Ojo Kesusu, Ojo Keliru

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 26 Agustus 2022 – 18:38 WIB
Presiden Joko Widodo menyapa massa saat kegiatan relawan "Komunitas Sapulidi" bertajuk "2024 Satu Komando Ikut Pak Jokowi" di Stadion Gelora 10 November Surabaya, Minggu (21/8/2022) petang. ANTARA/Umarul Faruq.

jpnn.com - Indonesia itu pada dasarnya Jawa. Kalimat itu dinyatakan oleh indonesianis terkemuka Ben Anderson pada awal kunjungannya ke Indonesia pada 1964.

Anderson melihat dominasi Jawa dalam politik Indonesia, terutama kuatnya figur Bung Karno dan Pak Harto.

BACA JUGA: Hanya Jokowi Memenuhi Kriteria Capres 2024 dari Prabowo, Bukan Ganjar Atau Anies

Sampai sekarang, 60 tahun  setelah pernyataan Ben Anderson itu, Indonesia masih tetap Jawa. 

Setidaknya, sampai sekarang belum ada presiden yang bukan orang Jawa, kecuali diselingi oleh Habibie sebagai presiden interim selama setahun. 

BACA JUGA: Apa Kata Jokowi soal Isu Merestui Ganjar dan Prabowo Maju di Pilpres? Jawabannya Mengejutkan

Selebihnya Indonesia adalah Jawa.

Presiden Joko Widodo ingin mengubah hal itu dengan program pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang lebih menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.

BACA JUGA: Dikejar Iriana Jokowi, Andmesh Kamaleng Sempat Takut Ditembak

Secara simbolis Jokowi juga menunjukkan penampilan yang tidak Jawa sentris. 

Hal itu ditunjukkannya pada setiap kesempatan hari besar nasional. 

Pada upacara 17 Agustus tahun ini, Jokowi memakai pakaian daerah Buton, Sulawesi Tenggara. 

Pada kesempatan sebelumnya, Jokowi memakai pakaian adat Aceh, Bali, dan daerah-daerah lain.

Meski demikian, Jokowi tetap sangat Jawa dalam budaya politiknya. 

Dalam berbagai kesempatan, dia memakai idiom Jawa untuk menyatakan posisi politiknya. 

Dalam hal suksesi kepresidenan 2024, Jokowi selalu memakai idiom Jawa

Dia memakai narasi ‘’ojo kesusu’’ di depan anggota sukarelawan Projo. 

Lalu, di Surabaya Jokowi memakai narasi ‘’ojo keliru’’.

Dalam tindakan sadar Jokowi ingin melepas sentralisme Jawa, tetapi di bawah sadarnya Jokowi tetap sangat ‘’ngugemi’’ filosofi Jawa dengan segala macam pernak-perniknya. 

Orang Jawa tidak pernah boleh tergesa-gesa (kesusu) dalam melakukan segala hal. Jawa bukan sekadar identitas geografis atau identitas etnis, melainkan identitas filosofis. 

Seseorang disebut ‘’ora jowo’’ atau tidak jawa, bukan karena dia berasal dari luar Jawa, tetapi karena dia tidak mempunyai karakteristik Jawa. 

Karakteristik ini identik dengan sifat priyayi yang ‘’alus’’ atau halus. 

Menurut Ben Anderson, konsep alus ini benar-benar khas Jawa dan hanya bisa diterjemahkan secara harfiah termasuk ke dalam bahasa Inggris. 

Tidak ada padanan yang tepat dalam bahasa Inggris untuk konsep ‘’alus’’. 

Yang paling mendekati maknanya adalah ‘’refined’’, itu pun agak dipaksakan. 

Ben Anderson memilih untuk tidak menerjemahkan alus ke dalam bahasa Inggris.

Salah satu karakter alus adalah tidak kesusu dan tidak keliru dalam mengambil keputusan penting. 

Ungkapan Jawa yang paling terkenal adalah ‘’alon-alon waton kelakon’’ pelan-pelan asal tercapai. 

Kecepatan dan ketergesaan bisa mengakibatkan pilihan yang keliru, dan hal itu bukan bagian dari tradisi Jawa yang priyayi.

Sikap alus bisa dilihat dari penampilan ksatria dalam pergelaran wayang kulit. 

Sang kesatria digambarkan sebagai seorang lelaki tampan dengan badan langsing dan wajah yang halus ‘’mriyayeni’’ dengan tampang aritokratis. 

Bicaranya halus dan sangat tertata, pakaiannya sopan, dan gerakannya serba teratur dan tidak kasar.

Kebalikan dari sikap priyayi yang alus diwakili oleh raseksa atau ‘’buto’’ yang digambarkan dalam bentuk yang besar menjulang, mulut ekstra lebar, rambut gondrong awut-awutan, berbicara dengan suara keras, dan bertindak dengan kasar dan ugal-ugalan. 

Meskipun terlihat besar dan kuat tapi dalam setiap perang tanding raseksa tidak pernah bisa mengalahkan ksatria yang yang alus.

Salah satu espisode yang paling terkenal dalam pergelaran wayang orang adalah ‘’Cakilan’’ yang menggambarkan pertarungan ‘’one on one’’ antara Buto Cakil melawan Arjuno. 

Tingkah Buto Calik ‘’pethakilan’’ berjungkir balik, berjoget, berteriak-teriak. Sedangkan Arjuna hanya bergerak halus dengan manuver yang terbatas. 

Akan tetapi, di akhir episode itu Arjuna dengan gerakan yang gemulai, tetapi penuh tenaga, melompat ke atas pundak Buto Cakil dan memotong leher sang raseksa sehingga tumbang dan tewas.

Orang Jawa yang alus tidak menunjukkan ambisi atau pamrih. 

Dia bekerja dan mengabdi sesuai darmanya, tanpa mengharapkan imbalan atau balasan. 

Itulah sebabnya orang Jawa punya falsafah ‘’sepi ing pamrih, rame ing gawe’’, bekerja keras tanpa mengharap imbalan tertentu.

Dalam politik kekuasaan pun demikian. Seseorang yang terlihat berambisi dianggap tidak baik karena punya pamrih. 

Hal ini berkebalikan dengan konsep barat yang menganggap ambisi sebagai hal yang positif. 

Ambisi bahkan dianggap bagian dari dorongan kemajuan untuk mencapai prestasi. 

Ben Anderson dalam bukunya ‘’Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia’’ (1990) mengupas tuntas konsep kekuasaan dalam perspektif budaya Jawa. 

Konsep Kuasa dalam budaya Jawa berbeda dengan konsep yang berkembang di Barat. 

Konsep Barat tentang kekuasaan merupakan suatu abstraksi yang memaparkan hubungan-hubungan sosial, kekuasaan dipercaya sebagai sesuatu yang diturunkan dari berbagai sumber, kekuasaan juga tidak memiliki batasan, dan secara moral kekuasaan bersifat ambigu. 

Dalam konsep Jawa, kekuasaan adalah sesuatu yang nyata, homogen, jumlah keseluruhan tetap, dan kekuasaan tidaklah mempertanyakan legitimasi. 

Dalam tradisi Jawa ada du acara untuk memperoleh kuasa, yaitu melalui tradisi ortodoks dengan tapa laku untuk menyeimbangkan diri dengan kekuatan alam semesta misalnya bermeditasi di hutan atau di tempat terpencil. 

Power dalam bahasa Inggris, oleh Anderson diterjemahkan sebagai Kuasa dengan K besar dan kasekten dalam bahasa Jawa—bisa juga didapat melalui tradisi heterodoks. 

Dalam tradisi ini, Kuasa didapat dengan cara pengacau-balauan indera secara sistematis seperti mabuk, mengumbar seks, dan pembunuhan ritual. 

Tradisi heterodoks lebih ke tujuan untuk berkonsetrasi tanpa gangguan karena telah menuntaskan gairah-gairah yang tersimpan. 

Kebiasaan Presiden Soekarno sebagai ‘’womanizer’’ atau playboy adalah bagian dari ritus Kuasa. Seseorang yang mempunyai kekuatan seksual tertentu dianggap mempunyai kuasa tertentu pula.

Selain itu seseorang yang memiliki kuasa harus memiliki benda-benda atau orang-orang yang juga memiliki kesaktian, hal tersebut berguna untuk menambah kesaktian dirinya sendiri dan akan menguntungkan secara politis.

Tanda-tanda yang dimiliki seorang yang memiliki kuasa dapat dilihat dari kemampuannya untuk mengakumulasi kuasa dalam dirinya, menyerap kuasa dari luar dan mengonsentrasikan ke dalam dirinya. 

Seorang dapat memiliki kuasa jika dia memiliki cahaya ilahiah atau wahyu. 

Wahyu yang dimaksudkan diibaratkan sebuah benda bersinar berasal dari langit yang jatuh kepadanya sebagai tanda pemindahan kekuasaan. 

Diceritakan bahwa ketika Amangkuran III meninggal dunia alat vitalnya berdiri tegak dan terlihat ada sinar di ujungnya sebesar merica. 

Pangeran Puger melihat hal itu dan menghisap cahaya itu sehingga dia mendapatkan wahyu kedaton dan menjadi penguasa kerajaan.

Selain wahyu, seorang penguasa juga dapat dilihat dari teja atau pancaran cahaya atau nur yang ada di dalam dirinya. 

Seorang pemimpin yang bersinar wajahnya dianggap memancarkan wajah kekuasaan. 

Seorang pemimpin yang wajahnya muram dan suram dianggap kehilangan kasekten.

Indikator lain bahwa seseorang masih atau tidak memiliki Kuasa dapat dilihat pada kekacauan alam, banyak penyakit menyerang, kerusakan sistem nilai sosial, dan meningkatnya angka kriminalitas. 

Jika hal tersebut terjadi maka kuasa dari sang pemimpin telah berkurang. Kasus Ferdy Sambo membuat Jokowi resah karena hal itu akan merusak legitimasi kuasanya.

Dalam pergiliran kekuasaan, seseorang yang ingin menduduki penguasa tertinggi akan menggunakan legitimasi untuk menghancurkan penguasa sebelumnya.

Cara lain untuk mendapatkan giliran kekuasaan adalah pengakuan palsu yang dihubungkan dengan raja-raja terdahulu. 

Dalam pikiran orang Jawa, keturunan dari seorang yang sakti akan mendapat kesaktian dari leluhurnya sehingga ia pantas dijadikan penguasa yang selanjutnya. 

Gagasan Jawa mengenai Kuasa dapat berdampak pada konsep kedaulatan, integritas teritorial dan hubungan luar negeri. 

Dalam hal ini jangkauan Kuasa dari seorang penguasa dapat diukur dari seberapa jauh jarak warga dari pusat. 

Warga yang berada di daerah perbatasan harus memiliki hak yang sama dengan warga yang dekat dengan pusat kekuasaan. 

Kekuasaan Jawa bersifat sentrifugal atau terpusat, tidak terdesentralisasi. 

Undang-Undang Omnibus Law yang meringkus semua kewenangan dari ke pusat adalah salah satu indikator kekuasaan Jawa yang terpusat.

Ketika terjadi upaya perebutan kuasa maka tiga hal yang dilakukan seorang raja, yaitu penghancuran lawan dan penceraiberaian kekuatan lawan, penyerapan melalui tekanan diplomatik, serta cara-cara yang halus, ataupun kombinasi dari keduanya.

Jokowi sekarang tengah memainkan politik kuasa ala Jawa. Dia tidak akan melepaskan kuasa itu begitu saja, dan manuver-manuver yang dilakukan sekarang menunjukkan bahwa Jokowi berusaha untuk tetap mempertahankan kasekten supaya tetap berada pada orang yang dipilihnya. (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler