jpnn.com - JAKARTA - Kongres III Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) tidak hanya mengantar Ahmad Basarah menjadi ketua umum periode 2015-2020 melalui proses aklamasi. Kongres yang digelar sejak Jumat (7/8) hingga Sabtu (8/8) itu juga menghasilkan sebuah manifesto politik.
Jelang penutupan Kongres III PA GMNI di JI Expo Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (8/8) malam, manifesto itu dibacakan oleh Andreas Pareira selaku anggota panitia pengarah di kongres itu. Poin penting dalam manifesto politik PA GMNI itu adalah pentingnya Pancasila 1 Juni 1945 sekaligus mendorong Indonesia mewujudkan cita-cita Trisakti sebagaimana digagas Bung Karno.
BACA JUGA: Pastikan UU ASN Tidak akan Direvisi
“Bahwa pelaksanaan Pancasila yang kita akui dan terapkan sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945 hanya dapat dijalankan secara benar dan konsisten dengan strategi yang senafas dan seirama yaitu Trisakti ajaran Bung Karno: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam berkebudayaan,” kata Andreas saat membacakan manifesto PA GMNI yang berjudul Jalan Trisakti Menuju Tatanan Masyarakat Pancasila.
Andreas menuturkan, alumni GMNI sebagai kekuatan nasionalis-sukarnois bertekad mengambil peranan dalam perjuangan kebangssan bersama seluruh kekuatan bangsa yang sehaluan dan berkomitmen untuk mewujudkan tatanan Masyarakat Pancasila melalui jalan Trisakti. Sebagaimana tertuang dalam manifesto itu, Andreas mengatakan bahwa derasnya arus liberalisasi telah mencabut peranan negara dari tanggung jawab utamanya untuk memenuhi kepentingan rakyat, membangkitkan individualisme di segala bidang.
BACA JUGA: Menteri Yuddy Disebut Berapor Merah, Ini Reaksi Anak Buah
Presiden Joko Widodo memukul gong saat membuka Kongres III PA GMNI di Jakarta, Jumat (7/8). Foto: Sekretariat Negara
BACA JUGA: Banyak Cermin di Tempat Latihan Paskibraka, Ternyata Ini Tujuannya
"Liberalisme yang demikian, melahirkan imperialisme politik, imperialisme ekonomi, dan imperialisme budaya yang berlangsung secara sistematis, masif dan terstruktur. Angin kebebasan pasca-reformasi telah ditumpangi kepentingan tersembunyi para kapitalis untuk mengisolasi Pancasila dari seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara," tandasnya. (ara/jpnn)
Berikut ini adalah manifesto politik hasil Kongres III PA GMNI:
MANIFESTO POLITIK
KONGRES III PERSATUAN ALUMNI GMNI
“JALAN TRISAKTI MENUJU TATANAN MASYARAKAT PANCASILA”
JAKARTA, 7-9 AGUSTUS 2015
Mukadimah
Bahwa Pancasila 1 Juni 1945 yang dirumuskan oleh Bung Karno dalam sidang BPUPKI 29 Mei-1 Juni 1945 merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar Para Pendiri Bangsa tentang di atas dasar apakah negara ini hendak didirikan? Jawaban Bung Karno tentang Dasar Negara ini sangat fundamental bagi kelangsungan negara bangsa (nation state) yang didirikan di atas keragaman politik, sosiologis, kultural dan dalam suasana revolusi nasional.
Bahwa Pancasila 1 Juni 1945 merupakan Dasar Negara merupakan pokok kaidah fundamental(staatsfundamentalnorm) yang mempunyai kekuatan sebagai grundnorm dan karenanya Pancasila adalah cita-cita hukum (rechtsidee) yang menjadi pemandu seluruh produk hukum Negara. Dengan demikian, penyusunan, penerapan, dan pelaksanaan hukum positif yang mengatur seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan perwujudan mutlak Pancasila sebagai ideologi negara.
Bahwa pelaksanaan Pancasila yang kita akui dan terapkan sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945 hanya dapat dijalankan secara benar dan konsisten dengan strategi yang senafas dan seirama yaitu TRISAKTI ajaran Bung Karno, berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam berkebudayaan. Konsep TRISAKTI pada masanya lahir sebagai antitesa terhadap ancaman neokolonialisme dan neoimperialisme di segala dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara yang dijalankan oleh para musuh-musuh revolusi Indonesia dan kompradornya.
Bahwa pelaksanaan TRISAKTI sebagai platform perjuangan mewujudkan tatanan Masyarakat Pancasila dihadapkan oleh berbagai tantangan dan peluang kebangsaan yang makin dinamis di tengah interaksi dan persaingan kawasan Asia Pasifik maupun antar negara bangsa di dunia. Potensi Indonesia sebagai negara besar yang kaya sumberdaya alam, sumberdaya manusia unggul, dan letak geografis yang strategis, merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional yang harus dikelola dengan baik guna sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Kita tidak boleh lengah dan terpedaya oleh muslihat dan skenario musuh-musuh Pancasila, baik dari dalam maupun luar, yang selalu bertekad untuk menanamkan kekuasaan dan mengamankan kepentingannya di Indonesia demi hajat hidup dan kemakmuran sendiri.
Bahwa Trisakti tidak boleh hanya berhenti dalam ruang formalitas, slogan dan kampanye politik, serta legitimasi kekuasaan belaka. TRISAKTI sebagai platform perjuangan harus diintegrasikan dalam berbagai kebijakan strategis negara dan menjadi orientasi bagi penyelenggara kekuasaan negara guna mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Pelaksanaan TRISAKTI menuntut satunya pikiran, perkataan dan perbuatan seluruh aparatus kekuasaan negara dan seluruh kekuatan bangsa yang dijiwai oleh Pancasila dan dipandu oleh kepemimpinan politik yang sadar, memahami dan berkomitmen untuk mewujudkannya.
Pandangan dan Sikap Politik
Mewujudkan TRISAKTI diperlukan suatu upaya revolusioner, suatu revolusi mental untuk merevitalisasi pola pikir, karakter dan kebudayaan nasional yang sesuai dengan nilai luhur dan jatidiri bangsa. Perubahan Konstitusi yang melahirkan berbagai produk hukum dan perundang-undangan di bahwa pengaruh liberalisme dan kepentingan asing telah merubah konstruksi ketatanegaraan yang menyimpang dari Pancasila, dan karenanya harus diintegrasikan kembali pada Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks itulah, alumni GMNI sebagai kekuatan nasionalis-sukarnois bertekad mengambil peranan dalam perjuangan kebangssan bersama seluruh kekuatan bangsa yang sehaluan dan berkomitmen untuk mewujudkan tatanan Masyarakat Pancasila melalui jalan TRISAKTI.
Kami menyadari, bahwa pelaksanaan TRISAKTI sebagai platform dalam perjuangan pembangunan negara bangsa bukanlah hal yang mudah, penuh tantangan dan cobaan. Derasnya arus liberalisasi telah mencerabut peranan negara dari tanggung jawab utamanya untuk memenuhi kepentingan rakyat, membangkitkan individualisme di segala bidang.
Liberalisme yang demikian, melahirkan imperialisme politik, imperialisme ekonomi, dan imperialisme budaya yang berlangsung secara sistematis, masif dan terstruktur. Angin kebebasan pasca-reformasi telah ditumpangi kepentingan tersembunyi para kapitalis untuk mengisolasi Pancasila dari seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Liberalisasi politik memang telah membuka ruang bagi kebebasan dan partisipasi politik rakyat. Namun, liberalisasi yang berlebihan dalam praktik demokrasi liberal dapat memecahbelah persatuan politik nasional, menghambat konsensus politik nasional yang akhirnya mengganggu stabilitas sosial politik yang penting bagi kelangsungan jalannya pembangunan nasional. Keharmonisan dalam masyarakat, antar kekuatan politik, antar lembaga negara terganggu akibat semangat persaingan, egosentrisme dan individualisme yang membabibuta.
Penerapan sistem multipartai liberal di tengah eforia demokrasi elektoral telah mendegradasi peran strategis partai sebagai alat perjuangan kepentingan rakyat, kering dari ideologi perjuangan dan didominasi pragmatisme syahwat kekuasaan. Rakyat hanya dianggap penting pada saat Pemilu, Pilkada dan keperluan legitimasi kekuasaan dalam pesta demokrasi liberal yang penuh tipuan.
Proses politik mengalami komodifikasi dalam logika persaingan kuantitas suara, sehingga kekuatan modal menjadi determinasi dalam mekanisme pembentukan kekuasaan yang bertentangan dengan semangat musyawarah mufakat. Komodifikasi politik itu tidak hanya menjadi ajang bagi para para oligarki modal, para pemburu rente, tetapi telah membuka pintu bagi kekuatan asing untuk ambil bagian dalam eforia demokrasi elektoral sebagai strategi memuluskan kepentingannya menuju akses kekuasaan negara.
Kami memandang bahwa demokrasi liberal produk liberalisme adalah demokrasi impor, bukan demokrasi Indonesia, bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa dan kepribadian kita sendiri. Demokrasi yang demikian, merupakan corporate democarcy yang hanya menguntungkan sekelompok kecil orang yang memiliki modal, dan mengasingkan rakyat dari pemilik kedaulatan sesungguhnya.
Esensi dari demokrasi sebagai kongruensi antara kedaulatan kehendak rakyat dan perilaku politik kekuasaan menjadi terasing dari proses politik sehari-hari. Akhirnya, para oligarki kapitalis-lah yang meramaikan dan menikmati kekuasaan negara di atas penindasan kepentingan rakyat dalam . Karena itulah, kita perlu untuk menata ulang format perpolitikan di Indonesia sebagai manifestasi untuk mewujudkan kedaulatan politik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Bahwa liberalisasi politik selalu sejalan dengan liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi telah mendudukan negara sepertihalnya “sang penjaga malam” yang kehilangan daya menghadapi keganasan dan keserakahan pasar bebas. Desakan kepentingan asing dalam berbagai kebijakan ekonomi menghasilkan kebijakan liberal, seperti pencabutan subsidi, privatisasi dan penghapusan monopoli negara atas sektor strategis.
Kebijakan ekonomi liberal hanya memberi kesempatan besar bagi pelaku ekonomi swasta, terutama modal asing untuk mengambil peranan hegemonik dalam sektor ekonomi strategis Indonesia, sehingga tidak mengherankan jika sumberdaya energi, sumberdaya air, sumberdaya kelautan, komoditas pangan pokok, dan sumberdaya keuangan dan industri strategis, kini telah menjadi jarahan bagi para kapitalis.
Bagi para kapitalis, lemahnya negara di sektor itulah yang menjadi kesempatan emas untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Para kapitalis inilah yang menjadi otak bagi operasi melumpuhkan peran negara atas nasib dan hajat hidup orang banyak.
Kita lihat bersama, ekonomi liberal telah memunculkan ironi kemiskinan, ketimpangan dan penindasan di negeri yang kaya raya ini. Kita saksikan ledakan dahsyat pertumbuhan akumulasi kekayaan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat banyak tidak mendapatkan akses yang adil atas kesejahteraan dan kue pembangunan nasional. Segelintir orang itulah yang kemudian menjadi kelompok elite yang dapat mempengaruhi politik negara dalam alokasi kebijakan strategisnya di berbagai bidang.
Berbagai undang-undang dan peraturan dibuat untuk melayani kepentingan kapitalis, berbagai dalil diungkap untuk memberi legitimasi, dan berbagai instrumen digunakan untuk mengamankan kepentingannya. Praktik ekonomi liberal ini akan menghancurkan kemandirian ekonomi dan menyeret kita dalam ketergantungan yang semakin akut.
Situasi tersebut tentu tidak kita kehendaki. Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali segara mengambil langkah-langkah fundamental koreksi atas praktik ekonomi liberal di Indonesia untuk mewujudkan kemandirian ekonomi berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Ancaman liberalisme juga terjadi di bidang kebudayaan. Nilai-nilai luhur dan jatidiri bangsa tergerus akibat gelombang universalisasi yang memunculkan standar nilai-nilai baru yang seolah given sebagai nilai terunggul, terbenar dan paling modern yang harus diadopsi sebagai cara pandang dan perilaku masyarakat. Penetrasi nilai-nilai liberalisme dalam kebudayaan telah merusak pola pikir, karakter serta pola tingkah laku bangsa. Individualisme, hedonisme, konsumerisme dan fanatisme muncul mengancam kebudayaan nasional kita.
Tanpa kita sadari, seluruh aspek kehidupan saat ini sedang dipaksa seragam dalam ukuran-ukuran global yang sesungguhnya mencerabut kita dari akar filosofi bangsa, akar sosial dan sejarah, serta bertentangan dengan kepribadian hidup kita sebagai negara bangsa. Kita diarahkan menjadi bangsa yang amnesia dari sejarahnya sendiri.
Liberalisme juga telah membuka peluang bagi munculnya radikalisme yang mengembangkan ajaran dan cara pandang eksklusif dan anti peradaban di luar keyakinan dogmatik mereka. Sebagai gerakan global, radikalisme ini telah menjadi ancaman bagi peradaban dunia dengan menghancurkan berbagai artefak kebudayaan dunia, dan mengembangkan ajaran kekerasan yang anti kemanusiaan. Universalisasi liberalisme dan radikalisme ini bertujuan untuk melakukan penjajahan mindset sehingga menghancurkan karakter dan sendi-sendi kebudayaan nasional.
Penetrasi dalam kebudayaan nasional tidak bisa dipisahkan dari agenda liberalisasi politik dan ekonomi. Upaya tersebut bekerja dalam berbagai level dan sektor dengan tujuan menciptakan kondisi-kondisi yang sesuai dengan kepentingan ideologi dominan dibalik gelombang penjajahan budaya.
Hegemoni kebudayaan ini dapat berjalan efektif karena kita kelengahan dan kelalaian kita. Karena itulah penting bagi kita untuk menyiapkan suatu strategi kebudayaan sebagai platform dalam nation and character building untuk mewujudkan kepribadian dalam berkebudayaan nasional kita berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Rekomendasi Kongres III Alumni GMNI
Bahwa sebagai negara bangsa kita harus membangkitkan kembali keyakinan, rasa percaya diri, dan tekad yang kuat bahwa kita mampu untuk menerapkan TRISAKTI sebagai satu-satunya jalan untuk mewujudkan tatanan Masyarakat Pancasila, suatu tatanan masyarakat yang merupakan anak kandung dari negara yang mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Negara sebagai perwujudan kehendak rakyat harus hadir dalam kapasitas yang maksimum atas berbagai aspek strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Negara tidak boleh lagi hanya sekedar penonton dalam perjuangan rakyat atas hajat hidupnya. Atas dasar itulah, Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Alumni GMNI merekomendasikan hal-hal berikut:
Mengingat begitu fundamental dan strategisnya kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai ideologi negara dalam praksis kehidupan dan kelangsungan berbangsa dan bernegara, maka mengusulkan agar pemerintah negara RI untuk menetapkan hari lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 untuk melengkapi Surat Keputusan Presiden No.18 Tahun 2008 tentang Penetapan Tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konstitusi.
Mengusulkan pembentukan Komisi Ideologi Nasional sebagai suatu terobosan politik dalam merespon situasi krisis ideologis, infiltrasi dan penetrasi nilai-nilai yang bertentangan dengan ideologi negara. Komisi Ideologi Nasional ini bertugas mengawal pelaksanaan Revolusi Mental untuk membangun watak dan karakter negara, watak dan karakter rakyatnya agar sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi negara.
Komisi Ideologi Nasional dapat juga berperan sebagai suatu lembaga yang mengkoordinasikan peranan dari aparatus ideologis negara dalam mempromosikan kembali nilai-nilai dan ideologi bangsa dengan berbagai pendekatan yang demokratis, humanis dan emansipatif pada masyarakat. Peranan lain yang penting untuk dipertimbangkan adalah fungsi Komisi Ideologi Nasional menjadi semacam clearing house yang memberikan suatu political assesment bagi Presiden atas proses rekrutmen politik para pejabat negara, produk peraturan perundang-undangan sebelum disahkan, maupun berbagai kerjasama luar negeri yang membawa muatan ideologis tertentu yang dapat mengancam kepentingan nasional.
Penataan politik dan kepartaian dengan memperkuat pelembagaan permusyawaratan dalam perwakilan sebagai mekanisme pembentukan kekuasaan dengan menekankan prinsip keterwakilan kepentingan rakyat dalam agenda-agenda kekuasaan. Mekanisme itulah perwujudan Demokrasi Terpimpin, suatu demokrasi disegala soal kenegaraan dan kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial. Inti daripada pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah permusyawaratan, suatu permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra.
Karena itulah, sistem politik harus dibersihkan dari paham individualisme-liberalisme dalam praktik demokrasi liberal yang transaksional, sarat perpecahan dan mendewakan modal sebagai penentu keputusan. Begitu pula halnya dengan sistem multipartai yang liberal perlu untuk disederhanakan dengan menaikan ketentuan ambang batas parlemen menjadi 5% guna memperkokoh sistem perwakilan dan membangun stabilitas politik yang efektif dan penting bagi pembangunan nasional, tanpa membatasi semangat kebebasan dalam berorganisasi dan berserikat.
Mendorong Indonesia aktif dalam isu-isu global, terutama di kawasan Asia Pasifik dalam kapasitas sebagai negara yang berkepentingan secara langsung terhadap stabilitas keamanan, sengketa wilayah dan perbatasan, pemanfaatan sumber daya alam dan jalur perdagangan maupun militer guna menjamin kepentingan nasional Indonesia baik jangka pendek maupun jangka panjang di kawasan Asia Pasifik.
Merekomendasikan pemberlakuan otonomi khusus bagi wilayah perbatasan dengan memperluas akses dan kewenangan pemerintah pusat guna mengakselerasi pembangunan perbatasan dalam dimensi ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.
Mendukung langkah penguatan peran negara atas seluruh urusan yang menyangkut hal-hal strategis yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan vital bagi eksistensi negara bangsa, baik sebagai regulator maupun aktor. Hal-hal strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak mencakup sumber daya energi, mineral dan pertambangan, sumber daya air, sumber daya kelautan, pendidikan, keuangan dan perbankan, alutsista, dan telekomunikasi, serta berbagai sektor strategis lainnya yang ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional dan sepenuh-sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Berbagai kontrak kerjasama antara negara dan modal asing harus diletakan dalam prinsip yang mutualistik dan adil, mendukung kemandirian ekonomi dan memperkuat kedaulatan nasional.
Mendukung agar negara tidak boleh abai sebagai garda terdepan dalam melindungi kepentingan publik dari keganasan pasar bebas akibat keserakahan perilaku kapitalistik. Negara harus hadir dan menanggung beban terberat dari dampak-dampak kerugian ekonomi nasional, guncangan krisis serta akibat lain yang timbul dari hubungan-hubungan ekonomi antar bangsa. Negara tidak boleh lagi membiarkan rakyat menanggungbeban terberat dari berbagai dampak kebijakan ekonomi nasional yang merugikan.
Mendorong pada pemerintah agar menyusun suatu Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana sebagai pedoman dalam menentukan arah pembangunan nasional dengan menempatkan potensi dan kekuatan sektor maritim sebagai modal dasar utama untuk mewujudkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru dunia (New Emerging Economic Forces-NEEFO).
Mendukung penganugerahan gelar pahlawan nasional pada tokoh-tokoh nasionalis-sukarnois, yaitu Ali Sastroamijoyo, Iskak Cokro Hadisuryo, Soenario, dan Suwiryo, yang karena pengabdian dan jasanya telah turut serta mengembangkan ajaran Bung Karno dan berkontribusi dalam perjuangan kebangsaan membangun negara bangsa.
Alumni GMNI menyatakan kesiapan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang pembangunan dan bekerjasama bersama pemerintah, partai politik, ormas, dunia pendidikan, pelaku ekonomi, dan seluruh kekuatan kebangsaan yang berkomitmen dalam melaksanakan TRISAKTI sebagai platform perjuangan pembangunan nasional untuk mencapai tatanan masyarakat Pancasila.
Demikian rumusan manifesto politik Persatuan Alumni GMNI sebagai peta jalan dalam mengimplementasikan jalan TRISAKTI menuju tatanan Masyarakat Pancasila.
Jakarta, 8 Agustus 2015
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemarin Disentil Jokowi, Hari Ini Bamsoet Sudah Mengkritik Lagi
Redaktur : Tim Redaksi