Sungguh luar biasa dedikasi Azis Sappe, 45, seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Felda Sahabat, perkebunan sawit milik BUMN Malaysia ini.
Walaupun kondisi sekitarnya mencekam, Azis tetap turun ke hutan sawit. Dia mengaku harus memungut tandan-tandan buah sawit segar sebelum membusuk.
"Kalau busuk, harga jatuh. Pendapatan untuk anak-anak juga berkurang," katanya saat ditemui Jawa Pos di Felda Sahabat blok 10, kira-kira 20 km dari lokasi konflik Kampung Tanduo yang terletak di blok 17.
Nama lengkapnya Azis Sappe. Dia berasal dari daerah Lambogo, Enrekang, Sulawesi Selatan. Kemarin (06/03) dia sendirian. "Biasanya ada istri dan anak yang membantu. Tapi, sekarang takut lah. Biar saya sendiri saja," katanya.
Azis nampak semangat menancapkan tombak besinya ke tandan sawit yang masih merah kinyis-kinyis itu. Satu persatu, tandan diangkut dengan semacam traktor kecil yang juga disopirinya sendiri.
"Kalau tidak begini, pasti busuk. Lagipula pihak Felda juga sudah jamin aman dan terkawal," katanya dengan logat yang sudah ke Sabah-Sabah an.
Kawasan Felda Sahabat Lahad Datu adalah perkebunan sawit yang sangat luas. Sepanjang jalan, tampak buah-buah kelapa sawit yang siap panen. Luas kawasan yang menyumbang pendapatan daerah besar bagi Negara bagian Sabah ini mencapai 110 ribu hectare dan dibagi menjadi 48 blok.
TKI dari Indonesia yang bekerja di Felda Sahabat rata-rata berasal dari suku Bugis, dan Dayak. "Ada juga dari Jawa, tapi tak seberapa banyak," katanya.
Menurut bapak tiga anak ini pendapatannya lumayan. "Lebih kurang 1200 ringgit per bulan," katanya. Saat ini, kurs 1 ringgit sekitar Rp 3200.
Dia menolak saat Jawa Pos meminta izin untuk mendatangi istri dan anak-anaknya. "Jangan, saya tak boleh," katanya tanpa merinci alasan.
Dalam keterangan Konjen RI di Sabah Soepeno Sahid pada Jawa Pos Senin lalu, memang banyak dari keluarga TKI yang juga ikut bekerja di ladang. "Ada banyak jenis pekerjaan yang menghasilkan tambahan uang," kata Soepeno.
Misalnya, memungut biji sawit yang jatuh. Lalu, mencabuti rumput di sekitar pohon, menabur pupuk dan juga membantu proses loading seperti yang kemarin dilakukan Azis.
"Itulah mengapa minat belajar anak-anak TKI masih kurang. Sebab, oleh keluarganya mereka juga membantu bekerja. Lebih menghasilkan," kata Soepeno.
Sekitar 45 menit, traktor Azis sudah penuh. Dengan berpeluh dia pun minta diri. "Salam buat orang Enrekang ya," katanya lantas tersenyum. (rdl)
Walaupun kondisi sekitarnya mencekam, Azis tetap turun ke hutan sawit. Dia mengaku harus memungut tandan-tandan buah sawit segar sebelum membusuk.
"Kalau busuk, harga jatuh. Pendapatan untuk anak-anak juga berkurang," katanya saat ditemui Jawa Pos di Felda Sahabat blok 10, kira-kira 20 km dari lokasi konflik Kampung Tanduo yang terletak di blok 17.
Nama lengkapnya Azis Sappe. Dia berasal dari daerah Lambogo, Enrekang, Sulawesi Selatan. Kemarin (06/03) dia sendirian. "Biasanya ada istri dan anak yang membantu. Tapi, sekarang takut lah. Biar saya sendiri saja," katanya.
Azis nampak semangat menancapkan tombak besinya ke tandan sawit yang masih merah kinyis-kinyis itu. Satu persatu, tandan diangkut dengan semacam traktor kecil yang juga disopirinya sendiri.
"Kalau tidak begini, pasti busuk. Lagipula pihak Felda juga sudah jamin aman dan terkawal," katanya dengan logat yang sudah ke Sabah-Sabah an.
Kawasan Felda Sahabat Lahad Datu adalah perkebunan sawit yang sangat luas. Sepanjang jalan, tampak buah-buah kelapa sawit yang siap panen. Luas kawasan yang menyumbang pendapatan daerah besar bagi Negara bagian Sabah ini mencapai 110 ribu hectare dan dibagi menjadi 48 blok.
TKI dari Indonesia yang bekerja di Felda Sahabat rata-rata berasal dari suku Bugis, dan Dayak. "Ada juga dari Jawa, tapi tak seberapa banyak," katanya.
Menurut bapak tiga anak ini pendapatannya lumayan. "Lebih kurang 1200 ringgit per bulan," katanya. Saat ini, kurs 1 ringgit sekitar Rp 3200.
Dia menolak saat Jawa Pos meminta izin untuk mendatangi istri dan anak-anaknya. "Jangan, saya tak boleh," katanya tanpa merinci alasan.
Dalam keterangan Konjen RI di Sabah Soepeno Sahid pada Jawa Pos Senin lalu, memang banyak dari keluarga TKI yang juga ikut bekerja di ladang. "Ada banyak jenis pekerjaan yang menghasilkan tambahan uang," kata Soepeno.
Misalnya, memungut biji sawit yang jatuh. Lalu, mencabuti rumput di sekitar pohon, menabur pupuk dan juga membantu proses loading seperti yang kemarin dilakukan Azis.
"Itulah mengapa minat belajar anak-anak TKI masih kurang. Sebab, oleh keluarganya mereka juga membantu bekerja. Lebih menghasilkan," kata Soepeno.
Sekitar 45 menit, traktor Azis sudah penuh. Dengan berpeluh dia pun minta diri. "Salam buat orang Enrekang ya," katanya lantas tersenyum. (rdl)
Redaktur : Tim Redaksi