NU Minta Pengesahan RUU Ormas Ditunda

Pemerintah Tegaskan Terbuka Terima Masukan

Kamis, 04 April 2013 – 19:17 WIB
JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pengesahan RUU Ormas yang dijadwalkan pada 12 April 2013. PBNU minta sejumlah pasal harus dirumuskan ulang.

Wakil Ketua Umum PBNU H. As'ad Said Ali saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis (4/4) mengatakan, apabila pengesahan dipakasakan sesuai jadwal, dikhawatirkan akan menimbulkan sejumlah dampak negatif.

"Permintaan ini kami sampaikan untuk menghindari berbagai dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari pengesahan RUU tersebut," kata As'ad didampingi Sekjend PBNU H. Marsudi Syuhud, Ketua PBNU Imam Azis, Wakil Sekjend PBNU H. Abdul Mun'im DZ, dan Adnan Anwar.

As'ad menambahkan, PBNU menghargai langkah Pemerintah dan DPR yang telah menyempurnakan UU No.8 Tahun 1985 tentang Ormas. Meski demikian terdapat sejumlah pasal yang harus dirumuskan ulang, seperti pengertian Ormas dalam RUU yang mengeneralisasi sebagai organisasi berbadan hukum tanpa mendeskripsikan tata nilai dan kesejarahan serta peran Ormas dalam konteks masyarakat indonesia.

"RUU ini belum melihat sejarah, peran, dan kontribusi Ormas seperti NU, Muhammadiyah, Perti, Nahdlatul Waton, Alkhairat, Syarikat Islam, dan masih banyak lainnya yang ada sebelum negara ini berdiri," tegas As'ad.

Selain pasal substansi Ormas, yang juga harus dirumuskan ulang terkait pembedaan antara yayasan, perkumpulkan dan Ormas yang sudah lama berdiri, yang kontribusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ditemukan selain di Indonesia.

Menurut As'ad, pasal yang mengatur keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing, terlebih dengan cara menyamakan aturan dan persyaratan yang dikenakan kepada Ormas, harus dikeluarkan dari RUU Ormas.

"Kalau LSM asing ingin diberi landasan hukum silahkan, tapi harus diatur dalam Undang-undang tersendiri," tandasnya.

Sekretaris Jenderal PBNU H. Marsudi Syuhud, menambahkan bahwa RUU Ormas tidak seharusnya mengikuti tradisi Belanda, yang hanya memiliki dua jenis UU, yaitu UU Yayasan dan UU Perkumpulan.

"Dengan mengacu pada pengalaman kehidupan kemasyarakatan sendiri, maka negeri ini seharusnya berani merumuskan satu UU yang khusus mengatur kehidupan Organisasi Kemasyarakatan yang berbeda sama sekali dengan UU Yayasan dan UU Perkumpulan," tuntas Marsudi.

Sebelumnya, Kasubdit Ormas Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kemendagri, Bahtiar, mengatakan, UU Yayasan memang berbeda dengan materi RUU Ormas.

"Kelemahan UU Yayasan, membolehkan warga negara asing atau badan hukum asing, cukup dengan paspor bisa mendirikan yayasan di Indonesia," ujar Bahtiar.

Dia juga mengatakan, secara prinsip, pemerintah dan tentunya DPR, menghargai masukan dari omas. Bahkan, lanjutnya, penyempurnaan materi RUU sudah dilakukan sejak 2011 hingga saat ini.

"Pansus RUU Ormas DPR dan pemerintah sangat terbuka terhadap masukan tokoh atau ormas Islam dalam penyempurnaan RUU ormas," ujar Bahtiar.

"Dan yakinlah, anggota Pansus DPR dari seluruh partai adalah para tokoh ormas nasional yang besar sehingga tidak mungkin membuat aturan yang merugikan ormas," ujarnya.

Dia juga mengingatkan, ada upaya provokasi dari sejmlah LSM binaan asing yang mencoba membenturkan tokoh-tokoh agama dengan pemerintah dan DPR. (Fat/sam/jpnn)



BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Segera Umumkan Menkeu Baru

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler