Oposisi Perlu Tahu Cara Mengkritik dengan Tak Langgar Aturan, Begini

Kamis, 17 Juni 2021 – 20:55 WIB
Pengamat Kebijakan Publik Dr Trubus Rahardiansyah. ANTARA/HO

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menilai perlu peran berbagai pihak agar masyarakat semakin dewasa dalam berdemokrasi.

Menurutnya, ada sejumlah cara untuk menyampaikan kritikan dengan tidak melanggar aturan.

BACA JUGA: Persebaran COVID-19 Tinggi, RS tak Muat Lagi, Gebrakan Nusron ini Patut Ditiru!

Namun, agar seluruh lapisan masyarakat dapat mengedepankan etika kesantunan publik, perlu edukasi kepada masyarakat.

Trubus menilai edukasi sangat diperlukan sehingga seluruh lapisan masyarakat memahami pentingnya menempatkan persoalan aspek-aspek membangun kebersamaan, toleransi, mendekati empowerment atau memberdayakan masyarakat.

BACA JUGA: Kasus COVID-19 Melonjak, Kantor Pemerintahan Tutup Sementara? Tjahjo Jawab Begini

"Kondisinya masyarakat kita ada yang minim literasi karena memang pendidikannya kurang dan masyarakat yang memiliki literasi yang baik. Nah ini bagaimana disinergikan, jadi memberdayakan mereka supaya saling bersinergi,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu dalam keterangannya, Kamis (17/6).

Trubus kemudian menyebut, sangat penting kritik tidak berisi ujaran kebencian atau hate speech.

BACA JUGA: Mendagri Sebut Dana Otsus Papua Perlu Ditambah Jadi Sebegini

Selain itu, juga jangan mengarah kepada personel atau menyebut nama seseorang entah itu presiden atau siapa.

Karena ujungnya dapat menjadi penghinaan dan pencemaran nama baik.

Jadi, kritik itu harus menekankan kepada perbaikan-perbaikan.

“Kritik juga harus menegakkan solusi yang mana bahasa kerennya itu kritik yang solutif. Jadi, kritik solutif itu kritik yang memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan yang ada,” katanya.

Trubus lebih lanjut mengatakan, kelemahan dari kebanyakan kritikan selama ini, cenderung menempatkan persoalan-persoalan dan tidak solutif.

Baik kritikan yang dikembangkan oleh buzzer-buzzer maupun yang dilakukan oleh sebagian akademisi dan para LSM.

“Lebih kepada kepentingan-kepentingan saja. Ketika mereka diminta menjelaskan secara rinci atau mendeskripsikan persoalan yang disampaikan, kebanyakan tidak menguasai dan tidak memiliki data,” katanya.

Selain kritik, Trubus menilai masukan juga sangat penting untuk dipakai merumuskan suatu policy atau kebijakan yang sifatnya proporsional, berkeadilan dan kepastian hukum.

Karena itu, menurutnya, perlu suatu edukasi kepada mereka-mereka yang suka memberikan kritikan terutama kelompok oposisi.

“Karena sifat budaya kita yang patron-klien, maka patronnya atau tokohnya dulu yang harus dibenahi. Jadi nanti publiknya atau kliennya atau pendukungnya otomatis akan terbawa atau terbenahi pada situasi track record yang menjunjung namanya perbedaan atau toleransi,” katanya.

Menurut Trubus, harus juga ditekankan agar persoalan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, antargolongan (SARA) serta ujaran kebencian yang berbau penghinaan, pencemaran, berita bohong dan hasutan, ditempatkan pada tataran memberikan suatu pemahaman, bahwa itu adalah hal yang negatif.

”Kelompok-kelompok kepentingan ini yang harus diberikan suatu edukasi atau pemahaman yang sama atau yang tunggal tentang pentingnya melakukan kritik yang konstruktif."

"Sehingga kebijakan yang dibuat itu nanti merupakan kebijakan yang betul-betul mewakili kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak,” katanya pula.

Selama ini, lanjutnya, kritik-kritik yang ada ini sering dipahami oleh masyarakat yang awam itu pada tataran membangun emosi.

“Ini yang menurut saya harus segera dilakukan langkah-langkah dengan melakukan maping atau memetakan persoalan-persoalan yang dilakukan dengan cara turun ke bawah yang dalam istilahnya grounded riset."

"Jadi melakukan riset penelitian ke masyarakat bawah atau akar rumput. Masyarakat akar rumput ini diberikan penjelasan dan pemahaman,” pungkas Trubus.(Antara/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler