Obat dalam bentuk sirop selama ini mungkin dikenal sebagai sahabat orangtua yang praktis dan efektif saat anak, terutama balita, sakit karena selain mudah dicerna, rasanya juga tidak pahit.
Namun, dua minggu belakangan ini obat sirop adalah hal yang menakutkan, setelah Kementerian Kesehatan melarang semua apotek menjual segala merk dan jenis obat sirop.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Selesaikan Pembelian Twitter, Elon Musk Langsung Pecat Beberapa Petingginya
Langkah konservatif ini diambil pemerintah Indonesia setelah 141 anak sepanjang tahun ini meninggal dunia karena gagal ginjal akut yang penyebabnya misterius.
“Jadi pada September, kita bingung juga ada kasus acute kidney injury yang naiknya pesat, menyerang anak-anak, sangat mematikan, tapi bukan disebabkan patogen … yang membuka mata kami adalah kasus di Gambia,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
BACA JUGA: Curhat: Kata dalam Bahasa Indonesia yang Jadi Favorit Orang Australia
Menkes memastikan meski sumber obat yang dikonsumsi para pasien di Indonesia dan Gambia berbeda, ada benang merah antara kasus di kedua negara yakni senyawa yang terkandung di dalam obat, yaitu ethylene glycol (EG) dan diethylene glycol (DEG).
"Sumber obatnya enggak sama, tapi sumber senyawa kimianya yang sama, yaitu EG dan DEG," sebut Menkes.
BACA JUGA: Kasus Gagal Ginjal Anak Terus Meningkat, Dinkes: Hanya Ada 3 Dokter Spesialis di Jakarta
“Apa sudah pasti [kedua senyawa itu penyebabnya]? Sekarang sudah jauh lebih pasti dibanding sebelumnya karena memang terbukti darah anak-anak mengandung senyawa ini.”
Etilen glikol dan dietilen glikol sendiri adalah kontaminan dari bahan baku obat seperti propilen glikol, gliserin, dan polietilen glikol yang berfungsi sebagai pelarut pada obat sirop.
Menurut Dr Anis Yohana Chairunissa, guru besar farmasi di Universitas Padjadjaran, kontaminan yang terdeteksi dalam produk akhir obat jumlahnya tidak boleh melebihi batas ambang aman, yakni 0,1 persen pada bahan gliserin dan propilen glikol dan 0,25 persen pada polietilen glikol.
Sejauh ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan ada lima obat sirop batuk dan demam yang mengandung kadar etilen glikol di atas ambang batas, sementara sekitar 150 obat lainnya telah dinyatakan aman sambil pengujian terus berjalan.
Namun, temuan tersebut bukan otomatis berarti obat sirop memiliki keterkaitan langsung dengan gagal ginjal akut pada anak.
"Karena tugas kami menunjukkan mana yang memenuhi standar, aman, dan mana yang melebihi standar dan tidak aman. Hanya itu saja," kata kepala BPOM Penny Lukito.
Hubungan antara sirop obat dan gagal ginjal akut yang inkonklusif inilah yang mengganggu dan menjadi ganjalan hati sebagian orangtua yang telah kehilangan anaknya.Ganjalan dan pertanyaan dari orangtua
“Maaf ya baru bisa diwawancarai sekarang,” kata Agustina Maulani di ujung sambungan telepon.
Suaranya terdengar letih.
“Hari ini tepat dua bulan meninggalnya Azea, jadi tadi kami pergi berziarah ke makamnya,” sambungnya.
Nadira Azea Almaira, anak semata wayang Ms Maulani, adalah satu di antara 141 anak Indonesia yang meninggal dunia sepanjang tahun ini karena gagal ginjal akut.
Usianya baru 17 bulan.
Agustina mengatakan, semuanya berawal saat Azea demam pada 10 Agustus lalu.
Ia kemudian membawanya ke Puskesmas.
“Di sana ia diberi paracetamol sirop dan dicek darahnya, jaga-jaga jika terjangkit demam berdarah atau typhus. Tapi semua hasil cek darahnya normal, jadi saya enggak khawatir.”
Ia juga mengikuti saran dokter yang memperbolehkannya memberi sirop paracetamol setiap 4 jam, maksimal selama 2 kali 24 jam. Azea pun berangsur pulih.
Namun, enam hari kemudian Azea kembali demam tinggi, kali ini disertai dengan tidak buang air kecil meski minumnya masih normal.
Agustina segera membawanya ke rumah sakit, namun petugas yang memeriksa mengatakan anaknya hanya demam biasa dan menyuruhnya pulang.
Hal yang sama terulang lagi. Demamnya turun sejenak, lalu kembali naik.
“Saya ke rumah sakit lagi soalnya dia demam tinggi, kaki dan tangannya udah dingin, dan dia belum juga buang air kecil, saya lihat bibirnya biru.”
Namun karena merasa rumah sakit pertama tidak cepat tanggap menangani kondisi putri kecilnya, Agustina berinisiatif mencari rumah sakit lain, tapi kebanyakan penuh.
“Baru di rumah sakit yang keenam Azea dapat tempat dan ditangani dengan serius, kemudian dirujuk ke rumah sakit besar dengan fasilitas PICU.”
Setelah delapan hari dirawat, lima hari di antaranya menggunakan ventilator, Azea akhirnya meninggal dunia.
“Hati saya hancur, saya hanya bisa mendekapnya 17 bulan saja setelah penantian panjang kami bisa punya anak,” tutur Ms Maulani yang baru hamil Azea pada tahun ketujuh pernikahannya.
Kisah yang hampir serupa juga dituturkan seorang ibu yang lain, Marvina Novianti.
Anak bungsunya, Viendra Adnan Prawira, yang baru berusia 10 bulan meninggal dunia pada 20 September lalu setelah dinyatakan gagal ginjal akut.
"Sejak dia lahir nggak ada masalah dengan kesehatannya ... hanya pada akhir Juli ia batuk, pilek, dan demam."
Sama seperti Azea, Adnan juga dibawa ke Puskesmas.
"Ia diberikan paracetamol drop yang diminumkan dengan pipet dan obat puyer untuk batuk pileknya."
Sampai obatnya habis, kondisinya tidak membaik tapi juga tidak memburuk sehingga Marvina berinisiatif membeli obat sirup yang dijual bebas (belakangan obat ini juga tidak dikategorikan mengandung senyawa pencemar di atas ambang batas).
Akhir Agustus Marvina membawa anaknya ke dokter anak karena melihat kondisi Adnan yang memburuk karena nafasnya sesak, tidak bisa pipis dan akhirnya dirujuk ke rumah sakit dengan vonis gagal ginjal.
Setelah sempat empat kali cuci darah dan dalam keadaan koma dengan ventilator selama 13 hari, Adnan meninggal.
"Ada yang mengganjal ... sebelum diijeksi, badan anak saya enggak ada pembengkakan sama sekali, tapi pas diinjeksi di rumah sakit badannya langsung bengkak."
Senada dengan Marvina, Agustina Maulani juga masih dihantui rasa ingin tahu penyebab gagal ginjal anaknya.
“Sehari-hari ia hanya minum ASI, air putih kemasan, dan makan makanan pendamping ASI yang saya buat sendiri.”
“Dia tidak saya berikan makanan sembarangan, paling hanya biskuit atau snack khusus balita tapi itu pun sesekali saja.”
“Sirop paracetamol yang ia minum kan [sudah diumumkan] aman. Jadi apa penyebab gagal ginjalnya?”Dugaan awal sempat mengarah ke efek long covid
Sebelum Kementerian Kesehatan menyelidiki etilen glikol pada obat sirop sebagai penyebab kasus gagal ginjal akut pada anak, sebuah tim beranggotakan dokter anak lintas spesialisasi, mulai dari ahli paru sampai ahli ginjal telah lebih dulu meneliti kemungkinan-kemungkinan penyebab lainnya.
Professor Sudung Pardede, ahli ginjal anak dari Universitas Indonesia tergabung dalam tim itu.
Ia mengatakan salah satu dugaan awal mereka berhubungan dengan COVID-19, apalagi karena sekitar 70 persen kasus pasien gagal ginjal akut anak punya antibodi COVID-19.
“Awalnya memang kita kaitkan dengan COVID karena masa pandemi, … memang ada multisystemic inflammatory in children tapi setelah kami kaji secara ilmiah dengan infeksi COVID, kami tidak bisa membuktikan kaitannya.”
“Kami kemudian mencari kemungkinan infeksi yang lain melalui pemeriksaan darah, saluran pencernaan, juga pernafasan … hasilnya ada berbagai macam infeksi, ada virus, ada bakteri leptospira, tapi itu pun hasilnya tidak konklusif sehingga kemungkinan ini juga kami kesampingkan.”
Dr Sudung mengatakan setelah kemungkinan-kemungkinan ini dipinggirkan, barulah kemungkinan keracunan obat-obatan diteliti dan ditemukan kasus serupa di Gambia.
Menteri Kesehatan pekan ini mengatakan berdasarkan penemuan zat kimia di pasien dari bukti biopsi ginjal dan zat kimia di obat-obatan di rumah pasien, “kami menyimpulkan penyebabnya adalah cemaran dari pelarut ini.”
Namun Dr Sudung mengatakan temuan ini juga belum bisa membuktikan ada keterkaitan langsung antara sirop obat dan kasus gagal ginjal akut pada anak.
“Ini masih hasil sementara, belum bisa kami pastikan karena penelitian masih berlangsung.”
Ia mengingatkan, penyakit gagal ginjal akut ini bukan penyakit yang baru dan ada banyak penyebab lain selain keracunan etilen glikol, misalnya dehidrasi yang membuat aliran darah ke ginjal turun atau kelainan pada organ ginjal itu sendiri.
Sehingga, menurut dia, jika sirop obat yang diminum anak telah dipastikan aman dari cemaran etilen glikol, perlu lagi diteliti lebih jauh kemungkinan penyebab lainnya.Kenapa baru sekarang?
Marvina Novianti juga mempertanyakan kenapa lonjakan kasus baru terjadi sekarang, padahal merek-merek obat sirup tersebut sudah eksis berpuluh-puluh tahun.
Dr Anis berpendapat, meski merek-merek itu sudah ada sejak lama, bukan berarti mereka selalu memakai pemasok bahan baku obat yang sama.
“Mungkin saja pemasok bahan baku obat mereka berubah, dan kadar etilen dan dietilen pada bahan baku propilen glikol dari si pemasok yang baru ini kadarnya lebih tinggi.”
Ia mengatakan, seharusnya perusahaan farmasi menjadi entry point pertama quality control kadar cemaran ini sebelum digunakan membuat obat.
“Fungsi pengawasan selanjutnya ketika produk obat sudah jadi tentu saja ada di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).”
BPOM sebelumnya mengatakan tidak pernah melakukan pengujian terhadap kadar etilen glikol dan dietilen glikol dalam obat-obatan.
“Sampai saat ini di dunia internasional belum ada standar yang untuk mengatakan untuk diuji. Itulah kenapa kita tidak pernah menguji karena memang belum dilakukan di dunia internasional pun … karena itu standar pengujian terhadap kedua kandungan tersebut akan dikembangkan, sehingga menjadi bagian dari sampling rutin BPOM.”
“Saya mengapresiasi ukuran yang telah ditetapkan BPOM untuk menjaga industri farmasi dan memastikan produk yang aman,” tutur Dr Anis.
Ia juga berharap BPOM tetap konsisten mengawasi tanpa harus ada insiden terlebih dahulu.
Dr Anis juga mengingatkan, batas ambang batas aman dalam obat sirop sangat berkaitan dengan dosis yang diminum.
“Ia hanya aman jika diminum sesuai aturan atau dosis yang disarankan.”
“Jadi meskipun dokter menyarankan boleh mengonsumsi paracetamol setiap 4 jam, mungkin untuk saat ini jangan dulu mengambil risiko dan tetap minum 3 kali sehari saja … sebab yang dikonsumsi bukan paracetamol murni, melainkan paracetamol yang sudah dilarutkan dan mengandung kontaminan tadi.”
Untuk menangani pasien gagal ginjal akut karena keracunan etilen glikol, sebanyak 26 vial obat Fomepizole, antidotum atau penawar untuk mengobati keracunan metanol dan etilen glikol dari Australia dan Singapura telah didatangkan pekan ini.
“Fomepizole bukan obat gagal ginjal … ia membantu pasien dengan gangguan ginjal akut yang disebabkan senyawa tersebut, tidak akan ada efeknya jika penyebabnya bukan itu,” kata Dr Sudung Pardede yang optimistis jawaban yang lebih pasti mengenai kasus gagal ginjal akut pada anak Indonesia ini akan segera ditemukan.
Artikel ini juga tersedia dalam versi bahasa Inggris.
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dinkes DKI Jakarta: 135 Anak Terkena Gagal Ginjal Akut Misterius