Pakar Hukum: Putusan BANI Cacat Hukum dalam Sengketa Museum Soeharto di TMII

Selasa, 03 Desember 2024 – 16:47 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi angkat bicara terkait sengketa pengelolaan museum Soeharto di TMII. Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Muhammad Rullyandi angkat bicara terkait sengketa pengelolaan museum Soeharto di TMII.

Dalam analisis yuridisnya, Rullyandi menyatakan bahwa putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam perkara tersebut mengandung cacat hukum yang serius.

BACA JUGA: Keberatan dengan Putusan BANI Soal Museum di TMII, OC Kaligis: Kami Gugat dan Lawan

Rullyandi menyoroti putusan arbitrase BANI No. 47013/II/ARB-BANI/2014 yang melibatkan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi. Menurutnya, putusan tersebut tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi juga berpotensi mencederai asas keadilan dan kepastian hukum yang dijamin oleh Undang-Undang.

Kontradiksi dalam Amar Putusan

BACA JUGA: Presiden Prabowo Titip Pesan Lewat Menko PMK saat Peringatan Hari Sumpah Pemuda di TMII

Salah satu masalah utama dalam putusan tersebut adalah adanya kontradiksi hukum (contradictio in terminis). Amar putusan menyatakan salah satu pihak melakukan wanprestasi, tetapi di sisi lain juga membatalkan perjanjian kerja sama yang menjadi dasar hubungan hukum antara para pihak.

“Jika sebuah perjanjian dinyatakan batal demi hukum, maka hubungan hukum antara para pihak tidak ada. Namun, jika wanprestasi dinyatakan, perjanjian tersebut harus dianggap sah dan mengikat. Kedua hal ini tidak dapat berjalan bersama dalam satu putusan,” ungkap Dr. Rullyandi dalam keterangannya bertempat di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (02/12).

BACA JUGA: Ribuan Peserta Antusias Ikuti RunXperience 2024 di TMII

Ia juga menambahkan bahwa amar putusan yang bertentangan seperti ini melanggar asas pacta sunt servanda, di mana perjanjian yang telah disepakati harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.

Ketidakcocokan Fakta Hukum dan Dugaan Pelanggaran Prosedural

Selain kontradiksi dalam amar putusan, Rullyandi juga menyoroti adanya ketidaksesuaian fakta hukum dan prosedur dalam proses arbitrase. Dalam pernyataan langsungnya, ia mengungkapkan bahwa proses arbitrase dalam perkara ini tidak dilakukan secara transparan dan berpotensi melanggar prinsip keadilan.

“Salah satu pihak diduga menyembunyikan dokumen yang sangat penting, seperti dokumen penolakan cek kosong, yang dapat memengaruhi jalannya perkara. Tindakan semacam ini menunjukkan kurangnya itikad baik dalam proses arbitrase,” ujar Rullyandi.

Selain itu, ia juga menggarisbawahi kemungkinan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam persidangan. "Jika terbukti, ini menjadi dasar kuat untuk membatalkan putusan sesuai dengan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase," tambahnya.

Rullyandi juga menjelaskan bahwa proses arbitrase ini mencerminkan kurangnya objektivitas dan profesionalisme.

Proses arbitrase yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, jujur, dan terbuka dapat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang independen.

Implikasi Hukum

Rullyandi menegaskan bahwa putusan arbitrase yang cacat hukum seperti ini dapat diajukan pembatalannya ke pengadilan.

“Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan penuh untuk menganulir putusan yang tidak memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum. Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 72 UU Arbitrase,” jelasnya.

"Mengingatkan bahwa sengketa terkait Museum Soeharto memiliki dimensi kepentingan publik yang signifikan. Penyelesaian sengketa ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan keadilan bagi seluruh pihak yang bersengketa, serta menjaga integritas aset nasional yang dikelola oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi," kata Rullyandi.

Tak hanya itu, Rullyandi menyerukan pentingnya proses hukum yang transparan dan jujur dalam penyelesaian sengketa.

“Putusan arbitrase yang tidak didasarkan pada fakta hukum dan keadilan hanya akan merugikan para pihak yang bersengketa dan mencederai asas keadilan. Saya berharap pengadilan melalui majelis hakim no perkara 531/Pdt.Sus-Arb/2024/PN Jkt.Pst dapat mengambil langkah yang tepat untuk mengoreksi Putusan BANI ini,” tutupnya.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler