jpnn.com - UNTUK menggapai pendidikan, Nur Fadli harus berjuang keras. Kini dengan kerja keras dia berupaya menghidupkan pendidikan di lereng Gunung Argopuro.
Sejak spuluh tahun lalu Fadli merintis sebuah sekolah di Desa Bintoro, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember. Bagi ayah dua orang anak itu, membangun sekolah bukan perkara gampang.
BACA JUGA: TERBUKTI: Jiwa Nasionalisme Pemuda Jawa Timur Sangat Tinggi
Kesulitan yang dia dapatkan di masa kecil justru membuat tekadnya kian tebal. Tumbuh besar di keluarga miskin nyaris membuat Fadli menjadi orang yang gelap ilmu.
"Orang tua saya punya pemikiran, sekolah itu cukup sampai SD saja," ujar pria kelahiran 11 Desember 1980 tersebut.
BACA JUGA: Banyak Penumpang, Pansus Pelindo II Dinilai Cuma Bidik Menteri Rini
Memutuskan berpisah dengan orang tua saat SD, Fadli akhirnya bisa masuk MTS dan MA. Dia tidak pernah meminta biaya sepeser pun kepada kedua orang tuanya, Ahmadi dan Hasanah.
"Cari kayu bakar dan rumput untuk pakan ternak untuk bertahan. Entahlah, Tuhan selalu saja membantu," katanya dengan mata berkaca-kaca.
BACA JUGA: Mendadak Pansus Pelindo II Batal Periksa Menteri Rini
Setelah jadi kernet bus dan merantau ke Bali, Fadli bisa menjadi sarjana. Pada 2000 dia mendaftarkan diri ke Fakultas Hukum Universitas Islam Jember (UIJ). Hidup Fadli di kampus tak sekadar kupu-kupu alias kuliah pulang-kuliah pulang.
Dia aktif mengikuti kegiatan kampus. Bersama teman-temannya Fadli peduli dengan anak-anak jalanan di Bintoro, sebuah desa di lereng Gunung Argopuro.
Dari sanalah semua berawal. Dia membangun satu sekolah, lalu berkembang menjadi sepuluh. "Semuanya dibangun di bawah gunung," ungkap dia.
Fadli tidak mengelak jika awalnya sekolah-sekolah itu dibilang didirikan secara ilegal. Artinya, tidak ada akreditasi maupun ijazahnya tidak diakui.
Namun, baginya show must go on. Dia nekat untuk tetap memberikan pendidikan layak bagi anak-anak di kawasan terpencil. Dan bagi yang tidak punya uang, mereka diperkenankan masuk sekolah secara gratis!
Mengelola sekolah juga tak ubahnya mengurus perusahaan. Fadli harus memikirkan bagaimana gaji guru, merawat bangunan, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan penunjang lainnya.
Maka kemudian Fadli mendapat ujian berlipat. Tetapi, dia tidak pernah kehabisan akal. Kedekatannya dengan pejabat-pejabat di lingkungan Pemkab Jember dimanfaatkan. "Kadang saya nyuci mobil, terus dikasih uang," beber Fadli tanpa rasa sungkan.
Selain dikenal pandai mengajar, Fadli piawai beternak. Maka, ketika ada sekolah yang butuh biaya, dia tetap punya akal. Seekor kambing dibawanya ke desa tempat sekolah itu berdiri. Kambing itu kemudian ditawarkan ke warga sebisa mereka membayarnya. Uang penjualan itulah yang kemudian dipakai untuk memutar kas sekolah.
Fadli juga menyadari satu keunggulan yang dimilikinya, yaitu bicara. Hanya dari keberaniannya berbicara dengan orang yang punya kedudukan, dia bisa menghidupi kesepuluh sekolah.
Setiap hari Fadli menunggang motor trail untuk bisa mencapai semua sekolah tersebut. Motor itu pun bisa dibilang istimewa. "Ini pemberian istri saya ketika dia lolos sertifikasi guru," ucapnya penuh bangga.
Bagi anak kedua dari tiga bersaudara tersebut, mengajar anak-anak di lereng gunung adalah sebuah anugerah sekaligus tantangan. Dia bersyukur bisa berinteraksi dengan putra-putri yang kebanyakan orang tuanya adalah buruh tani. Sama dengan bapak dan ibunya. (did/c9/ady)
(Sejumlah sosok ini diangkat pada Edisi Khusus Jawa Pos-Induk JPNN. Mereka adalah para pemuda-pemuda yang tidak menangis dalam kondisi runyam yang menerjang diri, lingkungan atau bangsanya. Dengan tekad baja, mereka bergerak untuk mengubah kondisi eksternal yang yang tidak menguntungkan. Merekalah penantang krisis. Persona yang dengan sigap menyerap stamina dan antusiasme sebesar pendahulu mereka, peserta Kongres Pemuda II di Gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, 26-28 Oktober 1928.)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Selamat, Ini Para Pemenang Anugerah BCA Shovia 2015
Redaktur : Tim Redaksi