Nihi Sumba Dunia

Selasa, 03 Juli 2018 – 12:21 WIB
Dahlan Iskan.

jpnn.com - Tidak berhenti-berhenti saya berpikir: apa ya yang membuat vila Nihi Sumba di Nihi Watu ini hebat? Terpilih sebagai hotel terbaik dunia? Tahun 2016 dan 2017?

Setelah satu malam di vila itu saya ambil kesimpulan. Atas penilaian saya sendiri. Apalagi setelah dua kali turun ke pantainya: ketika senja tiba dan ketika fajar menyingsing. Juga setelah makan malam dan makan pagi di resto alaminya.

BACA JUGA: Batu Ginjal di Tangan Boyke

Inti penilaian saya: hotel ini memiliki bukit, memiliki hutan dan memiliki pantai sekaligus. Tiga-tiganya dalam satu kesatuan.

Bukit biasanya jauh dari pantai.  Bukit yang dekat laut biasanya menghasilkan cliff. Tebing. Tidak punya pantai. Seperti di Uluwatu, Bali, itu. Atau di sepanjang Tapak Tuan, Sumut.

BACA JUGA: Meliuk-liuk di Sumba

Pantai biasanya tidak punya tebing. Seperti Pantai Kuta. Atau Pantai Sanur. Atau Pantai Copacabana dan Ipanema di Rio de Jaenero.

Atau pantai di Hawaii. Atau pantai di Sanya, Hainan. Atau Atlantic City Virginia, AS. Atau Nantes, di Prancis. Jangan masukkan  Pantai Indah Kapuk di Jakarta.

BACA JUGA: Kebun di Bumi yang Belum Jadi

Nihi Sumba, di Sumba Barat Daya itu, tiga-tiganya bisa dipadu. Bukitnya di bibir pantai. Pantainya di pangkuan bukit. Di dekat paha bukit itu lebat hutannya.

Pantainya pun lengkap. Lengkungnya 2,5 km. Pasirnya putih. Bersih.

Tidak ada kiriman sampah. Atau plastik. Yang kalau di Kuta menjadi gangguan yang serius. Kuta-nya Lombok juga indah. Tapi bukitnya agak jauh.

Di ujung kiri lengkung pantai itu ada tambahan keindahan. Bukit batu. Yang menyebul dari laut. Beberapa. Mirip di Pantai Kuta Lombok.

Manusia lantas membuatnya lebih indah. Dibuatkan jalan turun dari bukit ke pantai. Jalan itu dibuat natural. Belok-belok. Turun tajam. Dirindangi hutan.

Tidak hanya satu. Ada beberapa ‘lorong’ hijau menuju pantai itu.

Restorannya dibuat di ketinggian. Di lereng bukit. Bisa pilih tempat duduk yang menghadap laut. Bisa mengintip pantai dari sela-sela dedaunan.

Indah sekali. Malam hari, sambil makan malam, bisa melihat bintang.

Kebetulan bulannya mendekati purnama. Sinarnya menyorot ke pantai. Membuat kilauan putih: pasir, buih dan gelombang yang menabrak pantai. Suara deburannya seperti misteri alam yang lagi wirid.

Vilanya sendiri dibangun di lereng-lereng itu. Satu vila terpisah dari lainnya. Ada 32 villa di sana. Saya menempati yang dua tingkat. Kosong bagian atasnya. Bisa untuk empat orang sebenarnya.

Di depan tempat tidur ada kolam renang privat. Sambil berbaring di ranjang pun bisa melihat kolam itu dengan background hutan dan laut. Suara deburan ombak menjadi musik alami.

Senja hari ada atraksi alam. Bisa berkuda di pantai itu. Kuda Sumba. Sekitar 40 ekor tersedia. Bisa juga bertanding kuda di pantai itu. Atau melihat bagaimana kuda dipacu di atas air laut.

Malam itu ada pemutaran film di pantai. Di layar yang disiapkan sejak senja. Tapi saya pilih di-setting-kan teve untuk menonton live Piala Dunia: Inggris menang 6-1.

Untuk ke Nihi Sumba ini sebetulnya saya hanya spekulasi. Saya tahu: vila ini  selalu penuh.

Kalau mau ke situ harus booking dulu.  Setahun sebelumnya. Tidak pernah ada tamu yang walk-in. Seperti saya ini. Apalagi di musim bagus seperti ini: Juni-Juli-Agustus. Saat udara dingin di Australia ikut menyejukkan Sumba.

Saya benar-benar hanya berspekulasi: dapat kamar alhamdulillah, tidak dapat kamar ya lebih alhamdulillah. Yang penting saya sudah ke Nihi Sumba.

Karena itu ketika petugas sibuk bagaimana harus memperlakukan kedatangan saya yang mendadak itu saya parkir mobil. Lalu menyelinap ke pantai. Keliling komplek villa itu.

Saya tahu: belum tentu satu jam bisa ketemu jalan untuk mencarikan kamar saya. Berarti saya punya waktu untuk merekam Nihi Sumba.

Waktu satu jam cukuplah. Saya pernah ke Pantai Waikiki di Hawaii. Tidak sampai setengah jam sudah meninggalkan pantai itu.

Sayangnya: saya dapat kamar. Entah bagaimana. Satu-satunya vila yang bisa. Yang taripnya Rp 25 juta itu.

Itu pun hanya satu malam. Pagi-pagi harus pergi.

Belum jam 5 pagi saya sudah ke pantai lagi. Merekam fajar menyingsing. Menyimak ufuk memerah. Mendengar debur gelombang pagi.

Saya tidak malu lagi. Di Amerika nanti. Sudah ke bagian terindah negeri sendiri: Nihi Sumba ini.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Heboh Bijan dari Rosma


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler