jpnn.com, JAKARTA - Meski rupiah anjlok, stabilitas sektor keuangan Indonesia dianggap masih kukuh ketimbang negara berkembang lainnya.
President Director Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri, Senin (25/6), berpendapat kondisi ini lebih disebabkan oleh kebijakan fiskal pemerintah yang akomodatif dan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menjalankan pengawasan secara kredibel.
BACA JUGA: BI Boleh Naikkan Suku Bunga Acuan, Tetapi Jangan Agresif
Mengingat Bank Indonesia (BI), sejauh ini relatif sangat lamban dalam mengantisipasi pelemahan rupiah, lewat kebijakan suku bunga acuannya.
Pengawasan OJK ini, menurut Deni, selaras dengan kebijakan menekan pengeluaran (expenditure switching), yang tengah dijalan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghidupkan sektor riil.
BACA JUGA: Pelaku Usaha Waspadai Dampak Kebijakan The Fed
Sektor yang relatif mandeg beberapa waktu lalu, karena pengaruh kebijakan ekonomi SBY-Boediono yang telat dalam menerapkan kebijakan expenditure switching.
“Dalam pemerintahan Jokowi dengan dukungan jangkar sektor keuangan yang dilakukan OJK, maka pelemahan rupiah bukan saja terukur tetapi juga berdampak positif bagi sektor keuangan nasional,” ungkap Deni.
BACA JUGA: Realisasi Uang Lebaran Naik Dibanding Tahun Lalu, Wouw!
Padahal, menurut Deni, defisit necara berjalan terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia sama dengan India.
Tengok saja, rupiah melemah terhadap dolar AS, sebesar 4,8 persen per 20 Juni dibandingkan keadaan 12 bulan lalu. Sementara, lira melemah 33,5 persen pada periode yang sama. Begitu pula peso yang melemah 72,67 persen pada periode yang sama.
Demikian juga rupee melemah 5,58 persen pada periode yang sama. Artinya rupee melemah lebih cepat dari rupiah, karena stabilitas sektor keuangan di Indonesia lebih baik ketimbang stabilitas sektor keuangan di India.
Ia mengatakan, stabilitas sektor keuangan di India relatif lebih lemah karena pengaruh penerapan redenominasi mata uang yang membuat sektor keuangan terkena dampak penerapan redenominasi.
Bagaimana dengan pasar modal? Deni menggambarkan dalam denominasi dolar AS, dibandingkan dengan harga saham gabungan akhir tahun 2017, indeks harga saham gabungan (IHSG) Indonesia, India, Argentina dan Turki masing-masing terkoreksi 9,8 persen, 3,2 persen, 34,2 persen dan 34,4 persen.
“Ini memperlihatkan bahwa kondisi pasar modal di Indonesia juga secara relatif tidak drop seperti yang terjadi di Turki dan Argentina,” kata dia.
Terkoreksinya harga saham di negara berkembang, menurut dia, lebih disebabkan oleh lemahnya mata uang lokal dibandingkan terhadap dolar AS dan kinerja masing-masing perusahaan yang tercatat di pasar modal.
Perusahaan yang tercatat bukan saja perusahaan di sektor keuangan, tetapi juga perusahaan yang bergerak pada sektor nonkeuangan seperti pertanian dan manufaktur.
Dengan begitu, ungkap Deni, pelemahan IHSG denominasi dalam dolar AS tidak dapat diketakan bahwa stabilitas sektor keuangan melemah mengingat saham adalah barang normal dimana permintaannya akan bertambah ketika pendapatan masyarakat bertambah. Yang juga berarti bahwa barang tersebut memiliki elastisitas permintaan positif.
Dengan demikian pernyataan yang mengatakan bahwa stabilitas sektor keuangan melemah karena IHSG terkoreksi, menurut Deni, bukanlah pendapat yang tepat. Pendapat itu sama saja dengan mengatakan bahwa saham itu merupakan barang inferior yang juga sama saja kelirunya.
Kalau diperhatikan, gonjang-ganjing turun naik rupiah dan IHSG, sama sekali belum terlihat pada sektor keuangan. Hal inilah, menurut dia, yang menjelaskan mengapa kredibilitas OJK saat ini semakin baik, hal ini dapat dilihat dari peran eksplisit OJK dalam mengawasi sektor keuangan dan peran implisit OJK yang mendukung kebijakan expenditure switching.
Dengan terjaganya stabilitas keuangan di tengah depresiasi mata uang yang terkelola dengan baik, maka Deni menyimpulkan, secara langsung atau tidak langsung OJK terbukti telah melakukan peran penting dalam memperbaiki kinerja neraca berjalan di Indonesia.
Di masa lalu, lanjutnya, pelemahan nilai tukar rupiah dan IHSG diikuti dengan pelemahan sektor keuangan. Bahkan pada gilirannya menghancurkan sendi-sendi sektor keuangan Indonesia, terutama pada krisis 1998.
Kali ini, Deni berpendapat, pelemahan nilai tukar rupiah dan IHSG, belum nampak jelas dampak negatifnya terhadap sektor keuangan. Mudah-mudahan tak berdampak sama sekali, tandasnya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BI Siapkan Penukaran Uang di Tol
Redaktur & Reporter : Friederich