Pancasila Terpinggirkan, Tokoh Eks PDI Suarakan Keprihatinan

Kamis, 06 Juni 2013 – 20:02 WIB
JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memang tak akan lagi ikut dalam Pemilu 2014 mendatang.  Bahkan, beberapa tokoh-tokohnya sudah bergabung dengan partai politik lain. Namun demikian, para tokoh-tokoh PDI tak mau kehilangan eksistensi.

Hari ini (6/6) sekitar 100 orang fungsionaris dan pegiat PDI periode 1986-1997 berkumpul untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka antara lain Dimmy Haryanto, Haryanto Taslam, Edwin Henawan Soekowati, Fatimah Achmad, Panangian Siregar, Markus Wauran, Clara Sitompul, Untung Sutomo, Sjafei Ali Gumay, Alex Asmasoebrata, Audi  IZ  Tambunan, Narwan Hadi, Ratna Purnami, Parlin Sitorus, dan Patmono Sk. Sejumlah tokoh PDI dari sejumlah daerah juga hadir.

Ketua Panitia Acara, Dimmy Haryanto, mengungkapkan, pertemuan itu digelar sebagai ajang untuk bertukar pikiran, kangen-kangenan, sekaligus mengkritisi jalannya pemerintahan yang semakin melenceng dari cita-cita Pancasila 1 Juni 1945 dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. "Pancasila sudah tercabik-cabik,” ungkap Dimmy yang juga mantan Wakil Sekjen DPP PDI itu.

Edwin H Soekawati juga mengungkapkan keprihatinannya tentang semakin tergesernya nilai-nilai Pancasila. Dituturkannya, Soeharto dan Orde Baru muncul untuk melakukan koreksi atas Orde Lama di bawah Soekarno. Karena Orde Baru melenceng, maka muncullah gerakan reformasi untuk menumbangkan Soeharto.

Namun menurutnya, teryata era reformasi juga tak memerbaiki keadaan karena tetap saja Pancasila dipinggirkan. Bahkan, empat kali amandemen UUD 1945 juga tak membuat praktik kenegaraan dan kehidupan berbangsa menjadi lebih baik. “Terjadi degradasi pada nilai-nilai Pancasila, yang seharusnya bisa menjadi ideologi mayoritas,” ulasnya.

Acara itu juga menghadirkan tokoh senior Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Siswono Yudhohusodo. Pria yang kini menjadi politisi Golkar itu mengakui adanya kemerosotan di berbagai bidang.

Siswono yang pernah menjadi pasangan Amien Rais pada Pilpres 2004 itu mengatakan, perkembangan politik yang cepat sejak tahun 1986 sampai tahun 1997 memang membawa dampak positif bagi demokrasi. Namun menurutnya, ekses negatif juga muncul seiring semakin luasnya kesempatan bagi warga negara untuk berpolitik. "Pemahaman arti berpolitik diartikan semata-mata meraih kekuasaan termasuk dengan menghalalkan segala cara,” ujarnya. (ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan Sempat Dibikin Galau Karen Agustiawan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler