Pak Manteb

Sabtu, 03 Juli 2021 – 11:13 WIB
Ki Manteb Sudarsono dalam sebuah pertunjukan. Foto: ISWARA BAGUS/RADAR SOLO

jpnn.com - Dalang Ki Manteb Sudarsono meninggal dalam usia 72 tahun, Jumat (2/7).

Ia menjadi salah satu ikon dalang modern yang mampu menembus elite selebritas nasional.

BACA JUGA: Ki Manteb Sudarsono Meninggal, Arjuna dan Bima Mengantar ke Pemakaman

Ia memadukan pertunjukan wayang tradisional dengan unsur-unsur show biz modern, dan bisa memperluas konstituen penggemar wayang sampai ke kelas-kelas menengah perkotaan.

Pak Manteb mewakili generasi terakhir baby boomers penggemar wayang tradisional.

BACA JUGA: Ternyata Ki Manteb Sudarsono Sudah Mengaturnya Sendiri 16 Tahun Lalu

Dia juga mewakili genre dalang tradisional terakhir yang masih bertahan. Setelah generasi Pak Manteb, muncul dalang generasi milenial yang mempunyai spektrum lebih luas karena berhasil memadukan pakeliran tradisional dengan platform digital.

Salah satu dalang generasi baru adalah Seno Nugroho. Ia terkenal sebagai dalang digital dengan gaya mendalang yang mampu menarik penggemar milenial. Seno meninggal dunia November 2020 dan sampai sekarang belum ada dalang yang bisa menarik follower dan subscriber ratusan ribu seperti Seno.

BACA JUGA: Cengkok Oye!

Pak Manteb dan Ki Seno mewakili dua genre dan generasi yang berbeda. Seno--meninggal November 2020 dalam usia 48 tahun--menjadi wakil dari generasi baru setelah Pak Manteb.

Dua dalang itu juga mewakili dua mazhab pedalangan berbeda. Pak Manteb mendalang dengan gaya Surakarta dan Seno mendalang gaya Jogjakarta.

Dua mazhab itu berbeda, tetapi Seno bisa memadukannya dan menciptakan genre baru yang eklektik, tetapi menarik.

Sebagai sebuah kesenian tradisional wayang Indonesia menghadapi ancaman budaya pop modern sejak munculnya era televisi pada 1980-an. Pada era itu kesenian tradisional harus mengubah format dan pakem untuk menyesuaikan diri dengan format pertunjukan televisi.

Seni tradisional, seperti ludruk dari Jawa Timur, tidak berhasil menembus televisi nasional dan hanya bertahan sebagai kesenian tradisional dari panggung ke panggung.

Ludruk hanya muncul di televisi lokal dengan format yang tidak banyak berbeda dengan format tradisional.

Ludruk tidak berhasil bertransformasi dari panggung tradisional ke panggung televisi, dan tidak melahirkan seniman-seniman yang dikenal di lingkaran selebritas nasional.

Kesenian ketoprak lebih sukses dalam melakukan transformasi dari panggung tradisional ke panggung televisi. Pada 1990 lahir banyak versi ketoprak yang sukses menjadi pertunjukan televisi. Salah satu yang paling terkenal adalah format ketoprak humor yang mampu meraih rating tinggi di televisi.

Dalam melakukan transfomasi itu ketoprak banyak melakukan penyesuaian pakem. Durasi menjadi lebih pendek dan lakon-lakon yang disajikan lebih disesuaikan dengan keinginan pasar.

Pelaku ketoprak tradisional tentu kecewa dengan pemerkosaan budaya seperti ini. Namun, untuk bisa survive dari serangan modernitas, strategi budaya adaptif memang harus dilakukan.

Kegagalan beradaptasi dengan platform media baru seperti televisi membuat banyak grup ketoprak tradisional harus masuk kubur. Grup Ketoprak Siswo Budoyo dari Jawa Timur yang ikonik akhirnya hilang karena kegagalan transformasi itu.

Pertunjukan wayang juga menghadapi problem yang sama. Munculnya televisi membuat pertunjukan wayang harus melakukan penyesuaian format secara total. Sesuai dengan pakem tradisional wayang adalah pergelaran semalam suntuk dengan format yang sudah baku.

Untuk menyesuaikan diri dengan durasi televisi yang hanya satu jam tentu membutuhkan terobosan kreatif tersendiri.

Salah satu kisah sukses transformasi kesenian tradisional menjadi seni showbiz modern terjadi pada kesenian campur sari. Basis campur sari adalah seni musik tradisional Jawa, yang mempunyai akar tradisi pada tembang-tembang dan gending Jawa dan iringan permainan gamelan tradisional.

Campur sari sukses memadukan unsur tradisional dengan unsur-unsur musik modern. Demarkasi musik tradisional dengan musik modern yang dipisahkan oleh nada-nada diatonik do re mi fa so la si do, dan nada pentatonik yang monoton, ternyata bisa ditembus oleh campur sari, sehingga melahirkan sintesa musik yang bisa menarik minat generasi milenial.

Batas-batas etnis jauh terlampaui oleh musik campur sari. Anak-anak milenial penggemar fanatik campur sari itu banyak yang tidak paham Bahasa Jawa, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari campur sari. Namun, hal itu tidak menghalangi mereka untuk bernyanyi dan menari.

Ini menjadi bukti bahwa musik adalah universal. Musik bisa menembus batas-batas etnis dan nasionalitas.

Serbuan gelombang K-Pop ke seluruh penjuru dunia menunjukkan universalitas musik itu. Globalisasi yang muncul akibat penyebaran internet menjadikan invasi musik pop Korea tidak terbendung ke seluruh dunia.

Dunia campur sari melahirkan Didi Kempot sebagai ikon dan dewa baru yang dipuja-puja sampai histeris oleh penggemar-penggemarnya.

Dalam sejarah kesenian tradisional belum pernah ada ikon pop yang lahir dari musik tradisional dan menjadi idola lintas budaya seperti Didi Kempot.

Didi Kempot menjadi fenomena baru kebangkitan musik tradisional di era digital. Ia meninggal pada Mei 2020, tetapi legasinya akan tetap hidup.

Musik campur sari yang sebelumnya medioker, sekarang berubah menjadi ikon musik modern yang bergengsi.

Pertunjukan wayang kulit menghadapi persoalan yang sama dengan semua jenis kesenian tradisional lainnya.

Menghadapi munculnya platform media baru wayang harus melakukan penyesuaian, dan terbukti wayang behasil melakukannya.

Format baru yang disesuaikan dengan durasi televisi ternyata bisa menghasilkan pertunjukan yang tetap menarik.

Beda dengan ludruk, ketoprak, atau kesenian lain, wayang mempunyai banyak aliran pakeliran yang melahirkan banyak sekali dalang-dalang kreatif.

Munculnya dalang Ki Enthus Susmono pada 1990-an menjadi contoh bagaimana wayang, yang seharusnya berpegang pada pakem yang konservatif, bisa diinterpretasikan menjadi pertunjukan teatrikal yang menarik penggemar baru.

Pertunjukan teatrikal ala Enthus memantik kontroversi keras di lingkungan penggemar wayang, karena Enthus dianggap merusak—bahkan menghancurkan—filosofi wayang.

Namun, gaya mendalang Enthus yang jauh dari pakem itu malah berhasil menarik banyak penggemar baru.

Dalam filosofi dasar pewayangan, dalang adalah sutradara pengarah lakon, dan wayang adalah aktor yang menjalankan peran sesuai lakon. Dalang dan wayang adalah dua entitas berbeda.

Namun, di tangan Ki Enthus batas itu didobrak, karena sang dalang pun bermain sebagai wayang. Pada sebuah episode Ki Enthus menantang salah satu tokoh wayang untuk berduel.

Gaya mendalang yang tidak lazim ini menjadi daya tarik bagi penggemar muda.

Ki Enthus dijuluki sebagai dalang edan, karena gaya mendalangnya yang edan-edanan. Enthus meninggal dunia pada 2018, dan gaya mendalangnya menjadi legasi yang banyak ditiru oleh dalang-dalang muda.

Pak Manteb mendapat julukan sebagai dalang setan, beda dengan Enthus yang dianggap gila karena merusak pakem, Pak Manteb disebut setan karena keterampilannya yang tinggi dalam memainkan wayang, terutama dalam adegan perang yang disebut sabetan.

Di tangan Pak Manteb, pertempuran wayang menjadi adegan yang hidup, penuh dengan gerakan cepat yang indah dan elegan.

Sesekali Pak Manteb memadukannya dengan gerakan martial art modern seperti kung fu maupun tinju. Kemampuan sabetan yang cepat, nyaris tidak terlihat oleh kecepatan mata, membuat Pak Manteb dijuluki sebagai dalang setan.

Pak Manteb telah pergi. Legasinya akan tetap dikenang sepanjang masa. Ia berhasil melewati transformasi dengan mulus. Ia menjawab tantangan kapitalisme modern di dunia show biz dengan tetap menjaga kewibawaan tradisional.

Pak Manteb akan tetap dikenang sebagai dalang paripurna dan seorang bintang iklan modern.

Pak Manteb sudah menutup lakon hidupnya dengan sempurna. Ia bisa tersenyum ketika nanti ditanya, "Lakone napa, Pak Manteb…?" (*)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler