jpnn.com - SEORANG ulama tersohor, Syaikh Yazîd Al-Bustamî, mengutip Khidir Sang Nabiyang tersembunyi, mengatakan, “Bila air tidak dipakai bersuci, maka air akan berubah menjadi api”.
Di negeri ini, air telah menjadi api karena tak dipakai untuk bersuci. Hal ini tampak pada berbagai fenomena bencana yang menimpa bangsa ini, terutama yang diakibatkan oleh faktor air, seperti tsunami di Aceh dan Pangandaran, serta banjir bandang di berbagai pelosok negeri ini yang tak henti-henti.
BACA JUGA: Keren, Cara Mona Ratuliu Supaya Anak Mau Puasa Tanpa Paksaan
Menurut Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PKB, KH Maman Imanulhaq, semua fenomena itu mengharuskan kita untuk kembali memperbaiki tindak penyucian (tazkiyyah) baik bersifat inderawi (sensor), maupun maknawi (supra-sensor).
Tazkiyyah ini setidaknya kita lakukan dalam konteks dua hal. Pertama, penyucian jiwa (tazkiyyah al-nufûsh) dari segala akhlak yang busuk dan tercela (al-madzmûmah), prinsip hidup yang melawan fitrah kemanusiaan. Serta mata hati (sirr) yang memandang kepada sesuatu selain Allah.
BACA JUGA: Permintaan Khusus Mona Ratuliu saat Ramadan
Kedua, penyucian inderawi, yakni kepedulian terhadap kebersihan (nazhâfah) serta membasuh anggota-anggota badan tertentu yang telah ditentukan syara‘ (QS 5:6), yang dalam ajaran Islam disebut wudhu.
Menguak makna wudu yang tata cara dan urutannya telah ditentukan dalam ajaran Islam, sebenarnya mempunyai makna yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Wudu dimulai dengan niat yang ikhlas. Keikhlasan merupakan hal paling penting dalam kehidupan.
BACA JUGA: Nikmatnya, Bubur Daging di Masjid Nur Addin
Seseorang yang berhati ikhlas akan mampu melepaskan dan membebaskan dirinya dari berbagai belenggu kepentingan duniawi, yang cenderung picik dan dangkal, yakni hanya demi ambisi pribadi, kepentingan golongan, serta tujuan-tujuan sesaat. Tanpa keikhlasan dalam kehidupannya lanjut Maman, seseorang akan terus melangkah tanpa skala prioritas serta visi-misi yang jelas.
Langkah selanjutnya adalah membasuh wajah. Langkah ini akan membimbing seseorang agar memiliki prioritas dan perspektif (wijhah) dalam kehidupannya. Seseorang yang tidak pernah membasuh wajahnya akan sulit bermawas diri dan tidak punya rasa malu (hayâ’).
Allah berfirman, “Pada hari kiamat, ada wajah-wajah yang berseri memandang Tuhan mereka, ada pula wajah-wajah bermuram durja. Mereka menduga malapetaka akan ditimpakan pada mereka” (QS 5:22-25).
Kelak, akan termasuk golongan yang manakah kita? Setelah membasuh wajah, kita lalu membasuh tangan sampai ke siku. Bila kita perhatikan, di telapak tangan kiri kita ada guratan garis tangan membentuk angka arab 81, sementara di telapak tangan kanan ada guratan garis tangan yang membentuk angka arab 18.
Lalu, apa artinya? Jika angka 81 dan 18 kita jumlahkan, maka kita akan mendapatkan angka 99.
Bukan kebetulan, 99 merupakan jumlah Asma'ul Husnâ (nama-nama Allah yang Mulia). Seseorang yang membasuh tangan dalam wudu seharusnya bisa berlaku adil, kreatif, toleran, selalu menjaga kebersamaan, dan sifat-sifat baik lainnya. Semua itu merupakan dorongan fitrah (human nature) dan kesadaran yang bersumber dari Allah: “Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dialah pemilik nama-nama yang mulia” (QS 17:110).
Dari tangan pulalah akan lahir semangat kerja keras yang dilandasi semangat teologis. Di mana Islam mendorong manusia untuk melakukan kerja produktif dan mencari karunia Allah. Islam menghimbau manusia untuk tidak jadi pengemis dan parasit. Islam mengajak manusia untuk menguasai keahlian dan teknologi.
Filosofi Kepemimpinan Setelah membasuh tangan, kita lantas mengusap kepala. Pengusapan kepala ini erat kaitannya dengan filosofi kepemimpinan karena kepala berada di atas bagian tubuh lainnya. Kepalalah yang mengarahkan segala tindakan manusia. Usapan terhadap kepala yang dilandasi semangat tanggung jawab akan meresap ke dalam ubun-ubun kesadaran yang menyeluruh. Kesadaran ini akan meliputi segenap kekuatan, baik di luar (fisikal) maupun di dalam (batin, psikis).
Kesadaran ini juga mendayagunakan segenap kemampuan inderawi dan intelektual-maknawi bagi semua kalangan, baik masyarakat kelas atas, menengah, dan bawah. Pendek kata, kata Maman, kesadaran yang tercerahkan karena tindak 'penyucian' harus diperuntukkan bagi semua golongan manusia.
Gerak wudu yang terakhir adalah membasuh kaki. Kaki adalah simbol kemandirian, keteguhan terhadap prinsip, dan keadilan. Dengan kakilah, seseorang bisa mendapatkan kelincahan dalam berinteraksi sosial. Serta memeroleh energi dalam menyusun kekuatan untuk melawan problem kemanusiaan, dan mendapatan motivasi untuk selalu mencari 'langkah' yang terbaik bagi umat.
'Penyucian' seseorang seharusnya menjadi pertanda agar mereka berjalan lurus, tidak angkuh, serta selalu berdiri paling depan dan paling cepat dalam mengerjakan kebaikan, menegakkan keadilan, serta menebar cinta kasih sejati. Segera berwudu dan bersucilah karena di negeri ini 'air' telah menjelma menjadi 'api'. (fat/chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Mona Ratuliu Udah Happy Dikasih Es Teh
Redaktur : Tim Redaksi