Pajak dan Cukai Rokok untuk Batasi Peredaran

Kamis, 12 September 2013 – 16:36 WIB
Para saksi ahli yang dihadirkan pemerintah pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (12/9). Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kalimantan Selatan (Kalsel), Gustafa Yandi, mengatakan bahwa kebijakan pajak rokok dalam UU No 28/2009 memberi angin segar kepada pemerintah daerah. Sebab jika UU itu diberlakukan, pemerintah mendapatkan sekitar 100 triliun dari pungutan pajak tersebut.

"Dengan rasio jumlah penduduk 1,5 persen dari total nasional, maka pajak rokok itu memberikan tambahan penghasilan sekitar Rp140-150 miliar. Jika UU ini dibatalkan, maka kami kehilangan harapan tambahan pendapatan sebesar itu," kata Gustafa Yandi saat memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan pemerintah pada persidangan Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (12/9), yang dimohonkan sejumlah tokoh antara lain Hendardi, Mulyana W Kusumah, Neta S Pane dan Aizuddin. UU No.28/2009 ini sendiri baru akan diberlakukan pada 1 Januari 2014 mendatang.

BACA JUGA: Menteri Belum Siap atau SBY yang Sibuk?

Di hadapan persidangan yang dipimpin Ketua MK Akil Muchtar itu, Gustafa Yandi menyebutkan, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, Kalsel menduduki peringkat kedua di Indonesia setelah Provinsi Bangka Belitung dalam hal jumlah rata-rata penduduk yang merokok lebih dari 30 batang per hari. Di Kalsel, rata-rata penduduk yang merokok lebih 30 batang per hari mencapai 7,9 persen, sedangkan di Bangka Belitung mencapai 16,2 persen.

"Hasil riset tersebut juga menyebut 18 ribu perokok anak di Kalsel dengan usia 5-9 tahun. Prevalensi perokok di Kalsel mencapai 30,5 persen, hampir sama dengan angka nasional sebesar 34,7 persen," tambahnya.

BACA JUGA: Survei SSSG, Dahlan Iskan Paling Layak jadi Capres Demokrat

Yandi menambahkan, Pemerintah Kalsel memerlukan dukungan pendanaan yang besar di bidang kesehatan, khususnya untuk meminimalisasi dampak konsumsi rokok, baik terhadap perokok aktif maupun perokok pasif.

Sementara itu, Pakar Ekonomi Publik Universitas Andalas Padang, Dr Hefrizal Hendra mengatakan manfaat sosial ekonomi dari lapangan pekerjaan yang disediakan Industri rokok jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak negatifnya kepada rakyat secara umum. Dampak negatif secara sosial dan ekonomi dari industri rokok itu justru  harus ditanggung perokok aktif dan pasif.

BACA JUGA: Kemenkeu Buka Lowongan 6 Ribu CPNS

Hefrizal menambahkan, semakin banyak orang yang merokok, maka beban pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan semakin tinggi. "Karena itu, kebijakan pengenaan pajak untuk meningkatkan harga rokok agar peredarannya bisa dibatasi adalah sangat tepat. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku 1 Januari 2014 itu malah terlalu kecil, hanya 10 persen. Mestinya lebih, agar harga rokok semakin mahal," kata Hefrizal.

Menurut Hefrizal Handra, rokok yang dijadikan objek pajak dalam pasal tersebut merupakan barang konsumsi pribadi (privat good) yang bukan termasuk kebutuhan dasar. Rokok lebih banyak memberikan akibat buruk kepada orang yang mengkonsumsinya. Karena itu, perlu ada pembatasan agar tidak merusak masyarakat secara umum.

Guru Besar Pajak Universitas Indonesia (UI), Prof Gunadi juga menyampaikan hal senada. Ia menilai dampak negatif rokok tidak hanya terjadi pada daerah penghasil rokok atau tembakau, tetapi juga dialami daerah lainnya.

Karena itu, pajak rokok digunakan sebagai retribusi tambahan. "Yang nantinya digunakan untuk pemenuhan pelayanan publik sebagai dampak negatif dari rokok, yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan serta penanganan hukum," ucapnya.(fuz/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penembak Polisi Sengaja Ingin Ekspose


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler