JPNN.com

Pakar Sebut Kasus Tom Lembong Tergesa-gesa Disebut Korupsi

Senin, 27 Januari 2025 – 18:15 WIB
Pakar Sebut Kasus Tom Lembong Tergesa-gesa Disebut Korupsi - JPNN.com
Thomas Lembong.

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Pasca Sarjana Universitas Sjakhyakirti, Palembang Prof. Edwar Juliartha mengatakan kebijakan publik harus dinilai pada saat kebijakan itu dilaksanakan.

Hal itu disampaikan saat diskusi publik di Universitas Syakyakirti Palembang bertema 'Kebijakan Publik Dalam Bayang-Bayang Tindak Pidana Korupsi' pada 25 Januari 2025.

BACA JUGA: Pakar Hukum Soroti Putusan Hakim Tolak Praperadilan Tom Lembong

“Kebijakan itu tidak bisa direview setelah bertahun-tahun lamanya. Lihat dulu historinya, apakah pernah dilaksanakan pemeriksaan atau belum. Jika sudah hasilnya bagaimana? Ada penyimpangan atau tidak. Tugas pejabat publik itu adalah problem solving. Tidak bisa dikurun waktu yang jauh berbeda,” kata Edward.

Salah satu studi kasus yang ditanyakan dalam diskusi itu ialah penetapan tersangka korupsi atas Tom Lembong.

BACA JUGA: Menjelang Libur Imlek, Harga Cabai di Pasar Induk Ini Alami Penurunan

Menurut penyidik Kejaksaan Agung, Tom Lembong telah merilis kebijakan gula pada era 2015 – 2016. 

Pada saat itu terjadi surplus gula, tapi Tom mengeluarkan izin importasi raw sugar yang diduga menguntungkan swasta. 

BACA JUGA: Bank Mandiri Taspen Luncurkan Online Onboarding, Transaksi Jadi Makin Mudah

Importasi menurut Kejaksaan Agung mestinya dalam bentuk gula kristal putih dan dilakukan oleh BUMN dengan perkiraan kerugian negara mencapai Rp 578 milyar.

Selain Tom Lembong, Kejaksaan juga telah menetapkan tersangka dari perusahaan gula swasta dan mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI).

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Junaedi Saibih berpendapat dalam kasus importasi gula mestinya dilakukan pemeriksaan aparatur pengawas internal pemerintah dulu sebelum ditarik ke pidana korupsi.

Dia menjelaskan apakah ketika ijin importasi dilakukan itu ada unsur suap, penipuan, atau paksaan.

"Jika tidak ada maka tidak bisa ditarik ke pidana korupsi. Saya lihat dalam kebijakan itu ada aspek perdatanya. Ada perjanjian antara BUMN dengan perusahaan swasta. Kalau tidak ada konflik dalam aspek perdata, lalu masyarakat juga diuntungkan karena bisa memperoleh gula, maka aneh jika ditarik ke pidana. Terlalu dipaksakan,” jelas Junaedi.

Menurutnya, dalam kebijakan publik itu berlaku asas presumptio iustae causa. 

Dia menjelaskan kebijakan itu benar dan sah, kecuali terdapat perubahan atau putusan yang menyatakan sebaliknya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

"Setelah UU Adminsitrasi Pemerintahan 30/2014, semua perbuatan yang berdimensi kebijakan termasuk perbuatan faktual harus terlebih dahulu melalui pemeriksaan tata usaha negara sebagai premium remedium," lanjutnya.  

Di sisi lain, perwakilan Ombudsman Sumatera Selatan, Adrian Agustiansyah mengingatkan bahwa penegakan hukum tidak boleh melahirkan rasa takut kepada pejabat publik dalam bentuk kriminalisasi kebijakan.

“Kebijakan publik itu butuh inovasi dan kreativitas. Jika review inspektorat pemeriksaan internal dilompati maka pejabat tidak akan berani mengambil kebijakan. Semuanya dihantui ketakutan,” jelas Adrian.

Dia menjelaskan setiap ketentuan hukum sektoral memiliki karakteristik penyelesaiannya sendiri dan tidak boleh dicampuradukkan kecuali memang dinyatakan secara tegas dalam UU tersebut dapat ditarik sebagai tindak pidana korupsi, hal ini sejalan dengan asas Lex spesialis sistematis.

"Jadi, segala tindakan hukum tindak pidana korupsi terhadap ketentuan hukum administrasi negara sektoral itu ada banyak hal yang harus dipertimbangankan dalam proses penegakan hukum,” pungkas Adrian.(mcr8/jpnn)


Redaktur : Yessy Artada
Reporter : Kenny Kurnia Putra

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler