JPNN.com
Omon-Omon Pemangkasan Anggaran: Efisiensi yang Kontradiktif? - JPNN.com

Deddy Cahyadi Sunjoyo sontak menjadi buah bibir masyarakat Indonesia.

Pria yang lebih dikenal dengan nama panggungnya, Deddy Corbuzier, diangkat menjadi staf khusus Menteri Pertahanan bidang Komunikasi Sosial dan Publik pada awal pekan lalu (11/02).

BACA JUGA: Jika Dikelola Timses Prabowo dan Oligarki, Danantara Bakal Jadi Bancakan Korupsi

"Setelah dua tahun lebih bertugas di Kementerian Pertahanan @kemhanri sebagai Duta Komcad, dan bekerja bersama dengan @ditjenpothan di bawah kepemimpinan Bapak Prabowo, sejak hari ini saya akan melanjutkan tugas saya sebagai Staf Khusus Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Sosial dan Publik," kata pria yang dikenal sebagai pesulap itu dalam unggahan di Instagram @dc.kemhan.

Kepala Biro Humas Setjen Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal TNI Frega Wenas kepada wartawan mengatakan staf khusus bisa diangkat oleh Menteri Koordinator atau Menteri setelah mendapat persetujuan Presiden.

BACA JUGA: Di Tengah Isu Efisiensi Anggaran, PBSI Memastikan Program Pelatnas Tetap Berjalan

Ia juga mengatakan pengangkatan Deddy diharapkan bisa menyosialisasikan kebijakan pertahanan ke masyarakat.

Pengangkatan Deddy menarik perhatian bukan hanya karena sosok selebritinya semata, tapi dilakukan saat pemerintah sedang getol-getolnya menyuarakan efisiensi anggaran.

BACA JUGA: Kabar Prabowo Reshuffle Kabinet Rabu Ini, Ketua MPR Singgung Kewenangan Presiden

Pada 22 Januari 2025 lalu, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dan Pelaksanaan APBN 2025.

Dalam instruksi tersebut Presiden Prabowo memerintahkan setiap kementerian dan lembaga memangkas Rp256,1 triliun dari 16 pos pengeluaran, seperti alat tulis kantor, percetakan dan 'souvenir', kegiatan seremonial, dan perjalanan dinas.

Termasuk juga dana transfer ke daerah sebesar Rp50,5 triliun, totalnya mencapai Rp306,7 triliun.

"Pentingnya efisiensi belanja dan fokus penggunaan anggaran kementerian atau lembaga dan daerah untuk mendukung prioritas nasional," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani sehari setelah rapat evaluasi kinerja dan pemangkasan anggaran.Yang berkurang dan bertahan

Kementerian Pekerjaan Umum menjadi salah satu yang paling terdampak efisiensi, setelah anggarannya dipangkas dari Rp110,95 triliun menjadi Rp29,57 triliun.

Anggaran Kemenko Perekonomian juga dipotong 52,5 persen dari Rp459,76 miliar menjadi Rp218 miliar.

Kementerian Kesehatan akan mengurangi Rp19 triliun dari alokasi pagu anggarannya yang semula sebesar Rp105,7 triliun.

Tetapi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan pengurangan itu tidak akan berdampak pada pelayanan ke masyarakat.

"Yang dipotong adalah semua yang berkaitan dengan meeting-meeting, perjalanan dinas, upacara-upacara, hari-hari perayaan, itu semua dipotong 50 persen, itu sudah kami potong," kata Budi di Istana Kepresidenan Jakarta, awal bulan lalu.

Pos yang sama dengan jumlah Rp8,03 triliun atau sebesar 24 persen dari anggaran total pagu awal Rp33,5 persen juga akan dikurangi oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.  

Selain itu ada juga anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Keuangan yang ikut digunting.

Sebaliknya, ada 17 kementerian dan lembaga yang luput dari efisiensi anggaran.

Di antaranya adalah Kementerian Pertahanan (Rp166,2 triliun), Kepolisian RI (Rp126,6 triliun), Badan Gizi Nasional (Rp71 triliun), Badan Intelijen Negara (Rp7 triliun), dan Mahkamah Agung (Rp12 triliun).Efisiensi untuk bayar utang?

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira membaca alasan pemerintah melakukan efisiensi dari dua sudut pandang: utang negara dan program Makan Bergizi Gratis (MBG).

"Sebelum membiayai program-program pemerintah, memang kebutuhan paling besar saat ini adalah melakukan pembayaran utang jatuh tempo dan bunga utangnya," ujar Bhima.

Dilaporkan utang jatuh tempo pemerintah Indonesia yang harus dibayar pada tahun 2025 mencapai angka Rp800,33 triliun.

"Bunganya yang harus dibayar itu Rp550 triliun, jadi Rp1.350 triliun ... artinya ini harus dicari pendanaannya."

"Utang adalah akumulasi kegagalan sepuluh tahun terakhir yang membangun infrastruktur secara ugal-ugalan ... yang tidak punya pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, utilitasnya rendah, dan tidak berkorelasi dengan penciptaan lapangan usaha yang produktif," kata Bhima.

Upaya refinancing utang negara ini, menurut Bhima, sulit dilakukan karena situasi imbal hasil surat berharga negara untuk tenor sepuluh tahun yang terus meningkat, bahkan menyentuh angka tujuh persen.

"Itu artinya persepsi risiko terhadap kemampuan pemerintah membayar utang semakin naik ... artinya mencari pinjaman dari luar negeri hari ini dengan situasi geopolitik seperti sekarang, enggak mudah sehingga harus dicari sumber dari dalam negeri." 

"Efisiensi yang brutal dan tak ada dalam rencana" dikatakan Bhima menjadi jalan terakhir setelah rasio pajak yang tidak naik dan penerimaan pajak yang malah terhambat oleh sistem coretax.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan menambahkan pemerintah masih relatif kurang mengejar pendapatan negara, misalnya dari pajak.

"Kemarin upaya yang dilakukan untuk menaikkan PPN ke 12 persen ternyata gagal dieksekusi, ... tetapi ada sumber pendapatan lain yang sebenarnya bisa dimaksimalkan, misalnya dari pajak perusahaan besar dan pajak orang yang superkaya." 

"Atau dari penerimaan negara bukan pajak seperti sumber pendapatan dari tambang atau sawit yang sebenarnya masih bisa digali lagi," kata Misbah. Makan Bergizi Gratis yang tepat sasaran dan alternatif realokasi anggaran

Meski mengakui langkah efisiensi anggaran punya implikasi positif jika bertujuan untuk memperbaiki ruang fiskal, meningkatkan pelayanan publik, dan memperluas fungsi perlindungan sosial, CELIOS mengkritisi realokasi anggaran efisiensi sebesar Rp306,7 triliun yang disebut-sebut akan dialokasikan seluruhnya ke program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Program MBG diproyeksikan memerlukan anggaran Rp400 triliun per tahun dan diberlakukan secara universal tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi individu penerimanya.

Padahal, jika MBG dijalankan dengan targeted approach, CELIOS menghitung program itu hanya akan menghabiskan Rp117,93 triliun per tahun. 

Pendekatan MBG yang dimaksud adalah menyasar kelompok yang benar-benar membutuhkan seperti anak-anak di wilayah tertinggal, terpencil, terluar (3T), ibu hamil, serta balita yang berasal dari keluarga yang memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan, serta berada di wilayah yang rentan mengalami malnutrisi.

Berdasarkan penghitungan CELIOS, dengan alokasi anggaran Rp71 triliun saat ini untuk MBG, hanya diperlukan tambahan anggaran sebesar Rp46,93 triliun lagi.

Itu berarti, dari efisiensi anggaran per Instruksi Presiden No 1 Tahun 2025 sebesar Rp306,7 triliun, setelah dikurangi tambahan anggaran MBG yang tepat sasaran sebanyak Rp46,93 triliun tadi, masih ada sisa anggaran sebanyak Rp259,76 triliun.

Sisa anggaran Rp259,76 triliun ini menurut CELIOS dapat membiayai beberapa program lain yang berdampak luas ke masyarakat seperti Program Keluarga Harapan, Program Indonesia Pintar, Bantuan Subsidi Upah, Subsidi Pupuk, Subsidi KRL, dan BPJS Kesehatan. 

Selain itu, Misbah Hasan dari FITRA juga meminta Kementerian Keuangan dibantu oleh Bappenas betul-betul memonitor anggaran yang dipangkas oleh kementerian atau lembaga (KL), dan pemerintah daerah agar sesuai dengan 16 pos dalam instruksi presiden.

"Jangan sampai yang diefisiensikan itu justru anggaran-anggaran yang berkenaan dengan layanan publik dasar atau yang terkait dengan gaji pegawai di tingkatan bawah, mengingat proses efisiensinya ini kan diserahkan kepada KL masing-masing," kata Misbah.

Namun, Presiden Prabowo dalam pidato perayaan ulang tahun Partai Gerindra, akhir pekan lalu (15/02), mengumumkan jika pemerintah akan menggunakan efisiensi itu untuk MBG, yakni sebesar Rp24 triliun, sementara dana sisa hasil efisiensinya akan dialokasikan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang akan diluncurkan pada 24 Februari mendatang.Kontradiksi efisiensi anggaran

Lebih dalam, Misbah juga menyoroti paradoks dan kontradiksi dalam kabinet Merah-Putih dalam konteks efisiensi.

"Yang pertama, kabinet Prabowo-Gibran ini kan 'gemoy', ada 48 kementerian dan 59 wakil menteri ... itu kan gemuk, sementara negara-negara lain malah melakukan perampingan [kabinet]."

"Padahal di dalam setiap kementerian itu kan ada kebutuhan memiliki staf khusus, staf ahli, dan macam-macam yang pasti juga potensi pemborosannya luar biasa karena setiap staf khusus dan staf ahli juga membutuhkan fasilitas negara."

"Jadi saya rasa kebijakan ini kontradiktif [karena] di satu sisi struktur kementeriannya sangat gemuk, tapi di sisi yang lain ingin melakukan efisiensi," kata Misbah.

Senada dengan Misbah, Bhima Yudhistira dari CELIOS berharap ada mekanisme APBN perubahan yang lebih adil dan lebih terbuka berdasarkan kajian yang kuat.

"Kalau mau efisiensi, tentunya Kementerian Pertahanan, TNI, Kepolisian, DPR, juga harusnya menjadi target-target efisiensi yang lebih adil."

"Dan harapan lainnya adalah pemangkasan nomenklatur kementerian, penggabungan lagi misalnya kementerian lingkungan hidup dan kementerian kehutanan yang sudah dipecah, ya digabungkan lagi ... itu lebih cepat penghematannya daripada pemangkasan satu-persatu."

Misbah mengusulkan Prabowo untuk menggunakan momentum 100 hari pertama pemerintahannya untuk mengevaluasi efektivitas kinerja dan tata kelola kementerian dan lembaga dalam kabinetnya.

"Dan itu dijadikan dasar untuk reshuffle atau merampingkan kembali struktur kabinet beliau," pungkas Misbah.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Efisiensi Anggaran, Pemko Batam Pastikan Honorer Aman

Berita Terkait