Pak Wiranto Ditusuk Tembus Usus, kok Tega Bilang Rekayasa

Senin, 14 Oktober 2019 – 13:43 WIB
Anggota kepolisian mengamankan Syahril Alamsyah, terduga penusuk Wiranto. Foto: ANTARA/HO-Polsek Menes/aa. Handout Polsek Menes

jpnn.com, JAKARTA - Munculnya anggapan rekayasa peristiwa penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto akibat adanya pembelahan dukungan pada Pilpres 2019 yang masih membekas.

Demikian dikatakan Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada Najib Azca.

BACA JUGA: Hasto dan Puan Maharani Mendapat Tugas Khusus dari Megawati

"Saya kira ini adalah refleksi publik kita yang masih terbelah. Publik yang masih distortif dan keruh oleh stigmatisasi politik warisan Pemilu 2019," kata Najib di Yogyakarta, Senin (14/10).

Menurut Najib, anggapan rekayasa itu sangat berlebihan. Ia meyakini aksi yang dilalukan oleh Syahril Alamsyah alias Abu Rara terhadap Wiranto merupakan pola serangan yang digunakan oleh teroris yang terafiliasi Jamaah Ansorut Daulah (JAD).

BACA JUGA: Pesan Anwar Usman untuk Pak Wiranto

"Saya dengar darah yang keluar sampai 3,5 liter dari Pak Wiranto kena ususnya. Jadi saya kira ini tidak main-main, masak mau settingan untuk dirinya sendiri. Tidak mungkin," kata dia.

Najib mengakui hingga saat ini sebagian masyarakat masih belum bisa berpaling dari sentimen Pemilu 2019. Akibatnya, berbagai hal atau peristiwa yang terjadi dan berkaitan dengan pemerintah akan dipandang sebagai rekayasa atau konspirasi.

BACA JUGA: Dosen UGM Ini Malu Punya Anggota Dewan Seperti Bu Hanum Rais

Najib menilai, terlalu berlebihan jika ada yang buru-buru melabeli berbagai peristiwa yang terjadi sebagai konspirasi atau settingan.

"Belum move on dari Pilpres 2019. Jadi pembacaannya masih sekenario-sekenario konspiratif," kata dia.

Di sisi lain, Najib menilai aksi teror yang dilakukan Abu Rara itu menunjukkan bahwa daya destruksi atau daya rusak para teroris di Indonesia mulai menurun.

Najib mengatakan, penggunaan benda tajam untuk melukai langsung target korban berbeda dengan pola yang digunakan oleh kelompok jihadis sebelumnya, khususnya Jamaah Islamiyah (JI).

JI lebih dikenal dengan aksi teror yang berimbas kerusakan atau korban yang besar seperti bom Bali pada 2002 atau bom Hotel JW Marriot pada 2003. Anggota JI, menurut dia, memiliki karakteristik terlatih. Mereka mendapatkan pelatihan paramiliter di Afghanistan atau Mindanao, Philipina.

Sementara banyak teroris yang bekalangan ini terafiliasi ke JAD yang pro ISIS tidak terlatih secara kemiliteran. Aksi teror mereka tidak tertata. Pelakunya justru lebih banyak yang meninggal dibanding korban yang ingin diciptakan.

"Kelompok-kelompok yang belakangan beraksi di sini hanya orang-orang yang terasuki oleh virus jihadisme. Pokoknya yang penting mati bahkan korbannya siapa tidak jelas pun enggak apa-apa," kata Najib. (Antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler