Organik Terjal

Oleh Dahlan Iskan

Kamis, 27 Februari 2020 – 10:30 WIB
Dahlan Iskan bersama Hanjar Lukitojati (kiri) dan timnya yang penuh semangat. Foto: disway.id

jpnn.com - Ternyata Indonesia memang sudah bisa ekspor beras. Ironi tetapi nyata. Ekspor itu ternyata dari Desa Kebon Agung, Sidoharjo, Wonogiri.

”Tadi malam kami kerja sampai larut malam. Menaikkan beras ke kontainer,” ujar Mahmudsyah dalam WA-nya kepada saya kemarin.

BACA JUGA: Kapitalis Tani

Mahmudsyah adalah staf PT Pengayom Tani Sejagad. Yang diekspor itu adalah beras organik. Hanya beras organik.

Itulah beras hasil kerja 1.600 petani organik di Wonogiri. Yang tergabung dalam Asosiasi Petani Organik. Yang asosiasi itu menjadi pemegang saham 50 persen PT Pengayom.

BACA JUGA: Dividen Cashback

Ini adalah tahun kedua PT Pengayom ekspor beras. Tahun lalu jumlah ekspornya 160 ton. Tahun ini naik menjadi 230 ton. Itu sesuai dengan komitmen yang datang dari Amerika, Singapura, dan Prancis.

Saya sungguh angkat topi --belakangan saya memang sering bertopi-- pada kemampuan ekspor petani Wonogiri itu.

BACA JUGA: Profesor Petani

Jumlah ekspornya tidak penting bagi saya. Namun bahwa bisa sampai ekspor, itu tidak mudah. Mencari partnernya tidak mudah. Merintisnya tidak mudah.

Memenuhi persyaratannya tidak mudah. Administrasi ekspornya njelimet.

Walhasil mereka membuktikan diri bisa ekspor. Kita-kita pengusaha yang mengaku lebih terpelajar tentu malu dengan para petani itu.

”Pernah sekali waktu kami kena komplain. Ditemukan batu kerikil satu buah di beras kami,” ujar Mahmudsyah. ”Kami pun menelusuri asal usul batu kecil itu. Rasanya tidak mungkin. Kami sudah memasang saringan di proses pengepakan beras kami,” ujarnya.

Akhirnya ditemukan. Ada orang masuk gudang tanpa lepas sepatu.

”Sejak itu pengawasan yang masuk ke sini sangat ketat,” tambahnya. ”Setelah kami bisa menjelaskan asal usul batu itu akhirnya kami tidak diklaim,” katanya.

Satu batu kerikil pun sudah akan bisa menjegal mereka. Apalagi kalau ada batu sebesar sembilan naga. ”Sejak itu tidak pernah ada lagi masalah,” katanya.

Merintis pasar ekspor memang sulit. Namun lebih sulit lagi saat meyakinkan petani --agar mau beralih ke tanaman padi organik.

Perintis utamanya adalah almarhum Pak Budi, ayahanda Hanjar Lukitojati, direktur PT Pengayom itu. Pak Budi hanya petani tamatan SD, tetapi ia menemukan ramuan pupuk cair pada zamannya.

Almarhum adalah tipe petani yang sangat prihatin atas kian luasnya tanah pertanian yang mati --akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan. Pak Budi punya keinginan menghidupkan kembali tanah mati itu --lewat pupuk kandang dan pupuk cair organik bikinannya.

Waktu itu Hanjar masih sekolah di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Tidak bisa membantu ayahnya merealisasikan ide-ide mulianya itu.

Namun almarhum menemukan anak muda lulusan STM yang mau dibina. Namanya Harjanto.

Waktu tamat STM Harjanto jadi sopir Suzuki Carry. Tugasnya mengantar penumpang bus yang baru turun dari Jakarta untuk ke kampung masing-masing.

Zaman itu, kata Harjanto, bisa mengemudikan mobil jadi pujaan gadis-gadis desa. Akhirnya ia kawin dengan gadis Kebon Agung, tetangga desanya.

Tugas Harjanto adalah mencari petani yang mau pindah dari pupuk kimia. ”Sulit sekali. Petani selalu bilang, kalau hasil panennya merosot siapa yang menanggung,” ujar Harjanto.

Akhirnya Pak Budi bikin jaminan. ”Setiap penurunan hasil panen ditutup oleh Pak Budi,” kenang Harjanto.

Didapatlah tiga petani di desa Kebon Agung. Masing-masing punya sawah 3.000 meter persegi. Mereka diajari cara-cara bertani organik.

Misal: sebelum tanah dibajak oleh traktor dihamburi dulu pupuk kotoran sapi.

Hasilnya: panen mereka turun 50 persen.

Biasanya 10 ton tinggal 5 ton.

Pak Budi pun membeli hasil itu dengan harga yang sama dengan 10 ton gabah padi biasa.

Tahun berikutnya bisa naik sedikit. Tahun ketiga baru bisa 8 ton. Pak Budi terus membelinya dengan harga 10 ton gabah biasa.

Delapan ton itulah hasil terbesarnya. Tidak pernah bisa sama: 10 ton.

Namun karena harga beras organik 2,5 kali harga beras biasa hasil rupiahnya sudah jauh lebih besar. Saat itulah Pak Budi terbebas dari menyubsidi petani.

Hasil yang nyata itu mulai menarik perhatian petani lain. Anggota petani organik kian banyak.

Namun Pak Budi keburu meninggal dunia. Hanjar masih belum tamat sekolah.

”Kegiatan kami sempat terhenti tiga tahun,” ujar Harjanto. 

Setelah tamat dari Gontor barulah Hanjar meneruskan rintisan bapaknya. Itu pun harus molor: Hanjar harus mengabdi dulu sebagai guru di Bogor --sesuai doktrin Pondok Gontor.

”Sebenarnya saya sudah mendaftar di IPB, tetapi enggak jadi. Kegiatan bapak saya sudah vakum terlalu lama,” kata Hanjar.

Prestasi Hanjar pasti membuat haru bapaknya --meski tidak sempat melihatnya. Mulailah dibentuk asosiasi petani organik. Kini anggotanya sudah 1.600 petani.

Kuncinya adalah keyakinan: tanah mati bisa dihidupkan. Pupuk kimia bisa diganti pupuk hasil ternak petani sendiri. Tani organik bisa lebih menguntungkan.

Namun memang ada biaya transisi: tiga tahun pertama itu. Saat hasil panen petani menurun sementara itu.

Memang begitu terjal awalnya. Namun begitu luhur hasilnya.(***)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler