jpnn.com - NUSAKAMBANGAN dikenal sebagai sebuah pulau penjara yang seram dengan penjagaan ketat. Padahal, pulau di selatan Cilacap, Jawa Tengah, itu menyimpan spot wisata menantang. Menembusnya bisa tanpa lewat pos penjagaan yang ribet.
GUNAWAN SUTANTO, Cilacap
BACA JUGA: Firasat Seorang Ibu yang Putrinya jadi Korban Tragedi Air Terjun Dua Warna
Compreng alias perahu motor kecil yang saya tumpangi mulai bergerak perlahan untuk meninggalkan dermaga navigasi di Sleko, Tambakreja, Cilacap, Selasa pagi (17/5).
Perahu itu membawa sejumlah guru yang mengajar di Kampung Laut. Sebuah perkampungan di sekitar kawasan hutan bakau di Segara Anakan. Beberapa bagian perkampungan itu sejatinya berada di daratan Pulau Nusakambangan.
BACA JUGA: Kalimat Terakhir si Mahasiswi, Detik-detik Dihempas Banjir Air Terjun Dua Warna
Dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk menuju Kampung Laut. Tepatnya untuk bersandar di Dermaga Klaces yang tak jauh dari kantor Kecamatan Kampung Laut. Perjalanan menggunakan compreng itu relatif aman. Sebab, arus Segara Anakan tak terlalu mengguncang perahu yang saya tumpangi.
Jika tak punya teman guru atau sungkan untuk menumpang, Anda bisa sewa sendiri compreng untuk menuju Kampung Laut. Tapi, tentu biayanya mahal. Cara lain, Anda bisa berbagi bayar dengan penumpang lain. Sayang, perahu tersebut hanya ada sore. Sebab, kebanyakan compreng yang bersandar hanya menyasar penduduk Kampung Laut yang akan pulang setelah beraktivitas di Cilacap.
BACA JUGA: MENGHARUKAN, Korban Tragedi Air Terjun Dua Warna itu Sempat Bermanja ke Ibunya
Kampung Laut menjadi pintu masuk saya untuk menjelajah Nusakambangan. Memang butuh waktu lebih lama jika dibandingkan dengan lewat pintu masuk utama dari Dermaga Sodong. Hanya, jika melewati Kampung Laut, tak perlu melintasi pengamanan yang ribet. Di Kampung Laut, ada beberapa dermaga yang bisa disandari compreng. Tapi, saya memilih dermaga di Desa Klaces.
Setelah compreng merapat, saya langsung mencari ojek. Sebenarnya tak banyak ojek juga sih di desa itu. Sebab, nyaris tak banyak tamu yang datang ke kampung berpenduduk 15 ribu orang tersebut. Rata-rata warga juga memiliki sepeda motor. Mulai yang butut sampai yang paling mulus.
Untung, saya menemukan ojek. Juga, tentu tanpa perlu aplikasi karena kampung itu nyaris tak terjamah sinyal telepon. Driver ojek tersebut anak muda warga asli Kampung Laut. Jalan-jalan tikus sudah dia hafal di luar kepala.
”Saya sebenarnya sudah sempat kerja di Jakarta, tapi disuruh balik oleh nenek,” ujar Hidayat, pengemudi ojek yang mengantarkan saya berwisata asyik campur waswas ke Nusakambangan.
”Lewat mana, Mas, jalur bawah atau atas?” tanya dia. Jalur bawah yang dimaksud ialah yang menyusuri tepian hutan bakau. Sedangkan jalur atas merupakan jalur perbukitan. Yang dilalui adalah sawah serta hutan karet dan albasia.
Saya memilih jalur bawah karena perlu mampir untuk menemui seorang guru di salah satu desa di Kampung Laut. ”Kalau begitu, biar tidak lewat jalan yang sama, nanti pulangnya kita lewat atas ya, Mas?” kata Hidayat. Sepakat! Motor sport berwarna merah keluaran 2014 miliknya langsung distarter. Perjalanan deg-degan pun dimulai.
Deg-degan bukan karena takut akan pengamanan di Nusakambangan. Tapi lebih disebabkan medan yang menegangkan. Lantaran berada di tepian Segara Anakan, tak semua jalan di Kampung Laut mulus. Ada jalan yang dibeton, disemen, juga yang dibiarkan berbatu cadas. Mayoritas rusak karena gerusan air laut.
Normalnya, dari Dermaga Klaces ke jalan utama di Pulau Nusakambangan, yang termasuk daerah terbatas, dibutuhkan waktu 30 menit. Namun, karena beberapa hari ini kondisi langit Cilacap dan sekitarnya tak tentu, sedikit panas dan sedikit hujan, jadilah medan makin sulit. Waktu tempuh pun makin lama, sekitar 45 menit.
Sepanjang rute menuju jalan utama di Nusakambangan, saya setidaknya melewati empat dusun yang masuk dua desa. Yakni, Desa Klaces dan Ujung Alang. Tak begitu banyak pemandangan di jalur bawah yang bisa saya nikmati. Kecuali hutan bakau dan rumah-rumah warga yang kebanyakan masih tradisional.
Meskipun di jalur bawah banyak rumah penduduk, sepanjang jalan yang saya lalui tak ada satu pun lampu penerangan. Jadi, bisa dipastikan sangat sulit melintasi jalan itu ketika hari mulai gelap.
Uniknya, di daerah yang saya lewati tersebut, ada warga yang berbahasa Jawa dan sebagian lagi berlogat Sunda. Itu saya ketahui ketika Hidayat mengucapkan permisi. Ada banyak permisi yang perlu diucapkan. Sebab, kadang jalanan sangat sempit. Sulit menyalip orang yang sedang melenggang.
Ketika mengucapkan permisi itu, Hidayat menggunakan kata nuwun sewu. Kadang dia mengucapkan punten. ”Orang di sini ini dari ujung sampai ujung saling kenal. Ada yang asli Jawa, ada yang pendatang dari kota-kota di Jawa Barat,” tutur Hidayat.
Hidayat memang bukan sekadar driver ojek. Pengetahuannya cukup luas soal kampungnya. Sepanjang perjalanan, dia berkisah tentang banyak hal. Cerita itulah yang kadang mengganggu konsentrasinya. Akibatnya, beberapa kali motor yang kami tumpangi selip karena licinnya batu-batu cadas yang berbalut lumpur rawa.
Makin mengarah ke jalan utama di Nusakambangan, jalur makin sempit dan mengerikan. Jalur tikus yang saya lalui itu ternyata bermuara di jalan yang tak jauh dari Lapas Kembang Kuning. ”Biasanya, kalau mau eksekusi, di sini sudah mulai ada yang menjaga. Tapi, ini masih sepi,” katanya.
Saya lantas memutuskan untuk mendekat ke Lapas Kembang Kuning terlebih dulu. Suasana di luar lapas memang sepi. Tak ada penjagaan ketat dengan pasukan Brimob seperti yang ada di Dermaga Sodong.
Meski sepi, rupanya para petugas tetap menaruh curiga terhadap orang yang datang. Saya yang sempat berfoto selfie di depan Lapas Kembang Kuning tiba-tiba didatangi pria berbatik. Dia menanyakan asal usul dan tujuan saya. Wajahnya menaruh curiga dan (tentu saja) tak menginginkan kehadiran saya.
Agar tak dicurigai, saya mengaku sebagai teman si Hidayat. Pakaian yang dikenakan Hidayat siang itu memang tampak seperti penduduk biasa. Dia berkaus, bercelana training, dan bersandal plastik. Tanpa saya kode, Hidayat sudah paham. Dia mengakui bahwa saya temannya yang ingin melihat Pantai Permisan. ”Jalan ke Permisan ke sana,” ujar pria itu, ingin kami segera pergi.
Saya pun segera cabut. Sebenarnya saya ingin melanjutkan perjalanan ke lapas lain yang berlawanan arah dengan Pantai Permisan.
Daripada membuat curiga, saya lantas memilih balik arah ke Pantai Permisan. Toh, saya tahu, searah dengan Pantai Permisan, saya bisa menjumpai lapas-lapas lain. Ada Lapas Permisan dan Lapas Pasir Putih.
Tak ada aktivitas mencolok di dua lapas itu. Tak ada petugas pengamanan lapas dan polisi yang berkeliaran. Di depan pelataran Lapas Permisan, saya melihat beberapa orang dengan pakaian bertulisan lapas sedang bermain tenis meja.
Sementara itu, di Lapas Pasir Putih, saya hanya melihat tukang-tukang yang bekerja. Karena situasi di Lapas Pasir Putih lebih memungkinkan, saya pun tak ragu untuk selfie di depan penjara yang dihuni terpidana mati gembong narkoba Freddy Budiman itu.
Posisi Lapas Pasir Putih tak jauh dari Pantai Permisan. Pantai tersebut sangat indah. Ombaknya berasal dari Samudra Hindia. Saya jadi teringat perawannya pantai di Ujung Kulon. Sayang, di tempat itu minim selaki pelancong. Mungkin itu terjadi karena rumitnya akses. Kemarin, selain saya dan Hidayat, hanya ada sesosok manusia yang terlihat. Itu pun terlihat agak kurang waras (jangan-jangan orang itu juga memandang saya begitu).
Pantai Permisan juga menjadi tempat pelatihan dan pembaretan prajurit Kopassus. Monumen Sangkur dibangun di atas bebatuan karang sebagai penanda lokasi. Tak jauh dari lokasi itu, Kementerian Hukum dan HAM juga menancapkan Monumen Pemasyarakatan.
Pantai Permisan hanya satu di antara sekian banyak potensi wisata di Nusakambangan. Saya bersyukur karena berkesempatan melihat beberapa di antaranya dengan cara yang lebih seru. Juga, pastinya tanpa rumit dan ribet soal izin. Sebuah hal yang mungkin belakangan ini tak mudah karena menjelang pelaksanaan eksekusi. (*/c11/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengharukan! Surat Anak Nelayan untuk Presiden Jokowi
Redaktur : Tim Redaksi