Pancasila dan Ancaman Amplifikasi Hoaks

Sabtu, 01 Juni 2019 – 19:20 WIB
Ilustrasi hoaks. Grafis: Rahayuning Putri Utami/JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Emild Kadju

Pemerhati Masalah Sosial dan Politik

BACA JUGA: Gabung Pemuda Pancasila Banten, Nikita Mirzani Bilang Begini

 

Di tengah karut-marutnya situasi politik Indonesia pasca-Pilpres 2019, Bangsa Indonesia memperingati hari ulang tahun kelahiran Pancasila ke-74, tepatnya hari ini, tanggal 1 Juni 2019. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara masih diakui keberadaannya.

BACA JUGA: Gus Miftah Sebut Tudingan Faizal Assegaf kepada Erick Thohir Hoaks, Ini Buktinya

Perlu dicatat bahwa tanpa Pancasila, kesatuan dalam pluriformitas bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama akan berakhir. Namun, konsep Pancasila tanpa implementasi dalam pengamalannya akan membuat Pancasila menjadi artefak yang tidak berfaedah.

Lantas, apakah hari kelahiran Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni hanyalah seremonial belaka? Atau, apakah Pancasila masih menjadi falsafah dan pegangan hidup setiap warga negara dalam praksis hidup berbangsa dan bernegara? Atau mungkin Pancasila hanya menjadi pajangan di ruang-ruang kelas dan koleksi perpustakaan yang sudah ketinggalan zaman?

Pertanyaan lanjutannya adalah masih relevankah berbicara Pancasila di tengah situasi intoleransi, radikalisme, liberalisme radikal serta polarisasi sosio-politik Indonesia pasca-Pilpres 2019?

Mungkin benar kata Presiden Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan saudara sendiri.”

Kelahiran Pancasila

Sejak tahun 2017, tanggal 1 Juni resmi menjadi hari libur nasional untuk memperingati hari Lahir Pancasila. Penetapan ini merupakan bagian dari perjalanan panjang sejarah kelahiran Pancasila. Rumusan awal Pancasila sebagai dasar negara disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, tepatnya dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pidato tersebut pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila" oleh mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku Lahirnya Pancasila. Wedyodiningrat menilai bahwa pidato Soekarno berisi tentang lahirnya Pancasila.

Soekarno dalam pidatonya mengelaborasi lima sila untuk dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Lima sila tersebut antara lain: Kebangsaan Indonesia (nasionalisme), Internasionalisme (peri-kemanusiaan), Mufakat (demokrasi), Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima sila ini kemudian dirumuskan kembali pasca-sidang pertama BPUPKI dan dimasukkan ke dalam Piagam Jakarta yang dibacakan pada rapat pleno kedua sidang BPUPKI pada 10 dan 14 Juli 1945 dengan rumusan:

“… ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil Indonesia dari daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), di antaranya A. A. Maramis menemui Soekarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dari dasar negara.

Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Soekarno segera menghubungi Hatta untuk sama-sama bertemu dengan wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, di antaranya Teuku Moh Hasan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo keberatan dengan usul penghapusan itu.

Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mendapat persetujuan untuk melakukan penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan baru yakni: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan rumusan ini didasarkan pada pertimbangan demi keutuhan Indonesia.

Pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Selain itu, peserta dalam rapat pleno juga mengusulkan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dalam sila ke-2 Pancasila yang diusung Ki Bagus Hadikusumo. Rapat pleno PPKI pun membuahkan hasil berupa rumusan dasar negara. Hasil tersebut merupakan rumusan resmi kedua yang kemudian dikenal sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan dipakai hingga saat ini.

Dalam paragraf keempat UUD 1945, unsur-unsur Pancasila sebagaimana rumusan hasil pleno PPKI turut dimasukkan. Rumusan tersebut bisa dilihat dalam lampiran TAP MPR Nomor: II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Rumusan yang dimaksud adalah, “… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pancasila di Tengah Ancaman

Di tengah diskursus tentang Pancasila dan berbagai gerakan “Kita Bhinneka Kita Indonesia,” berbagai praktik intoleransi terus bermunculan. Pengeboman gereja di beberapa daerah, penyerangan terhadap ulama oleh oknum tak dikenal, serta kekacauan dalam ruang publik virtual pasca-Pilpres 2019 yang terus memanas kian mengancam eksistensi Pancasila sebagai dasar negara.

Selain itu, amplifikasi hoaks penembakan terhadap massa aksi 21 dan 22 Mei oleh oknum polisi yang disebarkan oleh akun-akun anonim, tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif oleh lembaga penyelenggara Pemilu yang tidak bisa dibuktikan, serta desakan referendum Aceh dan Sumatera Barat karena tidak menerima kemenangan Jokowi-Amin pada Pilpres 2019 menunjukkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika yang dibanggakan bangsa Indonesia sejak beberapa dekade lalu serasa makin jauh panggang dari api.

Lebih lagi, kerusuhan dalam demonstrasi 21 dan 22 Mei di beberapa titik seperti Sarinah, Tanah Abang, dan Pluit, serta ancaman pembunuhan terhadap beberapa tokoh nasional membuat persatuan dalam pluriformitas bangsa yang dijaga pada awal kemerdekaan akhirnya digadaikan oleh pragmatisme politik Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila terkesan hanya menjadi slogan tanpa implementasi.

Hemat saya, pemaknaan terhadap Pancasila perlu mendekonstruksi secara kontekstual untuk melawan berbagai paham dan praktik radikalisme, liberalisme radikal, dan intoleransi yang terjadi selama ini. Maka daripada itu, memahami Pancasila dan menafsirkan Pancasila sesuai konteks kekinian adalah hal yang harus dilakukan. Hemat saya, beberapa tafsiran Pancasila yang perlu diperhatikan dan diamplifikasi antara lain:

Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Bangsa Indonesia telah menyatakan kepercayaan dan ketaqwaannya akan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kerukunan hidup dan toleransi antara sesama umat beragama perlu dijaga. Tidak boleh ada intervensi dan pemaksaan untuk mengikuti suatu agama dan kepercayaan tertentu. Karena UUD sudah menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya.

Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Setiap manusia perlu mengembangkan sikap saling menghormati satu sama lain. Tidak boleh ada pencaplokan Hak Asasi manusia, karena setiap manusia pada dasarnya setara dan sederajat. Berbagai macam tindakan pencaplokan terhadap martabat manusia adalah dosa terhadap Pancasila.

Ketiga, Persatuan Indonesia. Segenap bangsa Indonesia perlu mengembangkan rasa cinta akan Tanah Air serta kebanggaan menjadi warga negara Indonesia. Di bawah prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia yang terdiri dari 1.340 suku bangsa dan 742 bahasa adalah satu dalam Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Segala macam perpecahan karena pragmatisme politik perlu dihindari dan ditentang. Jangan sampai rakyat Indonesia menggadaikan persatuan Indonesia hanya karena perbedaan pandangan dan pilihan politik.

Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Segenap bangsa Indonesia perlu menghormati setiap hasil putusan yang diambil secara musyawarah, baik oleh wakil rakyat maupun oleh masyarakat sebagaimana termanifestasikan dalam Pemilihan Umum. Bila ada putusan dan kebijakan yang bertentangan dengan peri kemanusiaan, peri kebangsaan, dan peri keadilan, maka rakyat Indonesia perlu menempuh jalur konstitusional sebagaimana diatur berdasarkan UU dan hukum yang berlaku. Berbagai macam upaya propaganda, provokasi, serta hoaks dengan tujuan untuk delegitimasi pemerintahan yang sedang berjalan tanpa basis rasional argumentasi perlu dilawan.

Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah perlu bersikap adil terhadap segenap bangsa Indonesia. Berbagai macam program pembangunan bangsa perlu diarahkan secara merata ke seluruh wilayah Indonesia. Demikian juga penindakan hukum harus sama dan setara untuk semua orang tanpa kecuali. Bila kelima hal ini bisa diwujudkan, maka Indonesia akan bebas dari radikalisme, liberalisme radikal, dan intoleransi.

Pemetaan Daerah Rawan

Untuk mencapai harapan ini, paling tidak ada beberapa hal yang perlu dilakukan: Pertama, zero tolerance terhadap intoleransi. Pemerintah melalui pihak keamanan perlu bekerja sama untuk memetakan daerah rawan radikalisme dan intoleransi serta menindak tegas berbagai macam praktik intoleransi di tengah masyarakat.
Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Badan Intelejen Negara (BIN) perlu melakukan tindakan pencegahan dini, agar kekacauan dan kerugian yang terjadi pada demo 21 dan 22 Mei 2019 bisa dihindari.

Kedua, Pendidikan formal Pancasila. Pemerintah melalui Badan Pembinaan Ideologi Pancasila perlu bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan untuk merumuskan indikator-indikator Pancasila sebagai bahan ajar di Sekolah-sekolah mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Ketiga, Lokakarya dan literasi digital. Lokakarya dan literasi digital tentang unsur-unsur Pancasila sebagai dasar dan pemersatu bangsa. Lokakarya tentang persatuan dan kerukunan antar-umat beragama perlu dilakukan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk menjembatani berbagai ketegangan antar-umat beragama.

Selain itu, kanal-kanal media sosial perlu dipenuhi dengan berbagai konten positif tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Narasi-narasi tentang toleransi juga perlu diamplifikasi secara masif sebagai kontra narasi atas konten-konten provokatif yang memecah belah kesatuan NKRI.(***)


Redaktur : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler