NAIK-turun bukit pasir yang panas dan kering di Qatar sungguh menegangkan sekaligus mengasyikkan. Berikut laporan wartawan Jawa Pos ANGGIT SATRIYO NUGROHO yang baru pulang dari negeri kaya minyak itu.
------------
AZAN salat Asar baru saja berkumandang ketika Toyota Land Cruiser yang mengangkut empat penumpang membelah pusat Kota Doha. Dua mobil dengan tipe yang sama mengikuti dari belakang, seperti sedang berkejar-kejaran.
Rommy, sopir mobil yang melaju terdepan yang mengangkut rombongan wartawan dan PT Indosat, memang seperti buru-buru sampai ke padang pasir. Padang pasir tersebut terletak di pinggiran ibu kota Qatar itu, tepatnya di wilayah Al Warkah.
BACA JUGA: Enaknya Jadi Karyawan Google: Nongkrong Setiap Kamis Malam, Cuti Bisa Sampai Enam Bulan
Perjalanan lumayan lancar. Pada jam-jam itu, arus para karyawan belum banyak memadati jalan-jalan untuk pulang ke rumah masing-masing. Layaknya kota-kota lain di dunia, Doha juga mengalami problem kemacetan.
Tapi, Qatar yang kaya raya itu sudah mengambil sejumlah langkah untuk mengatasi persoalan kemacetan tersebut. Kini di mana-mana dibangun jaringan transportasi masal. Tiang-tiang monorel dibangun di pinggiran. Sebentar lagi pembangunan konstruksi juga sampai pusat kota.
BACA JUGA: Inilah Jumlah Gaji yang Diterima Karyawan Google dari Indonesia, Sampai Rp 20 Miliar
Sambil mengemudikan mobil, Rommy yang berasal dari Gaza, Palestina, itu bercerita bahwa 16 tahun lalu di Doha begitu mudah ditemukan gurun pasir. Ketika itu pembangunan properti belum menggeliat seperti akhir-akhir ini.
Kini, untuk mengajak turis ngebut di gurun, dia harus menepi hingga ke pinggiran kota. ”Dahulu bangunan besar hanya Hotel Sheraton. Lainnya gurun pasir,” terang pria yang sudah 40 tahun tinggal di Qatar tersebut.
BACA JUGA: Inilah Cerita Pemuda-pemudi Indonesia tentang Enaknya Bekerja di Google
Dia mengungkapkan, kini gurun pasir hanya tersisa di kawasan pinggiran. Dia memprediksi, dalam waktu sepuluh tahun lagi, gurun tersebut bakal makin berkurang karena terdesak pembangunan.
Apalagi, pemerintah membikin kebijakan menghadiahkan tanah seluas 1.000 meter persegi kepada warga asli yang menikahi sesama orang Qatar. "Otomatis untuk mengajak turis harus makin ke pinggir lagi," terangya.
Namun, kendati gurun pasir semakin jauh dari pusat kota, aksesnya tak susah. Jalanan ke pinggiran kota begitu mulus. Di kanan-kiri jalan juga berjajar taman-taman yang menyegarkan mata.
Menjelang sampai ke tempat tujuan, Toyota Land Cruiser dan mobil-mobil 4WD tipe lain terlihat melintas ke tujuan yang sama. Tak seperti mobil yang ditumpangi Jawa Pos dan rombongan Indosat, mobil-mobil tersebut menggeret kontainer besar seukuran 6 meter persegi. Gaya Arab cukup kental.
Sopir dan penumpangnya menggunakan pakaian khas, yakni jubah putih (tub) disertai dengan serban warna senada. Bukan pakaian akan bertualang. "Itu orang-orang kaya di Qatar mau berlibur ke gurun. Ini musim kamping," terang pria yang sudah berpengalaman 25 tahun menjadi sopir profesional yang melayani tur ke gurun pasir tersebut.
Berlibur ke gurun merupakan rekreasi yang menyenangkan bagi warga asli. Mereka bisa ngebut di gurun dengan mobil-mobil 4WD dari pagi hingga petang. Lalu, bermalam sekalian di gurun tersebut. Mereka tidur di kontainer yang sudah dibawa. Esok paginya aktivitas yang sama dilakukan. Biasanya hal tersebut berlangsung pada akhir pekan.
Maklum saja, gurun pasir saat ini memang satu-satunya sarana rekreasi alam di negara itu selain pantai. "Ketika udara tidak terlalu panas. Berada di gurun menjadi hal yang menyenangkan," terangnya.
Setelah satu setengah jam menempuh perjalanan, Jawa Pos bersama rombongan sampai juga di lokasi yang dituju. Dengan sigap Rommy turun dari mobil. Dia mengurangi tekanan angin di empat ban mobilnya.
"Kalau terlalu keras, mobil tak bisa mendaki gunung pasir," terangnya.
Rommy pun meminta semua penumpang mengeratkan sabuk pengaman. Sebab, berdasar pengalamannya, saat menuruni gunung pasir, banyak penumpang yang mengabaikan imbauannya yang terjungkal.
Rommy pun mulai mengemudikan mobil. Mula-mula dia menambah kecepatan. Ketika di depannya ada gunung pasir, dengan cekatan dia mengurangi persneling. Dan, wuzz...mobil naik ke bukit pasir dengan angka 80 terlihat di spidometer.
Tidak mudah sebenarnya. Tapi, karena sudah berpengalaman, Rommy berhasil mencapai puncak. Empat penumpang mobil pun bertepuk tangan. Pemandangan di puncak bukit pasir ternyata menakjubkan.
Sebab, bisa dilihat iring-ringan mobil yang juga mendaki gunung. Di lereng gunung pasir terlihat pula jejeran kontainer warga Qatar yang akan berkemah seperti yang diceritakan Rommy.
Namun, belum sempat rasa takjub tuntas, Rommy mengurangi persneling lagi. Kali ini turun. Lumayan menguji adrenalin. Sebab, kelewat curam. Sebagian penumpang sampai menyarankan Rommy agar tidak melakukannya.
Pilih jalan yang lempeng saja agar aman. "Nikmati saja. Ini bagian dari hidup saya. Sehari-hari saya selalu melewati ini," terang Rommy menenangkan teriakan rombongan.
Selama berputar-putar di gurun, Rommy sama sekali tak memanfaatkan alat penunjuk arah seperti kompas dan GPS (global positioning system). Dia hanya mengandalkan insting.
Padahal, sudah belasan kilometer dia masuk ke padang pasir yang kering itu. Rommy bercerita, dua tahun pertama mengawali karir sebagai sopir, dirinya kerap tersesat. Namun, seiring berjalannya waktu, karena yang dilewati gurun yang itu-itu juga, rute pun sudah terekam dengan baik di kepalanya.
Hari itu ratusan tanjakan dan tikungan curam harus dilalui. Ratusan kali pula khawatir dan rasa waswas menghinggapi para penumpang. Namun, Rommy juga tak bosan-bosan mengingatkan agar tak risau.
Ada kalanya Rommy melewati kontur gurun yang miring. Melewati itu tak kalah menegangkan. Sebab, meleset sedikit saja, mobil bisa terjungkal. Namun, lagi-lagi dia berupaya menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Nikmati saja. Dengarkan nyanyian gurun," katanya, lalu menjelaskan suara angin yang menerpa butiran-butiran pasir.
Rommy mengungkapkan, melintasi gurun-gurun pasir semacam itu akan lebih menantang bila dilakukan saat malam. Sebab, sorot lampu mobil yang terbatas membikin pengemudinya sulit menerka kapan akan naik dan kapan akan melewati turunan.
Joko Riswadi, salah seorang anggota rombongan dari Indosat, mengungkapkan bahwa dirinya amat menanti-nantikan bisa ngebut di gurun semacam itu. Sebab, berkali-kali dia berkunjung ke Qatar, acara tersebut selalu terlewatkan.
"Semula saya kira seperti melewati gurun pasir di Bromo yang datar. Ternyata seperti kita naik tong setan di acara pasar malam. Ini sesuatu yang gila," ungkapnya.
Lelah bertualang di gurun, Rommy mengajak makan. Ternyata di tengah-tengah gurun luas tersebut ada restoran Arab yang cukup asyik. Tenda-tenda tempat makan berpendingin udara. Lantainya dilapisi permadani nan empuk. Hidangannya juga cukup enak. (*/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wow, Google Ternyata Sediakan Fasilitas Pijat Bagi Karyawannya
Redaktur : Tim Redaksi