jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus mengembangan inovasi pembiayaan APBN melalui berbagai instrumen, di antaranya melalui obligasi negara dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).
Kepala Seksi Pengelolaan Risiko Pasar Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Ardhitya Kurniartanto menjelaskan penerbitan obligasi negara memberikan alternatif pembiayaan bagi APBN.
BACA JUGA: Utang Luar Negeri Indonesia April 2023 Turun menjadi USD 403,1 Miliar
Hal itu membuat Indonesia tak lagi bergantung pada utang luar negeri.
"Kita mulai berkembang untuk menggunakan alternatif pembiayaan tidak lagi bersumber dari (pinjaman) luar negeri saja, tetapi juga menggunakan sumber-sumber dalam negeri melalui penerbitan obligasi negara," katanya dalam acara NgoPi: Literasi Keuangan dan Pembiayaan APBN di Kampus Universitas Indonesia, Depok, (6/12).
BACA JUGA: Meski Ada Utang Luar Negeri, Kondisi Ekonomi Indonesia Jauh Lebih Baik
Seperti diketahui, posisi utang Indonesia per 31 Oktober 2023 mencapai Rp 7.950,52 triliun.
Angka ini sekitar 37,68 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Jauh di bawah ambang batas yang diperbolehkan UU Keuangan Negara, yaitu 60 persen dari GDP.
Dari total utang tersebut, SBN menempati porsi terbesar yaitu, 88,66 persen dan pinjaman, baik dalam dan luar negeri, sebesar 11,34 persen. Adapun dari sisi SBN, mayoritas berasal dari domestik 71,41 persen dan SBN valas 17,25 persen.
"Dengan demikian, posisi utang Indonesia masih dalam kategori rasional dan aman," terangnya.
Menurut Ardhitya, pemerintah senantiasa berhati-hati dalam mengambil kebijakan utang, baik berupa obligasi maupun pinjaman. Terutama dengan mempertimbangkan tenor dan suku bunga yang kompetitif.
"Untuk utang-utang yang kita adakan, bisa jadi tenornya 20-25 tahun, atau lebih panjang lagi. Dengan tingkat bunga yang generous," jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga tidak mau dikendalikan para kreditor ketika mengajukan pinjaman luar negeri. Hal ini menjadi prasyarat yang terus dijaga supaya kita tetap independen.
"Yang kami kehendaki, ketika menerima pinjaman dari luar negeri, kita sendiri yang menentukan barangnya dari mana. Kami tidak mau didikte oleh para kreditor," katanya.
Menurut Ardhitya, sudah banyak manfaat pembangunan yang diperoleh dari instrumen pembiayaan alternatif. Salah satunya adalah pembangunan proyek kereta api di Makasar yang dibiayai melalui instrumen Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk).
"Lalu, (manfaat, red) dari pinjaman luar negeri kita bisa lihat sendiri seperti pembangunan Rumah Sakit UI, pembangunan MRT, atau pembangunan berbagai rumah sakit di daerah, dan masih banyak lagi," pungkas Arditya.
Head of Industry Regional Bank Mandiri, Dendy Ramdani juga menilai utang Indonesia masih dalam kategori aman. Apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
"Negara-negara maju itu bisa di atas 100 persen. Artinya, memang utangnya besar sekali. Sementara kita itu bila dilihat rasionya masih oke, di bawah 40 persen," katanya dalam acara diskusi yang sama.
Dendy menyarankan agar pemerintah menempatkan utang-utang ini pada sektor yang produktif.
Hal itu agar ekspansi belanja itu mampu memutar aktivitas ekonomi dan mendorong penerimaan negara yang lebih besar lewat pajak.
Dendy mengingatkan agar pos-pos yang dibelanjakan itu harus memiliki multipler effect yang tinggi, supaya ekonomi bergerak kencang.
"Kemudian, pemerintah bisa menangkap potensi pajak yang lebih besar sehingga bisa menutupi biaya bunga," ungkap Dendy.
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul