dari kalangan perbankan seluruh dunia untuk melakukan digitalisasi semua transaksi.
BACA JUGA: Bupati Kebumen Mulai New Normal dengan Aksi Cukur Gundul, Ini Reaksi Pak Ganjar
Baik dari sisi perkreditan, penghimpunan dana, dan transaksi-transaksi lainnya. Khususnya yang terkait pembayaran.
Digitalisasi menjadi keniscayaan baik hari ini atau masa mendatang.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Luhut vs Rizal Ramli, Warning untuk Anies Baswedan, Tunjangan PNS
"Tanpa disadari, COVID-19 ini mempercepat lompatan ke digital perbankan. Karena ini tekanan dari pasar maupun situasi (social distancing, physical distancing)," ucapnya.
Konsumen, lanjutnya, menghendaki adanya digitalisasi perbankan. Perbankan suka tidak suka harus melakukan transformasi tetapi sifatnya bukan parsial. Perlu radikal transformasi karena adanya disrupsi.
"Nantinya teknologi yang jadi jembatan customer dan bank," ucapnya.
Untuk itu perlu ada transformasi. Transformasi adalah peristiwa besar sehingga seorang leader harus membuat prosesnya pelan tetapi pasti.
Menurut Ryan, dalam setiap tranformasi ada tiga ancaman yang terjadi. Pertama, krisis komitmen karena orang capek kenapa harus berubah.
Kedua, krisis konflik. Kalau konflik terbuka bisa segera dideteksi dan diselesaikan. Celakanya kalau konfliknya laten, susah dilakukan penyelesaian.
Ketiga, krisis indentitas karena orang bertanya kita mau jadi apa. Itu sebabnya hanya leader yang betul-betul strong yang bisa mengayomi menjadi kunci transformasi.
"Customer memaksa perbankan melakukan perubahan. Dari pendekatan tradisional menjadi digital. Customer mula malas ke kantor cabang, ATM, mau tidak mau pakai smartphone. Semua transaksi keuangan akan menggunakan mobile payment. Dan, ada 75 persen menggunakan mobile payment," tandasnya.(esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad