Pajak Kota Bogor Lenyap Rp12 miliar

Jumat, 31 Mei 2013 – 08:36 WIB
BOGOR–Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencium ketidakberesan pengelolaan pajak di Pemerintah Kota Bogor. Tak main-main, penyimpangan pajak yang terendus mencapai Rp12 miliar. Uang sebanyak itu seharusnya menjadi optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bogor 2012. Dari jumlah tersebut, Rp10,9 miliar diduga akibat kelalaian Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor.

BPK perwakilan Jawa Barat juga menemukan penyimpangan lainnya sebesar Rp1,1 miliar. Itu menjadi tanggung jawab sejumlah organisasi perangkat daerah, di antaranya Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Bogor, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor, dan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPT-PM) Kota Bogor.

Tak sampai di situ, BPK mencatat sejumlah tunggakan pajak daerah sebesar Rp778,7 juta dan denda keterlambatan pembayaran sebesar Rp154 juta belum tertagih. Jumlah tunggakan pajak daerah paling besar bersumber dari pajak hotel sebesar Rp388 juta. Sebanyak Rp690 juta sisanya, terdiri dari tunggakan pajak restoran Rp98 juta, pajak air tanah Rp202 juta, pajak hiburan Rp10 juta, dan pajak parkir Rp78 juta. Sedangkan denda keterlambatan sebesar Rp154 juta itu berasal dari sanksi administratif sebesar 2 persen per bulan.

Selain penunggakan, pelaporan potensi dari wajib pajak (WP) pun rawan penyimpangan. Adanya dugaan kongkalikong antara WP dengan petugas penakar potensi pajak rawan dilakukan pada penetapan pembayaran pajak reklame, pajak parkir, pajak restoran, dan pajak hiburan.

Sumber Radar Bogor (Grup JPNN) menyebutkan, pembiaran dari petugas saat WP melaporkan potensi pajak dengan nilai sangat rendah patut dicurigai. Sangat memungkinkan adanya "main mata" untuk menekan besaran pajak yang harus dibayarkan.

“Misalnya, parkiran sebuah mal memiliki omzet Rp1,2 miliar per bulan. Dengan pajak parkir 20 persen, seharusnya minimal Rp240 juta. Tapi, hanya dibayarkan Rp90-150 juta per bulan. Selisihnya, bisa saja dinegosiasikan di bawah meja,” terang sumber dari lingkungan Pemkot Bogor itu.

Buktinya, BPK menemukan lima WP yang memiliki potensi pajak parkir tidak wajar, di antaranya Pasar TU Kemang, Koperasi Pegawai PT KAI, dan sejumlah jasa penitipan motor di lingkungan Stasiun Bogor. Setelah dilakukan uji petik, akhirnya ketahuan ternyata mereka hanya melaporkan 10-30 persen omzetnya.

Yang hingga kini belum terselesaikan, terjadi pada sebuah restoran berinisial WMA. WP tersebut hanya melaporkan sekitar 10 persen dari omzetnya, sekitar Rp80 jutaan. Padahal, setelah diuji petik omzetnya melebihi Rp800 juta, sehingga selisihnya sekitar Rp720 jutaan.

Selisih omzet itu membengkak selama enam bulan menjadi Rp5,2 miliar. Dengan begitu, potensi pajak restoran yang menguap selama satu semester itu sekitar Rp520 juta. Itu baru satu restoran.

Ketua Komisi B DPRD Kota Bogor, Muaz HD, menduga kongkalikong itu sangat mungkin terjadi. “Sudah jadi rahasia umum, kalau PAD Kota Bogor masih belum optimal dibandingkan potensinya. Harusnya bisa dua atau tiga kali lipat dari PAD sekarang yang hanya Rp300 miliar,” terangnya.

Kendati belum memiliki data mengenai dugaan "main mata" antara WP dengan petugas, lanjut Muaz, Komisi B akan meninjaklanjuti temuan BPK dengan menggelar rapat klarifikasi bersama Dispenda Kota Bogor. “Yang penting, kami mendapat penjelasan dulu,” terangnya.

Yusuf Dardiri, anggota Badan Anggaran DPRD Kota Bogor menambahkan, adanya temuan penyimpangan dari BPK membuktikan sistem pemungutan pajak sangat rawan. “Inilah kelemahan sistem self assesment atau melaporkan sendiri. Sudah seharusnya memang, transaksi kena pajak itu terekam secara online,” ujarnya.

Sampai sistem online itu bisa terbangun,  pejabat pengelola pajak harus dipastikan memiliki integritas tinggi terhadap tanggung jawabnya. “Intinya, sangat disesalkan masih banyak potensi pajak tidak tergali atau menguap begitu saja,” kata politikus PKS itu.

Pengamat dan praktisi hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Bogor Raya, Sugeng Teguh Santoso menilai, temuan BPK terhadap penyimpangan Rp12 miliar itu masuk kategori mal administratif. “Yaitu, hilangnya kesempatan mendapatkan potensi lebih besar akibat adanya kelalaian,” terangnya.

Sedangkan soal adanya dugaan kongkalikong antara WP dengan petugas untuk menyusutkan potensi pajak, lanjut Sugeng, perbuatan tersebut bisa dijerat Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999. “Itu bisa kena suap atau gratifikasi, jeratannya pasal 2 atau 3. Pasal 2 ancamannya 4-20 tahun, pasal 3 ancamannya 1-15 tahun,” tegasnya.    

Sementara itu, Kepala Dispenda Kota Bogor, Denny Mulyadi mengatakan, sudah menindaklanjuti temuan BPK itu. “BPK melakukan audit bersama-sama dengan kami. Yang bermasalah, seperti dalam laporan tersebut sudah kami tagih dan denda sebelumnya,” katanya.

Menurut Denny, Dispenda Kota Bogor sudah melakukan sejumlah langkah strategis untuk mengoptimalkan PAD. “Yang dianggarkan tahun lalu sekitar Rp260 miliar, tapi kami bisa mencapai PAD Rp300 miliar. Untuk lebih optimal lagi, penagihan sekarang sedang berproses,” ujarnya.

Kepala Seksi Pemeriksaan Dispenda Kota Bogor, Evandy Dahni menambahkan, penetapan potensi pajak dilakukan berdasarkan hasil uji petik. “Sesuai rekomendasi BPK, kami sedang melakukan uji petik lagi selama sebulan. Sudah tiga minggu, tinggal seminggu lagi,” tandasnya.(cr17)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengobatan Gratis untuk Warga Jakarta Timur

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler