Ole Gunnar Solskjaer

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 26 September 2021 – 13:56 WIB
Ole Gunnar Solskjaer. Foto: Andrew Yates/Reuters

jpnn.com - Wajahnya sudah banyak menunjukkan kerutan ketuaan, dan sebagian rambutnya sudah memutih.

Namun, sisa-sisa wajah bayi masih terlihat jelas. Dialah Ole Gunnar Solskjaer, pelatih klub sepak bola Inggris, Manchester United.

BACA JUGA: Manchester United Kalah, Ole Gunnar Solskjaer Kecewa dengan Keputusan Wasit

Dia pernah dijuluki sebagai The Baby Faced Assassin alias pembunuh berwajah bayi pada masa-masa kejayaannya sebagai pemain.

Kini, sang bayi pembunuh itu terancam akan terbunuh kariernya sebagai pelatih.

BACA JUGA: MU Kalah dari West Ham, Ole Gunnar Solskjaer Mengaku Timnya Bermain Buruk

Namanya menjadi trending topic di seluruh dunia, setelah Sabtu (25/9) malam Manchester United dibuat malu besar karena kalah di kandang 0-1 dari Aston Villa.

Ini kekalahan kedua yang dialami MU di Old Trafford, kandangnya sendiri.

BACA JUGA: Manchester United Tekuk West Ham, Ole Gunnar Solskjaer Mulai Bicara Soal Juara

Tiga hari sebelumnya MU kalah memalukan dari West Ham United 0-1 dan tersingkir dari perebutan Piala Inggris.

Fan MU marah, tetapi masih bisa menahan diri. Namun, setelah kekalahan dari Aston Villa, kemarahan penggemar tidak bisa ditahan lagi, dan tagar #Ole-Out menjadi trending topic di seluruh dunia.

Dosa-dosa Ole tampaknya tidak bisa dimaafkan lagi oleh para penggemar fanatiknya di seluruh dunia. Di pentas kompetisi Eropa pada tengah pekan yang lalu, MU dibuat merah padam mukanya karena kalah 1-2 dari klub Swiss Young Boys.

Kekalahan di ajang Liga Champions Eropa ini betul-betul kekalahan yang memalukan, karena sebagai klub raksasa, MU dikalahkan oleh Young Boys yang kelasnya klub askring (asal keringatan).

Di laga Eropa MU masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri, karena kompetisi masih panjang. Masih ada kesempatan untuk membalas Young Boys di pertandingan leg kedua di kandang.

Namun, kekalahan dari Young Boys membawa trauma yang mengerikan, karena tahun lalu MU tersingkir dari babak awal Liga Champions gegara kalah dari klub askring Basaksehir dari Turki.

Di kompetisi Eropa tahun lalu MU berada satu grup dengan Basaksehir, RB Leipzig, dan Paris Saint Germain (PSG). Hitung-hitungan di atas kertas harusnya MU lolos dari fase grup. MU tampil bagus melawan Leipzig di kandang dan bisa mengalahkan PSG di Paris. Namun, karena memble saat melawan Basaksehir, MU gagal lolos ke fase selanjutnya.

Fan MU sangat terpukul oleh kekalahan itu. MU melorot ke kompetisi kelas dua Eropa yang dijuluki sebagai Kompetisi Jumat Malam. Itu pun sampai di final masih bernasib sial lagi. MU kalah adu penalti dari klub Spanyol, Villareal.

Trauma kekalahan dari Young Boys berkembang menjadi parno, karena di Liga Champions tahun ini MU berada satu grup lagi dengan Villareal yang menjadi momok bagi MU. Satu klub lainnya adalah Atalanta, Italia.

Dibanding tetangga dan musuh bebuyutan MU, Manchester City yang berada di grup neraka, Manchester Merah sebenarnya berada di grup terbilang enteng.

Namun, nasib buruk Ole di kancah Eropa, membuat fan MU panas dingin, ketakutan akan terulangnya trauma kegagalan musim lalu.

Jose Mourinho membawa MU menjadi kampiun Europa League pada kompetisi 2017. Itu menjadi satu-satunya piala yang direbut MU dalam delapan tahun terakhir sejak ditinggalkan pelatih legendaris Sir Alex Ferguson pada 2013.

Mourinho punya pengalaman dan punya tangan dingin dalam mengelola pertandingan kompetisi penuh maupun semi-turnamen seperti Liga Europa dan Liga Champions.

Toh, hal itu tidak bisa menyelamatkan Mou dari kursi panas kepelatihan MU. Mou dipecat di tengah jalan pada 2018. Ole muncul sebagai pelatih sementara.

MU bingung mencari pelatih. Orang-orang sekaliber Louis van Gal yang sarat pengalaman tersingkir dari kursi kepelatihan MU dalam dua tahun. Mou yang jagoan treble winner pun harus terusir dalam dua tahun.

Tidak banyak pilihan yang tersedia, MU akhirnya mengangkat Ole sebagai pelatih permanen. Penampilan MU dalam beberapa pertandingan di bawah Ole memang membaik. Namun, dalam beberapa kesempatan kelemahan taktik dan strategi Ole sering terekspos.

MU kelihatannya ingin CLBK dengan Sir Alex. Karena itu Ole diharapkan bisa membawa kembali kenangan kejayaan itu.

Musim lalu penampilan MU di kompetisi Premier League membuat penggemar senang. Mereka tidak menduga Ole bisa membawa timnya menjadi runner up di bawah tetangga berisik Manchester City.

Meski berada di nomor dua, tetapi sebenarnya kualitas dan penampilan MU masih ketinggalan kelas dari Manchester City dan arsitek Pep Guardiola.

Pepatah Inggris mengatakan ‘’second place is the first loser’’, urutan kedua adalah pecundang pertama. Itulah yang dialami Ole dan Manchester United. Ada di posisi kedua bukan berarti menjadi pemenang kedua, tetapi justru menjadi pecundang pertama.

Namun, MU masih percaya kepada Ole. Semasa 12 tahun menjadi pemain di bawah Sir Alex, Ole sering membawa keajaiban seperti bayi ajaib. Ia bukan pemain starter, tetapi sering menjadi pemain penentu kemenangan. Ole The Baby Assassin ini sekaligus menjadi Ole The Baby Luck, bayi keberuntungan.

Gol yang dibuatnya pada detik terakhir final Liga Champions melawan Bayern Muenchen membawa MU meraih treble winner pada 1999.

Kemenangan itu menjadi cerita manis dalam kenangan kolektif fan MU di seluruh dunia. Ole adalah pembawa berkah. Ole akan membawa kembali kejayaan itu. Karena itu Ole diberi kepercayaan untuk membawa MU kepada glory masa lalu.

Banyak yang mengkritik Ole karena gaya melatihnya yang adem ayem. Beda dengan Sir Alex yang berapi-api di touch line pinggir lapangan, beda dengan Mourinho yang jagoan dalam psy war, Ole tidak pernah membuat pernyataan yang tajam mengenai apa saja.

Karena itu, Ole disebut lebih pantas menjadi guru olahraga daripada menjadi pelatih MU.

Tahun ini, harapan membuncah di dada para penggemar MU. Belanja besar-besaran dilakukan MU dengan memborong tiga bintang besar.

Kedatangan Jadon Sancho dari Borussia Dortmund adalah berkah dari langit yang dinantikan selama dua tahun. Kedatangan Raphael Varrane dari Real Madrid adalah pemberian malaikat yang tidak terduga. Dan, kembalinya Cristiano Ronaldo setelah melanglang buana 12 tahun adalah laksana revelation, wahyu dari langit.

Kurang apa lagi? Ole sudah dipersenjatai dengan lengkap. Semua pandit langsung menjatuhkan pilihan kepada MU untuk menjadi juara Inggris tahun ini. MU juga dijagokan akan berbicara banyak di Liga Champions.

Itulah Mang Ole yang misterius. Dia punya Sancho yang hebat ketika main di Dortmund. Ole punya Paul Pogba yang dahsyat ketika bermain untuk timnas Prancis. Namun, di MU Pogba melempem. Sancho masih belum ketemu bentuknya. Ronaldo langsung menyetel dengan menciptakan empat gol dalam tiga pertandingan.

Kedatangan Ronaldo adalah berkah luar biasa. Dia sudah berusia 36 tahun. Teman-temannya sudah ada yang pensiun sepuluh tahun lalu, tetapi Ronaldo masih terus berlari seperti remaja ceking kurus yang menggocek dan melompati bola di Old Trafford 12 tahun yang lalu.

Ronaldo menjadi tumpuan serangan MU. Semua bola harus diberikan ke Ronaldo. Ole membangun timnya di sekitar Ronaldo.

Strategi ini dipatahkan oleh Aston Villa yang bermain ngeyel, melakukan pressure ketat di garis pertahanan tertinggi lawan. MU kelabakan dan kebingungan. Lapangan tengah MU ompong.

Ole masih percaya kepada dua gelandang Fred dan Scott McTominay sebagai dua jangkar. Dua pemain ini dianggap dua titik lemah di barisan MU.

Ole buntu akal tidak menemukan solusi dari kelemahan ini. Itulah beda Ole dari Jurgen Klopp, Thomas Tuchel, dan Pep Guardiola, yang bisa menutupi kelemahan tim dengan mengoptimalkan pemain yang ada.

Ole Out, Zidane In. atau Ole Out, Conte In.

Fans di seluruh dunia kehilangan kesabaran terhadap Ole. Zinadine Zidane mantan pelatih Real Madrid sekarang menganggur. Antonio Conte yang baru saja membawa Inter Milan scudetto juga menganggur.

Ole pun harus menghitung hari. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler